Gita mendata teman-temannya yang ada di Indonesia: Si Cecunguk, Si Cecurut, dan Si Kerempeng. Mereka rata-rata setidaknya menelpon Gita dua kali dalam satu bulan. Dalam percakapan antar benua itu, suatu rutinitas membosankan terjadi. Kalimat-kalimat semacam,“Hai, apa kabar? Gimana Amerika? Enak gak kerja disana? Betah gak? Orang-orangnya baik gak? Makanannya enak-enak gak? Apa-apanya mahal gak?”
Dalam pertanyaan-pertanyaan yang sama itu, maka Gita dengan sendirinya terlatih untuk berbicara dalam dialog yang sama, dengan nada irama yang sama,
“Hai, ya, Alhamdulillah baik-baik aja. Amerika bagus banget. Kerja disini enak banget. Orang-orangnya baik banget. Makanannya enak-enak banget. Pokoknya apa-apanya enak banget deh.”
“Cieeee yang lagi di Amerika....” mereka mulai memuji Gita dalam nada suara memendam rasa iri.
“Ah, biasa aja kok,” jawab Gita, kontradiktif dengan jawaban sebelumnya. “Kapan nih mau kesini?”
“Ah.... kamu dong bantuin kita untuk bisa kesana.”
“Hahahahahaha...”
Gita membatin, “Jangan kan mau bantuin, kalau bisa kalian tidak usah kesini, apalagi punya niat mau tinggal disini”
Pada kesempatan lain, giliran orang tua Gita yang menelpon. Mereka mengingatkan...
“Jangan lupa sholat, nak...”
“Gita gak pernah lupa sholat kok, hahahaha...”