“Hai Elish.”
Elish terkejut karena ada yang menyapanya di tengah keramaian pasar.
“Hai Vero.” Elish masih mengenali wanita itu walau sebagian wajahnya tertutup tudung hitam.
Kali ini Vero tidak memakai gaun merah, namun berwarna rose quartz, terkesan lebih anggun. Tetapi cara berjalan Vero tetap terlihat berani dan kuat.
“Maaf waktu itu aku pergi begitu saja.” Vero sudah berdiri di depan Elish. Tersenyum ramah.
“Aku kira kau tersinggung atas ucapanku waktu itu. Hingga kau pergi begitu saja.”
“Aku tidak mudah tersinggung hanya dengan hal-hal sepele.” Vero tampak mengamati sekitar. “Ada hal mendesak saat itu.”
“Mau bicara di tempat lain?” Elish menawarkan. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Vero.
“Em.” Vero langsung memimpin jalan. Seolah ia lebih tahu dibandingkan Elish.
Elish menurut, ia percaya jika Vero lebih mengenal tempat itu.
Ada kafe tidak jauh dari pasar. Kafenya tidak besar, tidak banyak kursi yang tersedia. Namun mereka masih bisa menemukan kursi kosong menghadap jalan. Karena kafe tersebut bertema outdoor, jadi sedikit bising. Tapi bagi Elish justru itu sangat membantu. Percakapannya dengan Vero akan teredam oleh suara orang lewat atau suara orang di meja lain.
Sesekali ada kuda lewat, membuat jalanan sedikit berdebu. Tak apa, debunya tidak sampai mengganggu orang-orang yang ada di kafe itu.
Elish beberapa kali melewati kafe itu ketika sedang berkuda. Karena memang letaknya ada di jalan yang dilewati para penunggang kuda. Namun tidak pernah ia sekalipun melirik atau bahkan mampir.
“Ada kabar terbaru?” Vero bertanya. Kemudian menyesap teh hangatnya. Ia sudah menurunkan tudung jubahnya sejak tadi. Rambutnya menutupi telinganya dengan sempurna. Vero masih menata rambutnya dengan gaya yang sama seperti saat Elish bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.
“Semalam aku pergi ke danau.”
Vero tersenyum miring. “Kau cukup berani ke sana malam-malam. Sudah kukatakan lebih aman saat siang hari.”
“Semalam purnama. Jadi kufikir tidak akan ada yang berjaga di dekat sana.”
“Iya, namun aromamu akan menguar sempurna dan itu membuat mereka yang sebenarnya berjaga di dekat Green Ocean bisa mencium aromamu.”
‘Apakah aroma tubuhku sangat kuat? Jaraknya terlalu jauh.’ Elish bicara dalam hati.
“Aroma tubuhmu seperti padang lavender Elish. Kukatakan seperti padang lavender karena aromanya sangat kuat. Bukan lagi seperti bunga lavender.” Vero menjelaskan seolah sedang menjawab pertanyaan dalam kepala Elish.
Elish masih tidak mengerti. Karena ia tidak dikaruniai indra penciuman setajam itu, jadi ia tidak tahu. Tapi tunggu, kenapa Vero bisa tahu?
“Vero, apa kau salah satu prajurit Elfear?”
“Hahahaha.” Vero tergelak. Suara tawanya begitu renyah.
Beberapa orang di meja lain sempat menoleh mendengar tawa Vero. Tertegun sesaat, mengagumi kecantikan Vero. Beberapa dari mereka menyadari jika Vero dan Elish bukan manusia, membuat mereka saling berbisik. Namun itu hanya sesaat. Mereka kembali sibuk dengan obrolan pribadi.
“Kau fikir hanya prajurit Elfear yang dikaruniai penciuman tajam? Kau tahu Elfear punya kemampuan istimewa yang berbeda-beda.” Vero mencondongkan tubuhnya lebih dekat dengan Elish. Berbisik “Dan aku tahu kau seorang healer.”
Elish mengerutkan alisnya. Cukup terkejut. Selama ini ia sudah sangat berhati-hati, tidak menunjukkan bakat istimewanya.
Elish ingin mengelak dan membantah Vero. Namun ia tidak memiliki kalimat yang tepat untuk menyanggah fakta tersebut.
“Tenang saja, aku pandai menyimpan rahasia. Namun sayangnya kau sendiri yang tak bisa menyembunyikannya.” Vero menyeruput tehnya lagi. Ia membuang pandangannya ke jalan.
“Kau pasti pernah tidak sengaja melihatku memakai kemampuanku tersebut.” Elish menebak.