Di luar batas kesadaran, keadaanmu telah menjadi prioritasku.
Tanpa peduli betapa besar jarak yang tengah kamu ciptakan, aku akan tetap berlari, menuju satu-satunya tujuan; dirimu.
Kiana meringis merasakan kakinya yang kebas. Dia sudah mengunjungi nyaris seluruh fakultas di kampus ini, tetapi tak ada satu pun Arjuna yang dia temui. Sekarang, hanya Fakultas Teknik yang tersisa, tetapi rasanya dia tetap ngeri membayangkan gerombolan pemuda berambut gondrong di sana.
“Apa gue balik ke Hukum aja kali, ya? Nama Arjuna itu cocok jadi anak Hukum, deh, kayaknya?” gumam Kiana kepada dirinya sendiri.
“Eh, tapi apa jangan-jangan dia anak Kedokteran, ya?” Kiana kembali bergumam, kemudian menggeleng kuat-kuat. “Nggak, kayaknya bukan anak Kedokteran, deh. Dokter Arjuna, nggak matching gitu.”
Kiana kembali termenung, berusaha mencari gelar yang cocok untuk nama Arjuna walaupun sebenarnya itu sama sekali bukan cara berpikir yang masuk akal. Nama, kan, bukan sesuatu yang berpengaruh pada profesi.
“Jangan-jangan, dia beneran anak Teknik?” Kiana melirik ngeri ke arah gedung Fakultas Teknik. Dari tempatnya, Kiana dapat menemukan segerombolan pemuda yang duduk di taman fakultas.
“Ah, nggak tahu, deh! Pusing gue!” teriak Kiana frustrasi, tidak sadar bahwa dia telah menarik perhatian.
Dimas baru saja melewati lorong menuju kantin ketika melihat Kiana sedang membenamkan kepalanya di antara dua lutut. Pemuda itu menatap minuman di tangannya. Minuman itu seharusnya dia serahkan kepada senior, bentuk hukuman terakhir karena telah kabur pada saat baris-berbaris pagi tadi.
Karena menjemput Kiana di indekosnya, Dimas harus rela naik tangga dari Lantai 1 sampai Lantai 4 hingga tujuh kali. Tidak berhenti di sana, Dimas bahkan harus membersihkan seluruh mesin bubut yang terdapat di bengkel praktik mereka. Namun, melihat keadaan Kiana, sepertinya gadis itu mendapatkan hukuman yang lebih melelahkan daripada yang dia dapatkan.
Akhirnya, alih-alih menuju gedung fakultasnya, Dimas justru melangkah mendekati Kiana.
Kiana mengangkat kepala ketika merasakan ada benda dingin menyentuh dahinya. Mata Kiana langsung berbinar menemukan Dimas berdiri di hadapannya.
“Dimas!” seru Kiana senang. Tanpa basa-basi, Kiana langsung meraih botol berisi jus jeruk dari tangan Dimas dan meneguknya hingga tersisa setengah.
“Ah, tahu aja lo kalau gue lagi haus!” Dimas mendengus, lalu duduk di samping Kiana, turut meluruskan kakinya.
“Tahu aja, tahu aja! Gara-gara lo gue terancam lumpuh, nih,” sungut Dimas, tetapi tentu saja Kiana tidak merasa bersalah. Gadis itu malah memamerkan senyumannya, membuat Dimas terpaku sesaat.
Padahal saat itu wajah Kiana memerah karena sinar matahari, belum lagi rambut berantakannya menempel di sepanjang dahi berkat keringat. Namun, tetap saja senyum Kiana mampu membuat Dimas terpesona.
“Gue lagi kena hukum, nih.” Kiana mulai mengadu dengan bibir tertekuk dan pipi mengembung.
“Sama, gue juga. Itu minuman yang lo tenggak, harusnya jadi hukuman terakhir gue biar gue bisa ikut materi.”
Mata bulat Kiana menatap botol yang isinya hanya tersisa separuh, lalu mengangkatnya. “Lo cuma disuruh beli ginian aja sampe mau lumpuh? Memang disuruh beli di mana? Bogor? Bekasi? Apa Papua?”
Gemas, Dimas mendorong dahi Kiana dengan jari telunjuknya.
“Lo tuh ya, bilang makasih kek, terharu kek, apa kek.” Kiana terkekeh, lalu tersenyum manis, matanya mengerjap, membuat Dimas lagi-lagi meleleh.
“Makasih, ya, Dimas sayang,” kata Kiana sok imut. Dia tidak sadar bahwa kata terakhirnya mengguncang dunia Dimas. Mata Kiana tiba-tiba saja berbinar ketika sebuah ide melintas dalam benaknya.
“Dimas, gue boleh minta tolong, nggak?” Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali, senyum merekah di bibirnya. Kiana seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Ditatap seperti itu, Dimas memundurkan kepalanya dengan takut.
“Ki, jangan yang aneh-aneh.” Dimas menatap Kiana curiga. Dengan gerakan kilat, Kiana mengacungkan dua jarinya, membentuk huruf V.
“Nggak kok, nggak aneh-aneh. Kiana jamin, deh!”