Hari ini Mang Dadang—supir yang biasa mengantar-jemput Mikan ke sekolah—tidak bisa mengantarnya karena sakit, sementara Papa juga tidak bisa mengantarnya karena ada meeting mendadak. Mama yang memang tidak bekerja dan tidak bisa menyetir mobil menyarankan untuk memesan taksi online, tapi karena hari ini ada ujian jam pertama, Mikan tidak bisa menunggu terlalu lama. Akhirnya dia memutuskan untuk jalan kaki saja ke pangkalan ojek dekat rumah.
Belum sampai dua meter melangkah, tiba-tiba sebuah motor sport berwarna putih berhenti tepat di sebelahnya. Mikan menoleh. Sang pengendara motor segera membuka kaca helmnya dan tersenyum lebar. Mikan langsung mengenali sosok itu.
“Hai, Ji,” sapa Mikan ramah pada Oji. “Bareng, yuk.”
“Nggak usah Ji, ngerepotin. Ntar lo malah telat, lagi.”
Oji tertawa renyah. “Ngerepotin gimana? Sekolah kita kan searah. Ayo naik. Keburu telat, lho.”
Mikan menimbang-nimbang sebentar. Sebenarnya pangkalan ojek tinggal beberapa meter lagi, tapi dia takut juga kalau ternyata semua ojek sedang mengantar penumpang. “Ya udah, yuk,” kata Mikan akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi. Cewek itu segera naik ke motor Oji.
Motor Oji melaju dengan mulus meninggalkan kompleks perumahan Mutiara. Mereka melewati jalanan yang lengang dengan speed yang tidak terlalu cepat, tapi juga tidak terlalu lambat. Tidak sampai lima belas menit kemudian, motor Oji memasuki kawasan penuh siswa berseragam putih abu-abu. Mereka sudah sampai di depan gerbang sekolah Mikan, SMA Bakti Nusa.
“Thank you so much buat tumpangannya,” kata Mikan setelah turun dari motor Oji.
“Never mind. Oh iya, ntar pulangnya gue jemput aja. Nomor HP lo berapa?”
Mikan segera mendiktekan nomor handphone-nya. “Tapi lo nggak usah jemput gue, Ji. Gue bisa nebeng temen kok,” katanya meyakinkan.
“Santai aja,” Oji mengibaskan tangannya. “Udah seharusnya sesama tetangga saling tolong menolong.” Padahal niat utamanya sih supaya bisa berduaan lebih lama.
“Ya udah, gue masuk dulu ya, Ji. Sekali lagi, thanks,” kata Mikan seraya berpamitan.
Oji mengangkat jempolnya, “Ntar gue SMS lo kalo udah kelar.”
Setelah motor Oji berlalu, Mikan segera berlari menuju kelasnya. Di depan kelas, dua sahabatnya—Tania dan Saka—sudah duduk sambil senyum-senyum tidak jelas ke arahnya. Mikan yang heran segera duduk di antara mereka.
“Ciye, ciye... yang jadian,” goda Tania sambil mengedipkan matanya.
“Iya, nih. Udah punya pacar tapi nggak dikenalin ke kita,” sahut Saka yang duduk di sebelah Tania.
Mikan mengerutkan keningnya, bingung. “Pacar? Pacar apaan?”
“Aduh, jangan pura-pura lupa, deh, Princess Micchan. Jelas-jelas barusan dianterin pangeran berkuda putih, eh bermotor putih maksudnya,” jelas Tania, masih dengan nada menggoda.
“Ya ampun...,” Mikan baru mengerti maksud kedua sahabatnya. “Kalian salah sangka, guys. Dia itu Oji, tetangga baru gue.”
Saka berdecak tidak percaya, “Tetangga baru apa gebetan baru?”
“Apa gue harus bersumpah di tengah lapangan dulu baru kalian percaya?” “Boleh,” sahut Tania cepat. “Asal lo nggak takut disangka gila aja, hihihi,” tambahnya sambil nyengir.
Mikan mengedikkan bahunya acuh tak acuh. “Terserah deh, terserah,” katanya cuek.
“Tapi gue setuju kok, Chan, lo jadian sama si... Siapa namanya? Oji? Iya, itu deh pokoknya. Orangnya lumayan ganteng, manis lagi. Ya nggak, Sak?”
Saka langsung berdeham sambil menyisir jambulnya dengan jari. “Ya kalo dibandingin gue sih, jelas gantengan gue banget. Secara gue udah diakui sebagai cowok terganteng di kelas.”
Tania memutar bola matanya bosan. “Hel-looow... Ya jelas paling ganteng di kelaslah, orang lainnya norak gitu. Yaaa... Meskipun lo juga tetep norak, sih.
Tapi plis ya, Sak, kayaknya lo mesti bener-bener berobat atau rawat inap sekalian deh biar penyakit narsis lo itu nggak kumat lagi.”
Saka melotot tidak terima. “Dih, suka-suka gue. Mulut, mulut siapa?”
“Udah, udah,” Mikan buru-buru melerai. Membiarkan dua sahabatnya perang mulut bisa-bisa geger satu sekolah. Tania dan Saka memang duo unik. Kalau sedang berkumpul begini selalu bertengkar, tapi begitu berjauhan langsung kangen-kangenan. Mikan sendiri sampai heran kenapa makhluk seperti mereka bisa ditakdirkan menjadi sahabatnya.
“Ya udah, intinya gue setuju kalo lo sama dia, Chan. Kayaknya orangnya baik, mau nganterin lo sampai ke sekolah, nggak pakai imbalan, pula. Nggak kayak...,” Tania melirik Saka yang juga sedang melirik balik ke arahnya dengan tatapan awas-lo-kalau-berani-jelek-jelekin-gue.
Tania ingat sekali kejadian beberapa bulan yang lalu saat motornya mogok parah. Waktu itu dia minta tolong Saka untuk menjemputnya di rumah, tapi Saka menolak. Alasannya sepele, karena rumah Tania tidak searah dengan jalan ke sekolah. Padahal Tania jelas-jelas tahu, Saka sering bolak-balik mengantar-jemput Riska, adik kelas mereka yang jarak rumahnya bahkan dua kali lipat lebih jauh dari rumah Tania. Namun berhubung tidak ada alternatif lain, Tania terpaksa memohon- mohon pada Saka dan menjanjikannya makan gratis di kantin sepuasnya. Akhirnya Saka setuju. Sebagai gantinya, hari itu juga jatah uang jajan Tania langsung ludes tak bersisa, bertukar dengan delapan buah gorengan; dua porsi siomay; lima kerupuk; tiga tahu bakso; plus nasi ayam dan sayur yang dibungkus untuk dibawa pulang. Seharusnya kalau hanya menraktir satu orang normal, sih, tidak akan terlalu rugi. Tapi setelah Tania meyakini bahwa Saka keturunan hulk, semangkuk bakso dan es teh tentu saja tidak cukup memanjakan perutnya. Alhasil, semenjak kejadian itu Tania kapok minta tolong lagi pada Saka.
Tepat ketika Saka ingin balas menyindir Tania, bel masuk kelas berbunyi. Mereka bertiga segera masuk dan duduk di bangku masing-masing. Mikan sebangku dengan Tania, sementara Saka di belakang mereka. Tidak lama kemudian, Pak Anwar, guru Fisika kelas 12 datang. Tanpa banyak bicara, beliau segera memimpin doa dan berjalan membagikan kertas ujian. Dalam hati, Mikan berdoa supaya ujian hari ini lancar.
***
Lo mau dijemput jam brp Chan? Gue udah selesai kls nih. Oji.
Mikan segera mengetik balasan SMS dan mengirimnya ke Oji. Dia baru saja selesai kelas. Hari ini jadwalnya padat sekali, ada jam tambahan untuk kelas 12. Untungnya Oji juga baru saja selesai kelas, jadi dia tidak perlu merasa bersalah karena harus membuat Oji menunggu lama.
“Chan, lo belum dijemput?” sapa Tania ketika mereka berpapasan di depan lapangan. Tania baru saja mengambil motor.
“Gue dijemput Oji, Tan. Mang Dadang lagi sakit, jadi nggak bisa anter-jemput gue.”
“So sweet banget, sih,” puji Tania lebay, membuat kening Mikan berkerut- kerut. Sisi mana yang so sweet, coba? “Dia tuh, bertanggung jawab banget. Suka, deh.”
“Ya kalo lo suka, lo aja sama dia,” sungut Mikan kesal. Menurutnya Tania terlalu berlebihan. Mikan dan Oji kan hanya sebatas teman. Oji juga hanya bermaksud membantu Mikan yang sedang kesusahan dengan menawarinya tumpangan. Just that. Mikan tidak mungkin naksir apalagi jadian dengan Oji. Hatinya hanya untuk Rizal. Yah, meskipun dia sendiri tidak tahu masih bisa bertemu dengan Rizal atau tidak.
“Ya udah, gue temenin lo aja, ya. Sebagai sahabat yang baik hati dan ehem, nggak kayak Saka, gue nggak tega ngebiarin lo panas-panasan sendirian di sini. Jadi, mendingan kita neduh ke tempat yang nggak panas,” kata Tania, membuat Mikan mau tidak mau menurut saja saat tangannya ditarik ke bawah pohon. Iya, sih. Lebih sejuk.
“Jadi, lo udah ngedate berapa kali?” tanya Tania tidak menyerah, setelah memarkir motornya di dekat pohon dan duduk di sebelah Mikan.
“Gue nggak pernah ngedate, Tania sayang. Dan gue nggak akan pernah mau ngedate sama dia.”
Cewek berambut ngebob itu menatap Mikan gemas. “Come on, Micchan. Mau sampai kapan lo jomblo terus?” katanya dramatis, tanpa melihat ke dirinya sendiri yang juga jomblo akut. “Masa lo mau terus-terusan nolak cowok? Lo tuh cantik, baik, tajir, pinter lagi. Tapi sayang, nggak punya pacar. Cowok kayak gimana, sih, yang bisa buat lo klepek-klepek? Lo nggak lesbi, kan?”
Mikan hanya mendecakkan lidah. Kalau saja Tania tahu, Mikan bukannya pemilih soal pasangan, tapi dia hanya tidak bisa mencintai laki-laki selain Rizal. Lucu memang mendengar cerita tentang seorang cewek yang jatuh cinta pada teman masa kecilnya. Seperti sulit untuk dilogika, tetapi begitulah kenyataannya. Sampai sekarang Mikan masih mencari sosok Rizal, dan dia harus yakin suatu saat akan benar-benar bertemu lagi dengan Rizal, meskipun tidak tahu kapan. Mikan sendiri belum pernah cerita soal Rizal ke siapapun, dia juga tidak berniat menceritakannya pada Tania maupun Saka, sekalipun mereka berdua adalah sahabat terbaik Mikan.
“Wih, cewek-cewek pada ngumpul di sini ternyata. Mau ada acara apaan?” Saka yang baru saja melintasi lapangan tiba-tiba menghentikan laju motornya tepat di depan Mikan dan Tania.
“Nggak ada acara apa-apa, udah sono pulang. Hus-hus!” usir Tania jutek, masih kesal dengan perang mulut yang belum selesai tadi pagi.
Bukannya pergi, Saka malah ikut-ikutan memarkir motornya di sebelah motor Tania. “Nggak boleh gitu. Gue kan di sini niatnya baik, mau ngehibur kalian semua yang lagi pada galau di bawah pohon,” katanya menyebalkan, semakin membuat tekanan darah Tania meninggi.
“Ya udah, lo duduk aja Sak,” sahut Mikan cepat-cepat. Kalau dia tidak segera menengahi, perang sesi kedua akan terjadi. Jadi, meskipun Mikan juga tidak tahu-menahu tentang motivasi apa yang membuat Saka tiba-tiba bergabung bersama mereka, yang jelas selama tidak merugikan, Mikan oke-oke saja. Lagipula, bukannya mereka bertiga memang selalu bersama?
“Nah, gitu dong. Ini baru sahabat terbaik!” kata Saka sambil menjulurkan lidah ke arah Tania. Tania sudah mulai memasang ekspresi cemberut. Untung saja Saka tidak duduk di sebelahnya, kalau iya, mungkin wajahnya yang menyebalkan itu sudah habis dicakar Tania. “Eh iya, gue bawa sesuatu buat kalian.” Saka segera melepas tas dan mengaduk isinya, mencari-cari sesuatu. “Nih,” katanya, menyerahkan dua buah amplop berwarna biru muda. Mikan dan Tania saling bertatapan bingung, kemudian menerimanya.