If You Were Him

Farahiah Almas Madarina
Chapter #1

SATU

“Bro, gue putus.”

Oji yang sedang menikmati kacang rebusnya serta-merta langsung tersedak. Bukan, bukan tersedak karena pernyataan barusan, tapi karena kaget melihat Ren— sahabatnya yang baru saja satu jam lalu berpamitan pulang—kini tiba-tiba sudah muncul kembali di ambang pintu kamarnya.

Ren melangkah gontai dan duduk di samping Oji. Wajahnya terlihat masam. Matanya yang semula bersinar terang kini redup tanpa semangat. Cowok bertubuh jangkung itu benar-benar tidak menyangka malam Minggunya yang sudah dikemas dengan sempurna akan berakhir menyedihkan.

“Sabar, bro, sabar,” hibur Oji prihatin sambil menepuk-nepuk pelan pundak Ren. Ren menatapnya lemas.

Sebenarnya Oji tidak begitu tahu apa yang sedang terjadi pada Ren. Seingat Oji, Ren sempat berpamitan pulang karena ada janji dengan pacarnya, Tasya. Tapi entah mengapa, baru satu jam berlalu, cowok itu sudah kembali lagi ke rumah Oji dengan ekspresi yang sama sekali berbeda dengan saat pertama kali dia datang. Seharusnya kalau melihat track record Ren yang super duper playboy, Oji tidak perlu heran ketika mendengar kabar bahwa Ren putus dengan pacanya. Tapi kali ini, mau tidak mau, Oji penasaran juga dengan kabar putus Ren yang bisa dikatakan momen paling langka karena sukses membuat Ren bersikap galau. Seumur-umur dirinya berteman dengan Ren, dia tidak pernah melihat Ren patah hati seperti ini. Justru yang dia tahu, cowok itulah yang sering mematahkan hati para cewek.

Hal itu terbukti dengan seringnya Ren gonta-ganti pacar. Ibarat peribahasa, mati satu tumbuh seribu. Putus cewek satu, yang datang langsung seribu. Maklum, Ren adalah tipikal idaman para cewek Indonesia. Dari segi tampang, bisa dikatakan Ren mewarisi wajah ganteng nan oriental milik artis Korea Kim Bum. Dari segi modal, tidak perlu diragukan lagi, Ren adalah calon pewaris tunggal perusahaan berlian terkenal milik ayahnya. Apapun yang Ren inginkan, pasti akan selalu terwujud. Tapi kalau bicara soal otak, kemampuan Ren dalam pelajaran masih jauh di bawah rata-rata dibanding Oji. Di sekolah, Ren termasuk jajaran siswa paling bodoh, bahkan nyaris tidak naik kelas saat kelas 2 SMA. Beruntung orang tua Ren adalah salah satu penyumbang terbesar di sekolahnya, jadi hanya dengan mengandalkan kemampuan finansial ayahnya, Ren selalu sukses naik kelas tanpa syarat. Tapi apalah arti kepintaran kalau secara fisik dan jaminan material, Ren sudah sangat memenuhi kriteria sebagai cowok yang paling pacar-able.

Oji sendiri belum pernah merasakan putus cinta. Jangankan putus cinta, pacaran saja belum pernah. Pernah sekali dia menyukai cewek di kelasnya, tapi belum sempat melakukan aksi penembakan, cewek itu sudah lebih dulu jadian dengan orang lain. Alhasil sekarang Oji masih jomblo, sampai-sampai sering diledek homo karena tidak pernah sekalipun jalan dengan cewek kecuali mamanya. “Jadi... lo yang mutusin atau doi yang mutusin?” tanyanya kurang penting.

Ren menghela napas sedih. “Dia. Asal lo tahu, Ji, gue masih sayang banget sama Tasya. Kurang ganteng apa sih, gue?!” erangnya frustasi.

Sadar tidak bisa memberikan solusi karena minim pengalaman percintaan, Oji akhirnya hanya menyodorkan kacang rebusnya. “Nih, makan. Kali aja hati lo bisa adem.”

“Bego lo,” Ren merutuk kesal. “Yang ada gue malah seret,” katanya, kemudian merebahkan diri ke kasur. Dilemparkannya buket bunga mawar yang sejak tadi digenggamnya ke sembarang tempat, bersamaan dengan dengusan napas keras. Buket itu, seharusnya sekarang sudah berada di tangan Tasya. Bukannya malah dia bawa pulang seperti ini. “Argh!” sergahnya kesal ketika bayang-bayang wajah Tasya datang menghampirinya.

Ini kali pertamanya Ren merasakan perihnya sakit hati karena ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Padahal, Ren merasa Tasya adalah satu-satunya cewek yang paling disayanginya di antara cewek-cewek lain yang pernah menjadi pacarnya. Bagaimana tidak, hubungannya dengan Tasya sudah berjalan satu tahun, dan hari ini adalah first anniversary mereka. Rencananya, malam ini Ren akan membawa Tasya ke sebuah tempat romantis dan memberinya banyak kejutan. Tapi belum sempat dia bertemu dengan Tasya, Ren sudah diputus lebih dulu melalui telepon. Cewek itu bahkan menolak menemui Ren ketika Ren datang ke rumahnya. Sangat menyakitkan memang, mengingat sebelumnya Ren tidak pernah seserius ini dalam menjalani hubungan. Paling-paling dalam jangka waktu satu bulan, dia sudah merasa bosan dan berganti pacar. Begitu seterusnya sampai akhirnya waktu mempertemukannya dengan Tasya, cewek berhati lembut yang pada akhirnya berhasil menaklukkan hatinya. Tapi kenapa justru ketika hubungannya sudah berjalan sejauh ini, tiba-tiba Tasya bersikap dingin? Kenapa Tasya tega memutuskan hubungan mereka tanpa alasan yang jelas? Kenapa semuanya terjadi begitu mendadak? Ren terus bertanya-tanya dalam hati, terus mencari tahu apa kesalahannya, sampai tiba-tiba...

“Karma kali,” celetuk Oji, seolah menjawab pertanyaan Ren. Ren mengerutkan keningnya.

“Apa kata lo?”

“Karma,” ulang Oji mengangkat bahunya. “Ya bisa aja ini hukuman buat lo karena selama ini lo sering mainin hati cewek. Lo sering putusin mereka tiba-tiba, kan? Lo juga sering ninggalin mereka pas lo udah bosen. Jadi nggak menutup kemungkinan lo mengalami hal yang sama.”

Ren terdiam. Rumus kausal macam apa itu? Dia baru saja akan membuka mulutnya untuk protes namun urung ketika tiba-tiba teringat sesuatu. Semua perkataan Oji barusan ternyata benar dan masuk akal juga. Selama ini dia sering menyakiti hati cewek-cewek di sekelilingnya. Mulai dari mencampakkan; menggantungkan hubungan; meninggalkan tanpa sebab; sampai selingkuh, semua pernah dia lakukan. Bahkan Ren masih ingat kejadian dua tahun lalu ketika dia sedang makan siang di sebuah kafe sendirian. Jeni, salah satu mantannya tiba-tiba datang dan dengan tidak waras mengacungkan cutter ke arahnya—berniat untuk melukainya karena sakit hati ditinggalkan. Untungnya saat itu seorang security berhasil menangkapnya, jadi kejadian mengerikan sekaligus memalukan itu bisa dihentikan.

Tapi kalau dipikir-pikir, reaksi semacam itu adalah sesuatu yang wajar mengingat ternyata sakit juga dicampakkan. Mungkin perasaan yang sekarang Ren rasakan sama seperti yang dirasakan mantan-mantannya, atau mungkin belum seberapa. Namun lagi-lagi dia masih tidak menyangka hubungannya dengan Tasya akan berakhir seperti ini. Rasanya seperti kenangan selama setahun harus selesai begitu saja. Membayangkan hidup tanpa Tasya saja rasanya Ren tidak sanggup, apalagi jika suatu hari nanti dia melihat Tasya bersama cowok lain. Bagaimanapun, Ren sudah terlalu menyayangi Tasya.

“Terus gue mesti gimana? Minta maaf ke Tasya?” tanya Ren putus asa.

Oji mengangkat sebelah alisnya. “Emang pas sama Tasya lo pernah ngelakuin kesalahan apa?”

Ren terlihat berpikir sebentar, tetapi segera menggelengkan kepalanya karena tidak mengingat satu pun kesalahan. “Nggak ada. Selama ini gue nggak pernah nyakitin dia. Tasya itu satu-satunya cewek yang nggak pernah gue sakitin sedikit pun. Jangankan nyakitin, ngebiarin dia digigit semut aja gue nggak tega,” katanya hiperbola. “Apa gue harus minta maaf ke mantan-mantan gue? Cewek- cewek yang pernah gue sakitin.” Ren memandang ragu ke arah Oji, “Biar karma gue berhenti.”

“Jumlah mantan lo berapa?” tanya Oji was-was.

“20.”

What the f—” Oji terjengkang dari sofa. Seharusnya dia tidak perlu menanyakan hal itu karena jawabannya sudah pasti banyak. “Strategi lo sama sekali nggak efisien. Yang ada Tasya bakal semakin jauh, sementara lo masih sibuk minta maaf ke mantan-mantan lo yang lain.”

“Jadi gue harus minta maaf ke siapa??” erang Ren frustasi.

“Eh dodol, siapa juga yang nyuruh lo minta maaf?”

Ren terdiam. Otaknya yang kadang-kadang disfungsi mulai bereaksi. “Ya… kali aja gue bisa baikan lagi,” katanya sok ide.

“Serah lo, deh. Kalo lo beneran sayang sama Tasya, kejar aja. Gue nggak begitu paham gimana caranya ngadepin cewek. Tapi ya, minta maaf bisa jadi ide bagus. Siapa tahu lo pernah ngelakuin salah tapi nggak nyadar. Kan lo sering kayak gitu,” Oji cengengesan.

“Sialan lo. Tapi, bener juga.” Ren ikutan nyengir dan segera bangkit dari posisi tidurnya. “Oke. Sekarang gue tahu harus ngapain.”

***

Tidak biasanya Love Story—kafe favorit tempat nongkrong remaja di bilangan Jakarta Pusat—sepi pengunjung. Meskipun malam ini malam Minggu dan jam baru menunjukkan pukul delapan malam, hanya ada dua orang yang duduk di meja paling pojok. Dua orang itu adalah seorang cewek cantik dengan dress simpel warna ungu muda yang dibalut cardigan warna senada, dan seorang cowok tampan berkaos polo biru. Dua orang itu tampak seperti tidak saling kenal. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Tasya mengaduk-aduk cokelat panasnya dalam diam. Sudah lima belas menit duduk berhadapan dengan Ren, dia hanya menundukkan kepalanya. Tidak berani bicara, juga tidak berani beradu pandang. Helai-helai rambutnya yang halus dibiarkan jatuh tergerai menutupi sebagian wajahnya. Entah kenapa, pasca memutuskan hubungan dengan Ren secara sepihak sore tadi, dia benar-benar tidak bisa bicara.

“Tasya...,” Ren membuka percakapan.

Tasya hanya meliriknya sekilas, kemudian kembali mengaduk minumannya.

“Sya, kamu kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba berubah dingin sama aku? Aku minta maaf kalo aku punya salah... Semua nggak harus diakhiri dengan kata putus, kan?”

Terdengar helaan napas lelah. Tasya mengangkat kepalanya yang terasa berat. “Kamu nggak salah apa-apa, kok. Aku aja yang kepengin kita udahan,” katanya pelan.

“Nggak Sya, kamu bukan kayak Tasya yang aku kenal.” Ren meraih tangan Tasya dan menggenggamnya kuat-kuat, “Aku pengin kita balik kayak dulu lagi, kayak kemarin. Di saat kamu masih bisa tersenyum bahagia bareng aku.”

Tasya memandang Ren lemah. Alunan musik klasik yang mengalun lembut membuat hatinya terbuai, seolah tenggelam dalam kehangatan yang diciptakan oleh sosok di depannya itu. Jujur saja, Tasya tidak bisa membohongi dirinya sendiri kalau Ren adalah cowok yang penuh dengan kasih sayang dan selalu membuatnya nyaman. Tasya sadar, mencampakkan Ren adalah perbuatan paling jahat dan menyakitkan karena tidak seharusnya kebaikan dan ketulusan yang diberikan cowok itu dibalas dengan kata “putus”. Tetapi alasan lain yang jauh lebih kuat terpaksa membuat Tasya melakukan hal ini. Tasya tidak bisa membiarkan Ren terlalu mencintainya, mereka tidak boleh terlalu jauh melangkah sebelum semuanya semakin terlambat. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin Tasya utarakan, tetapi bibirnya terlalu kelu untuk mengatakannya.

Cewek itu segera menarik tangannya. “Maaf Ren, aku nggak bisa. Kita udah nggak ada hubungan lagi.”

“Sya!” Ren berteriak tertahan, membuat Tasya sedikit tersentak. “Nggak bisa gini. Kamu nggak ngasih aku alasan yang jelas. Aku bakal ngelepasin kamu asal kamu bisa ngasih aku satu alasan yang masuk akal.”

Tasya kelihatan tertekan. Bola matanya yang kecokelatan bergerak-gerak gelisah, seolah menahan jutaan air mata yang siap menetes.

“Sya...”

Semuanya terlalu rumit untuk dijelaskan. Cewek itu bahkan bingung harus memulai dari mana.

“Jawab, Sya...,” suara Ren melunak.

Tasya menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri menatap Ren seutuhnya. Baru kali ini dia merasa sangat ketakutan menghadapi cowok itu. Bukan takut terkena ledakan emosi Ren, tapi takut karena harus menyakiti cowok itu. Takut kalau pernyataannya benar-benar melukai hati Ren, takut kalau dia menjadi cewek terjahat di hidup Ren. “Satu-satunya alasan kenapa aku milih putus sama kamu...” Pandangan Tasya mulai berkabut. “Karena aku nggak bisa sepenuhnya mencintai kamu.”

Lihat selengkapnya