If You Know You Know

Tiwul
Chapter #1

1: Before Us

Deru ombak disuatu sore, langit mulai mendung gelap, tidak ada cahaya matahari dilangit sore ini. Sujatmiko, pria berusai setengah abad itu berdiri diatas batu karang. Dihadapanya deru ombak lautan yang menerpa, sesekali air laut itu mengenai bagian kakinya.

“Jangan bergerak!” kata seseorang dengan baju serba hitam yang dilapisi anti peluru dibandannya.

“Anda sudah terkepung” katanya lagi dengan mengacungkan senjata.

Barisan orang berseragam polisi dengan muncung senjata yang hanya tertuju pada satu titik, Sujatmiko. Hamparan laut mejadi satu-satunya saksi air mata yang menetes dari kedua bola matanya. Lama menatap, Sujatmiko sedikit berbalik badan, tersenyum miring lalu kembali menatap hamparan lautan.

Langkah hati-hati para petugas mulai menghampiri Sujatmiko, ia merasakan akhir dari segala hidupnya, Sujatmiko kembali menjatuhkan air mata. Sebuah tangan menangkap seperempat kecil bagian jaket Sujatmiko, dengan cepat tangan itu menarik yang digengam membuat Sujatmiko terjatuh diantara batu karang. Langit mendung dengan awan tebal menjadi pandangan Sujatmiko sebelum semuanya berubah menjadi gelap.

*****

Dua jam Sujatmiko duduk berhadapan dengan anak buahnya, laptop di depan itu masih kosong tanpa tulisan bahkan titik yang di ketik. Sujatmiko masih diam, sementara mulut bawahannya sudah berbusa. Segelas kopi juga sudah kosong dengan ampas yang mulai lengket mengerak dibagian bawah. Sebuah ketukan terdengar beberapa kali, seorang dengan pakaian rapih berjas memasuki ruangan dengan tangan kosong.

“Pak?”.

“Belum buka mulut juga?”pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala.

“Baik kalo begitu” dia menarik kursi lalu duduk bersender “Tinggalkan kami berdua saja, kopi mu kan sudah habis, bikinkan yang baru, sekalian untuk saya dan Pak Sujatmiko”.

Pria paruh baya itu meninggalkan kursi dan laptop yang masih menyala, sementara Sujatmiko masih kokoh dengan kemauanya, sampai beberapa saat pria berjas itu terbatuk mendistrack pertahanan lawan bicaranya.

“Sudah makan?“ tanganya bergerak menyentuh gorengan dihadapanya.

“Di luar hujan, kebiasanya saya kalo hujan gini makan pisang goreng. Sambil ngobrol ngalor ngidul sama istri, ibu, anak. Cicak. Apa ajalah saya ajak ngomong kadang Bunda Maria juga saya ajak ngobrol. Gibahin orang juga pernah”.

“Pak, saya polisi juga kalo bapak lupa”.

“Hahaha… iya iya. Biar gak tegang Pak. Jaman dulu gak gini kan BAPnya?”.

6 TAHUN LALU

Ruangan gelap gulata itu diisi 5 orang dewasa berseragam lengkap dengan senjata dan penutup kepala, sementara 5 anak remaja yang bertelanjang berlutut dilantai tanpa alas. Kedua mata 5 remaja itu ditutup kain hitam tanpa celah, bahkan setitik cahaya lampu tidak bisa mereka lihat begitu saja. Suara langkah kaki dari sepatu yang berat terdengar mendekat ke arah mereka.

“Kalian ini masih kecil kenapa nekat?”.

“Salah saya apa Pak? Kenapa saya ditangkap?” tanya salah satu dari kelima remaja itu yang berakhir pada tendangan dibahu kirinya. Remaja itu tersungkur, mengaduh sakit, kaget dengan balasan yang tidak terduga.

Remaja di sampingnya memang tidak melihat, namun dia bisa merasakan ketakutan yang membara di dirinya. Disusul remaja lain yang mulai menangis mendengar salah satu dari mereka mengaduh. Raka, anak remaja berusai 14 tahun, mencoba berdiri dan berteriak mengumpat orang-orang yang mencoba melukainya.

“Eh kamu, siapa yang ngajarin kalian?!” kata salah satu dari polisi lalu menarik lengan Raka.

“Oh anak bandel rupanya, kecil-kecil udah punya tato”.

Lihat selengkapnya