Pagi itu, bahkan matahari belum menampakkan sinarnya sama sekali. Elish dan Luxira sudah berangkat ke stasiun kereta. Mereka menggunakan kereta pertama yang berangkat hari itu. Teman-teman sekaligus rekan kerja Luxira (lebih tepatnya mereka adalah karyawan Luxira), sudah berangkat kemarin petang, dan juga Grace.
Matahari sudah bersinar Ketika kereta mulai berjalan. Ini adalah pengalaman yang menyenangkan bagi Elish. Karena ini pertama kalinya ia naik kereta. Sebenarnya, ia sangat kagum dengan perkembangan teknologi yang dibuat bangsa manusia. Dan sudah lama ia ingin mencoba hal-hal seperti ini. Namun ibunya melarang. Bukan tidak membolehkan, tapi karena tidak ada yang menemani. Ibunya lebih berani melepaskan Elish di hutan sendirian daripada melepaskannya di wilayah manusia. Walau sebenarnya keberadaan Elfear cukup diterima oleh manusia, tetap saja akan ada tatapan penasaran di sana. Dan walaupaun tatapan mereka hanya angin lalu, namun tetap saja rasanya akan membuat tidak nyaman. Dan satu hal yang baru Elish ketahui dari Vero, bahwa manusia tidak menerima Elfear sepenuhnya. Manusia hanya menyukai Elfear sebagai pelancong. Jadi untuk bertahan di wilayah manusia, seorang Elfear harus terus berpindah tempat.
Elish terus merasa takjub melihat pemandangan dari kaca jendela kereta. Pinggiran hutan, sawah, ladang, bukit, hal-hal yang tidak pernah ia bayangkan akan melihatnya seperti ini.
“Indah bukan?” suara Luxira membuyarkan lamunannya.
“Indah sekali. Ini luar biasa.” Tapi ada perasaan rindu yang teramat dalam pada rumahnya saat ia mengatakan itu. Bercampur rasa takut jika benar tak ada jalan kembali. Tapi Elish tetap tersenyum.
“Kau rindu rumahmu?”
Elish terlonjak. “Bagaimana kau tahu?”
“Tatapan matamu.”
Elish tertunduk. Ia tak bisa berpura-pura.
“Aku membuat kesalahan besar. Aku mengetahui rahasia yang seharusnya tidak kuketahui. Para Elf memburuku. Mereka meminta prajurit Elfear untuk menangkapku, dan menyerahkanku pada tetua Elf.” Tidak ada pembukaan, Elish menceritakannya begitu saja. Suaranya cukup pelan, agar penumpang lain tidak mendengarnya. Namun cukup jelas didengar Luxira.
“Awalnya aku tidak tahu jika kesalahanku ini akan berakibat fatal. Aku terlalu meremehkannya.” Elish melanjutkan.
Luxira menatap wajah Elish dari samping. Ia sangat ingin mengatakan sesuatu. Namun sepertinya ini belum saatnya. Yah, tidak sekarang.
“Aku akan membantumu.”
Elish menoleh untuk menatap Luxira. “Terima kasih.”
Ada hal yang tidak dimengerti Elish tentang perasaan Luxira padanya. Terkadang, Luxira seperti sangat menyukainya. Hingga Elish mengartikan jika apa yang dilakukan Luxira untuknya adalah karena perasaan suka itu. Namun ada saat Elish membaca tatapan mata Luxira seperti menggambarkan rasa bersalah, permintaan maaf, dan apa yang ia lakukan adalah sebuah keharusan.
“Lux, apa sebenarnya kau mengenalku?” pertanyaan itu terlontar, Elish tidak bisa membendung rasa penasarannya.
“Entahlah. Yang pasti, aku tahu tentang dirimu.”
Jawaban itu membingungkan.
“Aku akan memberi tahumu tentang sesuatu, tapi nanti, tidak di sini.”