Elish akhirnya berhasil mendapat penginapan yang ia mau. Hanya dengan sekali memasuki sebuah penginapan. Luxira tahu di tempat itu ada kamar kosong karena tadi sore sempat berjalan-jalan di dekat situ, dan tanpa sengaja mendengar jika ada beberapa kamar yang masih tersedia. Ini mendekati festival, banyak pemilik penginapan yang mempromosikan penginapan miliknya. Dan biasanya penginapan-penginapan sederhana memang baru akan penuh di hari terakhir sebelum festival dimulai.
Penginapannya memang cukup sederhana, dengan kamar yang tidak luas dan tempat tidur yang sangat biasa. Itu cukup bagi Elish. Dengan mata uang miliknya, sebenarnya Elish bisa mendapatkan kamar penginapan yang mewah. Namun Elish ingin bertahan hidup selama mungkin di sana dengan jumlah uang yang ia bawa.
“Terima kasih telah mengantarkanku.” Ia tersenyum manis pada Luxira.
Luxira mengangguk. Ia tahu ini saatnya ia harus kembali ke penginapannya.
“Kau tidak sibuk besok?” ia harus bertanya. Walau sebenarnya sangat gugup.
“Eeem .... sepertinya tidak.”
“Lalu maukah kau pergi denganku? Aku akan mengajakmu berkeliling.” Luxira mengatakan dengan cepat dan terburu-buru.
Elish tersenyum lebar. Luxira tampak lucu di matanya.
“Apakah aku bisa meminta bantuan sekali lagi?” aksen kaku Elish sudah lumayan familiar di telinga Luxira.
“Apa?”
“Aku butuh jubah bertudung. Bisakah kau membelikannya untukku? Ah ... tentu aku akan mengganti harganya.”
“Aku akan membelinya besok sebelum menjemputmu, jam 11.”
“Terima kasih.”
Mereka tersenyum dan melambai sebelum berpisah.
Elish memang bisa berkeliling tempat itu sendiri. Lagipula ia sudah sering datang ke desa-desa dekat situ. Pergi ke pasar, ke beberapa tempat makan, berbaur dengan manusia. Para Elfear yang lain juga melakukannya. Namun tidak tanpa jubah bertudung. Ia akan terlihat sangat mencolok berada di antara manusia tanpa jubahnya. Tidak ada Elfear yang suka menunjukkan bentuk telinga lancipnya. Walaupun para manusia sudah sering sekali bertemu Elfear, melihat telinga lancip milik Elfear selalu tampak menarik bagi mereka. Dan itu sangat mengganggu bagi para Elfear, termasuk Elish.
Tadi saat memesan kamar penginapan, untung saja sang pemilik adalah wanita tua yang matanya sudah kabur. Jadi sulit baginya untuk memperhatikan fisik Elish secara detail. Lagipula Elish memang menutupi telinganya dengan rambut panjangnya yang tergerai. Dan karena memang sudah larut malam, tak ada manusia lain yang sempat melihat Elish.
###
Seseorang mengetuk pintu kamar Elish. Masih pagi, apakah Luxira datang secepat itu?
Elish yang masih kelelahan karena semalam dikejar-kejar prajurit Elfear, masih belum bangun. Ia menggeliat sebentar sebelum beranjak dari kasur dan merapikan rambutnya, menutupi telinga. Berjaga siapa tahu yang ada di balik pintu bukan Lux. Untung hanya satu bagian itu yang perlu ia tutupi sekarang. Bola matanya sendiri berwarna coklat. Umum bagi bangsa manusia. Bola matanya baru tampak keunguan jika terkena sinar purnama. Kulit putih pucatnya sekarang sudah bukan hal yang aneh, banyak manusia yang memiliki kulit putih pucat juga. Kulit pucatnya baru tampak berbeda ketika berada di bawah sinar matahari atau purnama. Akan tempak berpendar. Tidak semenawan kulit para Elf, namun tetap saja terlihat indah.
Elish sempat ragu saat memegang gagang pintu. Ketukan ketiga tepat saat ia masih memegang gagang pintu, membuatnya tersentak karena terkejut. Ketukan itu sedikit lebih keras dan tak sabar, berbeda dengan dua ketukan sebelumnya. Tidak mungkin prajurit Elfear mengejarnya di pagi hari begini kan?
Ternyata yang ada di balik pintu adalah wanita tua pemilik penginapan. Ia jengkel karena penghuni kamar tidak segera membukakan pintu saat ia mengetuknya.
“Lama sekali kau ini! harus berapa kali aku mengetuk pintu agar kau membukanya?!” suaranya yang serak dan nyaring membuat dahi Elish mengkerut.
Wanita itu tidak cukup ramah untuk seorang pemilik penginapan yang sedang berbicara pada tamunya.
Namun Elish tetap tersenyum. “Ada apa?”
“Ini.” wanita tua itu menyerahkan bungkusan kain. “Dari laki-laki. Aku lupa siapa namanya tadi. Katanya ia ada acara mendesak hari ini, ingin membatalkan janjinya denganmu.”
Elish mengerucutkan bibirnya, menerima bungkusan itu, sedikit kecewa.
“Oh ya, ‘maaf’ katanya. Itu saja.” Wanita tua itu mengayunkan tangannya, memberi tanda agar Elish masuk lagi ke kamar. Sedikit tidak sopan.
“Terima kasih.”
“Untuk apa?” wanita tua itu sudah hampir berbalik. Bertanya dengan nada tidak ramah.
“Karena ... sudah menyampaikannya.” Elish berkata sambil mengangkat sedikit bungkusan yang ia pegang.
Wanita tua itu hanya mendesah, kemudian pergi. Memang seperti itulah dia. Bukannya tidak ramah. Ia memang hanya seperti itu.