Hari itu pikiranku melayang setinggi – tingginya, ingatan akan kejadian dirumah terus terulang dalam pikiranku. Hingga tanpa kusadari, setetes embun bening jatuh membasahi pipi. Tidak lama kemudian Shifa menghampiriku.
“Eh hai, aku cariin nih daritadi. Loh? Kok nangiss sya?” kedatangan shifa membuat lamunanku pecah seketika.
”Eh shifaa, ngga nangis kok. Kelilipan hehe”.
Meskipun kukatakan demikian, sepertinya Shifa tetap tidak percaya apa yang kuucapkan tadi, namun ia berusaha menenangkanku.
“Sya, cuci muka gih” .
Shifa, dia teman sekelasku. Bukan hanya teman sekelas, dia juga teman SMP, teman bermain, juga teman bercerita. Hal apapun akan kuceritakan kepadanya, terkecuali latar belakang keluargaku. Aku takut jika aku menceritakannya, dia akan terbebani dengan ceritaku. Dan aku ingin jaga perasaanya, sehingga aku belum mampu untuk menceritakan hal tersebut. Dia ini wanita shaliha, dia lah yang menuntunku untuk hijrah kembali ke jalan Allah. Dia selalu mengingatkanku apabila aku salah, dan selalu mendukungku dalam kebaikan. Semenjak mengenalnya, hidupku perlahan mulai berubah. Ada suatu cahaya yang membuat hati ini tenang diatas tekanan.
Salah satu cahaya yang dia kenalkan adalah cahaya Al – Qur’an.
Aku bersyukur, Allah telah kirimkan salah satu hambanya untuk membuat diriku lebih dekat pada-Nya. Alhamdulillah for everything, setelah sekian lama aku tidak membacanya. Kini aku lebih mendekatkan diri kembali dengan Al- Qur’an.
***
Setelah aku bersihkan wajahku dengan air, hatiku sedikit tenang. Dan pembelajaran pun kembali dimulai. Ditengah jam pelajaran, handphone ku berdering. Nada tersebut tidak asing, karena aku membedakan nada dering telepon Ummi dengan teman – teman.
Satu kali berdering, aku menghiraukannya.
Dua kali? Masih ku hiraukan juga.
Kenapa? Karena pembelajaran ini merupakan pelajaran produktif dengan guru yang bisa dibilang “agak sentimen”.
Tiga kali berdering, aku belum mau mengangkatnya.
Hingga yang keempat, aku baru sadar bahwa Ummi tidak akan menelfonku sebanyak ini jika bukan keadaan yang mendesak.
“Astaghfirullah, ada apa ya? Apakah ada yang penting?” gumamku.
Tanganku terangkat secara spontan, memberanikan diri untuk izin kepada guru tersebut untuk mengangkat telepon sebentar.
“Bu, permisi. Ummi saya nelpon”.
Guru tersebut mengizinkan saya untuk keluar kelas sebentar.
Namanya Bu Tini, guru ekonomi bisnis.
Tanganku bergetar ketika memegang ponsel, perasaanku tiba – tiba tak karuan.
Entah kenapa,
Hingga aku menghela nafas terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Ummi.
“Halo assalamu’alaikum Ummi?” ucapku pertama kali.
Namun setelah mengucapkan kalimat tersebut,
Kurasa seketika bumi berhenti berputar.
Waktu tiba – tiba terhenti,
dan aku merasa sulit untuk bernafas.
Hingga tanpa disadari handphone ku terjatuh, setelah aku mendengar perkataan dari Ummi.
Rasanya aku ingin jatuh pingsan, dan tak ingin bangun kembali.
***
Aku terdiam sejenak, menatap lapangan yang kosong dan menyandarkan tubuh ke dinding.
Sedih, kecewa, marah, menyesal, semuanya bersatu padu membuat hati ini semakin risau tak menentu.
Aku kembali ke kelas, kuputuskan untuk meminta izin kepada Bu Tini.
Kemudian aku pulang dengan berjalan kaki, karena aku tidak mempunyai ongkos lagi untuk pulang.
***
Kulihat bendera kuning dari kejauhan, berkibar jelas di depan pagar hitam rumahku. Aku berlari menuju rumah, tidak lagi menghiraukan lelahnya berjalan sejauh 3 KM demi memastikan Ummi baik – baik saja.
Sesampainya di rumah, air mataku sudah tak terbendung lagi. Aku peluk Ummi erat – erat, dan Alhamdulillah Ummi baik – baik saja. Kemudian aku lihat ayahku yang sudah tidak bernyawa, terbaring lemah dan tak berdaya, dengan luka pisau yang terlihat di lehernya. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi pada kedua orangtuaku ini. Dan setelah kejadian bertahun – tahun lalu hingga sekarang, susah sekali rasanya untuk memaafkan Ayah, namun akan ku coba dengan perlahan untuk mengikhlaskan Ayah. Memaafkannya, dan mendo’akannya, semoga beliau ditempatkan di sisi-Nya. Aamiin.
Kehilangan? Iya, namun tidak terlalu. Sedih? Aku hanya bersedih karena melihat Ummi bersedih juga saat itu. Bukan karena aku tak sayang ayah, hanya saja orang yang aku sayangi bahkan tidak peduli dengan aku. Jadi, untuk apa?
Kini aku hanya bisa menatap wajah Ayah untuk terakhir kalinya. Semoga Ayah tenang disana, Allah ampuni semua dosanya dan semoga Ummi tidak terlarut dalam kesedihan.
***
Esoknya aku memutuskan untuk izin tidak masuk sekolah terlebih dahulu, karena aku paham Ummi masih butuh teman. Pagi hari tepat pukul 07.00 aku melihat Ummi yang berdiam diri di ruang makan sambil menatap piring kosong. Ummi melamun, aku ingin sekali mengajaknya untuk bercerita apa yang sebenarnya telah terjadi.
Namun aku tak ingin mengganggunya untuk sementara waktu. Akhirnya aku kembali ke kamar, karena sebenarnya aku juga butuh waktu untuk mencerna baik – baik apa yang terjadi kemarin. Peristiwa kemarin berhasil membuatku terkejut bukan main, walaupun ini bukan untuk sekali atau kedua kalinya.
Luka ini bukannya berhenti, namun terus bertambah setiap harinya. Padahal, satu saja belum sembuh. Namun aku percaya bahwa dibalik semua ini ada hikmah yang dapat aku ambil. Ada rencana baik Allah yang tersembunyi. Atau bisa saja aku yang belum bisa memahami.
***
Telepon dari Ummi yang kudapat kemarin bukan berita mengenai meninggalnya Ayah. Melainkan jeritan dari seorang wanita paruh baya yang telah melahirkanku tersebut. Saat aku mengucapkan salam,
“Jangan bunuh aku” Teriak Ummi