2015. Malam itu, suara bentakan dan dentuman benda pecah kembali memecah rumah. Anna, seorang remaja yang masih berseragam putih abu-abu, berusaha fokus mengerjakan PR di kamar sempit yang juga ditempati kakaknya. Namun, setiap kata sumpah serapah yang terdengar dan lemparan perabot dari ruang tengah seperti menembus dinding tipis kamar, sangat mengganggu ketenangan belajarnya. Ayah dan Ibu Anna bertengkar lagi. Entah sudah keberapa lali tapi yang pasti masih tentang satu hal: uang.
Daar!!! Pintu kamar mendadak terbuka. Sang ibu mengamuk, matanya merah penuh amarah.
“Anna! Kenapa masih ada piring kotor?! Kamu gak cuci?!”
Anna menatap buku tulisnya tanpa beranjak. Ia sudah tahu, malam ini akan berakhir dengan dirinya sebagai kambing hitam atau pelampiasan dari sumber amarah.
“Sudah dicuci tadi,” jawab Anna datar.
“Cuci apa?! Masih kotor kamu bilang cuci?! Bisa kerja gak sih?! Nggak becus! Belajar aja sampai mati ya!” pintu dibanting keras hingga bergetar.
Anna membeku. Kakaknya yang sedang tidur malah menggerutu, menyalahkan Anna atas keributan itu. Padahal di dalam hatinya, Anna ingin berteriak: “Itu salah ayahmu!” Tapi ia memilih diam.
Diam saat semua kesalahan ditimpakan padanya bahkan untuk hal yang tidak ia lakukan sekalipun. Diam ketika melihat adiknya dipedulikan dan diperlakukan baik, sementara dirinya bahkan tak disiapkan sarapan sepiring pun. Bahkan, Anna diam ketika ia dipaksa berhenti sekolah karena harus pindah rumah, dikejar rentenir. Anna hanya lelah untuk membela diri di tengah keluarganya yang sangat bermasalah. Malam itu, Anna berusaha tetap fokus belajar sambil ditemani buliran airmata yang perlahan mengalir.
-----
Anna menjalani hari-hari sebagai siswi baru di sekolah kecil dekat pemukiman rumahnya. Karena berasal dari kota, wawasan Anna jauh lebih luas dibanding teman-temannya. Karena itulah yang membuatnya cepat dikenal oleh satu sekolah. Pujian guru dan prestasi akademik membuat Anna merasa bernapas kembali. Ia juara, ia ditemani, diperhatikan, dan itu membuat semangat hidup Anna muncul kembali.
Meskipun begitu, tetap saja, setiap kali ia berusaha meraih sesuatu, keluarganya merenggutnya kembali. Pernah, suatu waktu, Anna mendapat uang beasiswa namun dipakai kakaknya untuk membeli baju. Anna marah dan protes, ibunya malah memarahi mereka berdua tanpa memihak Anna sekalipun. Ayahnya hanya duduk, merokok, seolah dunia ini bukan urusannya. Anna tidak bisa menahan tangis. Tapi Ibunya juga tidak membelanya. Justru hanya bilang, tanpa uang beasiswa pun, Anna tetap bisa makan. Anna ingin teriak rasanya dan bertekad ia harus keluar dari rumah itu suatu hari nanti.
Dan kesempatan itu datang. Sebuah beasiswa kuliah membawanya ke Jakarta, menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi di salah satu kampus negeri terbaik.
-----
2016. Anna menjalani hidup sebagai mahasiswa serba pas-pasan, tapi ia berusaha bertahan. Di kampus, ada Citra, teman baik Anna yang berasal dari keluarga berada. Citra tahu kisah pahit keluarga Anna itu kenapa ia sering mentraktir Anna makan, bahkan menampung saat Anna alami kesulitan. Persahabatan itu membuat Anna merasa tidak sendirian.
Lalu, seperti gadis seusianya, Anna juga jatuh cinta. Seorang kakak tingkat bernama Juan menarik perhatiannya. Tampan, cerdas, dan seolah mewakili semua kriteria pria idaman. Anna, dengan segala keriangan khasnya dari dulu yang ketika jatuh cinta akan berusaha meraihnya. Anna pun mengejar perhatian Juan. Citra mendukung, bahkan ikut menjembatani. Tiga tahun kuliah terasa indah karena mereka bertiga sering bersama. Namun, kenyataan pahit kembali mengetuk. Juan ternyata menaruh hati pada Citra. Alasannya cukup menusuk, Juan merasa setara dengan Citra. Kalimat itu cukup menghancurkan Anna. Bahkan ketika Citra tahu, ia langsung marah pada Juan. Namun tidak menghilangkan luka di hati Anna. Untuk itu, Anna sibukan diri dengan ambil magang di sebuah stasiun televisi.
------
Di sana, ia berkenalan dengan Gani, mentornya. Lembut, dewasa, dan selalu hadir, Gani membuat Anna kembali merasakan debar yang ia rindukan. Bedanya, kali ini Anna menahan diri. Ia takut mengulang kesalahan. Anna hanya akan ikuti alur mainnya Gani yang selalu mencari dan mendekatinya. Bahkan Gani datang saat Anna lulus sidang skripsi. Anna terharu karena keluarganya pun tidak ada yang datang. Anna semakin jatuh hati pada Gani. Hingga munculah keberanian dirinya untuk mengungkapkan perasaan. Ia pikir, 6 bulan mengenal Gani sudah cukup untuknya pendekatan. Anna ajak Gani bicara berdua dan menyampaikan perasaanya dengan tulus. Gani terkejut, tak menjawab, hanya berterima kasih. Namun, saat pulang kerja, Gani ke meja Anna untuk memberikan sebuah surat yang boleh Anna baca saat sampai rumah aja. Anna paham dan saat sampai di kost, Anna buru-buru buka lalu baca.
Anna langsung terdiam, tidak percaya. Tangannya gemetar. Gani menuliskan pengakuan: ia tidak menyukai perempuan.
Anna lemas.
-----
2020, pandemi datang. Sebagai anak magang, Anna terkena layoff. Ia pulang ke rumah, tapi pulang bukan berarti pulih. Ia tertular Covid-19. Alih-alih dirawat, ibunya menyambut Anna dengan luapan emosi bahwa Anna dinilai membawa penyakit. Adiknya marah, menilai Anna selalu membuat masalah. Anna balas dengan emosi juga bahkan luapan amarah yang sulit terbendung. Maksud Anna, siapa yang ingin sakit?!! Aarghhh!!!!!
Selama satu setengah tahun, Anna mengalami tekanan mental di rumah aja. Anna hanya bisa menahan sabar dan lakukan apapun yang berguna di rumah. Memang, ia tidak di marahi karena pekerjaan rumah. Tapi selalu disindir karena tidak kunjung kerja. Anna berusaha tidak indahkan sindirian itu. Toh, kakaknya juga tidak kerja. Tapi kalimat sekolah tinggi-tinggi itu sangat menganggu Anna karena siapa lagi yang sekolah tinggi di keluarga itu selain dirinya?!
Covid19 semakin menggila sampai tahun 2022. Namun, bagaimana jika sebuah tawaran kerja sebagai reporter muncul di email Anna. Anna sangat antusias dan langsung menerima. Saat ia ijin untuk ke Jakarta lagi untuk bekerja. Ibunya langsung marah menilai Anna tidak tahu keadaan dan sangat keras kepala. Anna menjelaskan kalau mereka butuh uang. Ibunya marah menilai Anna sudah pintar membela diri.
“Kalau mati, jangan kabari kami. Anak nggak tahu diri!” Bentak Ibunya.
Dengan hati hancur, Anna langsung pergi dari rumah. Dalam hati, ia bersumpah: tidak akan kembali lagi.