Ren mengucek matanya sambil mengerang pelan. Pagi-pagi seperti ini ponselnya sudah meraung-raung, padahal seingatnya dia tidak pernah memasang alarm. Lagipula, hari ini kan tanggal merah. Jadi, siapa orang yang nekat mengusiknya lewat telepon?
Cowok itu menggapai-gapai ke arah meja di samping tempat tidurmya, berusaha meraih ponselnya yang bergerak-gerak karena getaran. Tetapi sialnya, tangannya yang tidak cukup panjang malah mendorong ponsel itu meluncur jatuh. Ren merutuk kesal dan segera bangkit dari tempat tidurnya.
“Haaaalooo...,” sapanya dengan suara serak, setelah berhasil menekan tombol “answer” tanpa membuka mata.
“Ya, ampun! Sayang? Jam segini baru bangun tidur?! Sayang nggak inget kalo hari ini aku balik ke Indonesia? Ini aku yang jemput siapa, Sayang??” repet suara dari seberang. Ren segera menjauhkan ponselnya dan mengelus-elus telinganya yang berdengung. Gila kali, siapa, sih?
Ren melihat layar ponselnya dan langsung terbelalak kaget. Karina. Astaga, dia sampai lupa dengan cewek satu itu. “Eh, iya, iya, Sayang.” Ren buru-buru berlari menuju wastafel di sebelah kamarnya. “Mau dijemput jam berapa?” katanya sambil berusaha membubuhkan pasta gigi ke sikat giginya.
Terdengar gerutuan dari seberang. “Jam berapa katamu? Oh Dear, ini aku udah setengah jam nungguin kamu di airport.”
Ren segera menyikat giginya asal. “I-yha, bhen...tar lha-gi a...khu ke si-thu,” katanya dengan suara terendam busa. Cowok itu semakin keras menyikat giginya.
“Ngomong apa, sih?” sahut Karina makin kesal. “Aku nggak mau nunggu kamu lebih lama lagi. Aku capek. Aku mau shopping. Sayang jemput aku di mal aja, satu jam lagi!” perintahnya galak, kemudian sambungan telepon diputus.
Ren mengembuskan napas keras. Mimpi apa sih dia semalam? Perasaan tidak mimpi apa-apa. Sedetik kemudian dia menyesal kenapa dulu bisa menembak Karina menjadi pacarnya. Cantik sih iya, sekolah juga di luar negeri, tapi... kelakuannya mirip orang sinting yang tidak mengenal pendidikan. Sudah galak, judes, boros, manja pula. Kalau disuruh pilih antara jomblo atau pacaran dengan Karina, Ren pilih jomblo saja daripada hidupnya tidak tenang karena terus-terusan digentayangi.
Rencananya, kalau bisa hari ini juga Ren ingin putus dengan Karina. Tapi problem klasiknya masih tetap sama, tidak tahu bagimana caranya. Karina adalah tipe cewek yang egois dan keras kepala. Dia pasti tidak terima diputus oleh Ren, kecuali Karina sendiri yang meminta putus. Kalau Ren memaksa, bisa dijamin keributan setipe waktu cewek itu nekat mengamuk di rumah Oji akan tercipta lagi. Jadi untuk menghindari adegan-adegan kekerasan semacam itu, Ren masih memikirkan cara yang tepat. Kalau saja rencananya untuk berpura-pura jadi pasangan homo disetujui Oji, Ren yakin seratus persen Karina akan langsung memutuskan hubungan tanpa harus diminta.
Setelah puas berkumur-kumur dan mencuci muka, Ren segera kembali ke kamarnya dan berganti baju. Males banget mandi. Cuma jemput Karina nggak perlu wangi-wangi. Lagipula, cewek singa itu aneh-aneh saja. Capek, kok, malah shopping. Yang ada bukannya sembuh, tapi bisa-bisa giliran kakinya yang bengkak. Ditambah lagi Karina suka sekali memakai high heels. Ren harus siap-siap membawa headset kedap suara, supaya telinganya tidak tuli mendadak karena harus mendengar rengekan Karina yang pasti akan panjang dan memusingkan.
Ren segera menyisir rambutnya dan menyambar kunci mobil dari atas meja. Semoga hari ini dadanya lapang selapang lapangan bola saat menghadapi Karina.
***
“Iya, gila aja. Gue belajar mati-matian cuma dapet nilai 70. Padahal gue yakin jawaban gue cuma salah dikit!”
Mikan dan Saka tampak antusias menyimak celotehan Tania yang berapi- api soal nilai ujian Fisika mereka. Kemarin Pak Anwar membagikan hasil ujian mereka. Mikan dan Saka lulus KKM, sementara Tania tidak lulus karena kurang lima poin. Oleh karena itu, seharian ini dia uring-uringan. Tania memang paling dodol pelajaran Fisika, padahal sebentar lagi mereka ujian kelulusan.
“Mungkin lo kurang teliti waktu ngerjain. Soalnya kan Pak Anwar kalo bikin soal emang suka pake rumus yang banyak dan ribet. Nggak boleh ada yang ketuker,” Mikan menimpali. Sekarang mereka bertiga sedang berdiri di eskalator mal yang membawa mereka naik ke lantai 3.
Hari ini, Mikan; Tania; dan Saka sengaja berbelanja kado untuk ulang tahun Dea besok lusa. Tania tidak ikut membeli, dia hanya menemani Mikan dan Saka karena setelah berpikir panjang kali lebar, dia akhirnya memutuskan untuk tidak datang ke ulang tahun Dea. Lagipula dengan adanya pengumuman remedial, Tania berniat menghabiskan malam Minggunya untuk belajar Fisika bersama kakaknya yang kebetulan mengambil jurusan Fisika di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
“Iya kali. Atau emang lo yang kurang pinter,” sahut Saka cekikikan.
Tania memanyunkan bibirnya sebal. Perlu orang-orang ketahui, dia bukannya kurang pintar, tapi hanya kurang cermat dalam memasukkan angka. Tania yakin, rumus yang dipakainya sudah benar. Dia bisa saja mendapatkan nilai yang jauh lebih tinggi dari Mikan dan Saka kalau kemarin tidak salah hitung.
Tania mempercepat langkahnya menuju sebuah restoran Jepang yang ada di dalam mal. Pekerjaan mencari kado ternyata membuatnya super kelaparan. Tanpa menunggu Mikan dan Saka yang tertinggal beberapa meter di belakangnya, cewek itu segera masuk ke restoran.
“Lho, Mbak. Kan saya duluan yang mau duduk di sini.”
Dari pintu masuk, samar-samar Mikan mendengar Tania berbicara dengan nada tinggi. Dia segera mengajak Saka berlari menuju ke pusat suara. Seorang cewek cantik yang baru saja duduk di depan Tania terlihat balas membentak.
“Lo buta, hah? Jelas-jelas gue yang duduk di sini duluan,” kata cewek itu tidak mau kalah. Matanya melirik galak ketika Mikan dan Saka tiba-tiba datang.
“Udah Tan, kita cari meja kosong yang lain aja, yuk,” Mikan buru-buru menarik lengan Tania.
“Nggak bisa, gue duluan yang ke sini. Emangnya dia pikir nih restoran punya nenek moyangnya?” Tania menatap geram cewek di depannya. Sebelah tangannya sudah terkepal, bersiap kalau tiba-tiba cewek itu menyerangnya duluan.
“Iya, emang punya nenek moyang gue. Kenapa? Nggak suka?” balas cewek itu tidak mau kalah. Sekarang cewek berambut panjang itu sudah berdiri dari kursinya dengan dagu terangkat, bermaksud menantang Tania.
Bukannya takut, Tania malah mendorong cewek itu hingga jatuh terduduk lagi di kursinya. “Makan tuh kursi, makan!”
“Kurang ajar!” Cewek itu kembali berdiri dan langsung melayangkan tasnya ke wajah Tania. Tania memekik tertahan. Untungnya tangan sigap Saka berhasil menangkap tas cewek itu sebelum mengenai wajah Tania.
“Tan, udah! Ayo kita ngalah aja,” bujuk Mikan ketakutan. Kedua tangannya yang gemetar menarik-narik lengan Tania agar cepat menjauh. Tania masih kelihatan syok. Dia tidak bisa membayangkan kalau ujung tas yang runcing milik cewek itu benar-benar sampai mengenai pelipisnya. Beberapa orang di sekitar mereka mulai berbisik-bisik, para pelayan restoran pun juga segera datang untuk mendamaikan.
“Iya Mas, kita pindah tempat duduk aja ke sebelah sana,” kata Mikan mengalah pada si pelayan. Mikan cepat-cepat membawa Tania dan Saka ke meja paling ujung.
“Enak aja, tas gue!” Cewek itu menarik kasar tasnya ketika Saka akan melangkah pergi. Saka melotot kesal. Mikan yang melihatnya langsung memaksa Saka untuk tidak meladeni cewek itu. Saka menurut sambil terus mengomel.
“Tarik napas dalam-dalam, embuskan,” Mikan menuntun Tania untuk menenangkan diri setelah mereka bertiga duduk. Tania menurut. Dia segera menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Tetapi biarpun begitu, Tania masih sempat-sempatnya memperhatikan lagi cewek tadi. Penampilan cewek itu borju sekali, dengan warna rambut yang dicat blonde kebule- bulean. Belum lagi barang-barang belanjaannya—semuanya barang bermerk yang bahkan Tania tidak pernah berani masuk ke outletnya hanya untuk sekadar lihat- lihat. Sekarang cewek itu sedang sibuk memainkan ponselnya sambil uring-uringan tidak jelas. Tania yang melihatnya jadi semakin sebal.
“Nggak usah diliatin mulu,” Mikan melotot gemas. Dia menggeser paksa posisi kepala Tania yang miring ke belakang.
“Tau lo, Tan. Nggak usah bikin perkara lagi, deh. Mau lo ketimpuk tas besi punya tuh Nenek Lampir?” sahut Saka yang duduk di sebelah Mikan. “Mau lo liatin sampe kapan pun, tetepan cantikan tuh cewek ketimbang elo,” kelakarnya yang langsung kena pelototan tajam Mikan.
“Lagian, tuh cewek nggak punya sopan santun banget. Jelas-jelas gue udah berdiri di samping meja itu duluan, udah naruh tas malah. Eh, dia tiba-tiba langsung duduk aja tanpa permisi. Mana gue dikatain buta, lagi. Kan ngeseliiin!!” repet Tania kesal sambil mencak-mencak.
“Ya udah, sabar. Lo ngalah aja, daripada urusannya makin panjang,” Mikan berusaha menenangkan. “Lo juga Sak, kalo nggak bisa bikin adem suasana mendingan diem aja.”
Saka manyun. “Kok gue juga, sih...”
“Iya, lo tuh tong kosong berbunyi nyaring,” sahut Tania menambahi. Dari dulu Saka kalau berkomentar memang selalu tidak penting dan tidak bermutu. Tapi diam-diam dia berterima kasih juga karena Saka sudah menyelamatkannya dari amukan tas Nenek Lampir.
“Nyaringan juga suara lo. Udah ah, gue laper. Gue mau pesen makanan. Pokoknya hari ini lo yang traktir, ya. Lo udah berutang nyawa sama gue,” tandas Saka cuek sambil sibuk memilih menu. Tania spontan mendelik.
Setelah Mikan, Tania, dan Saka selesai memesan makanan, mereka kembali mengobrol. Kali ini bukan soal cewek jelmaan Nenek Lampir di seberang sana, tapi soal ulang tahun Dea yang tinggal besok lusa.
“Lo udah tau mau bawa siapa ke pesta ulang tahun Dea?” tanya Tania mengingatkan Mikan. Kalau Saka, sih, tidak usah ditanya lagi. Dia pasti akan mengajak Riska.
Mikan menggeleng polos. “Nggak tau. Gue nggak berniat bawa siapa-siapa.”
Tania melongo hebat. “Acaranya tinggal empat puluh delapan jam la—”
“Dua hari,” potong Mikan cepat. Empat puluh delapan jam terdengar terlalu cepat di telinganya.
“Ya, whatever. Dua hari lagi dan lo belum tau mau ngajak siapa?” lanjut Tania tidak percaya.
Mikan kembali menggeleng.
“My God!” Tania menepuk dahinya. Punya sahabat yang tidak peka dan tidak bersemangat dalam urusan cinta memang sulit. Kalau begini caranya, Tania harus ekstra mengajari Mikan tentang pentingnya mempunyai pasangan. “Lo ajak si Oji, kek. Jangan sampai lo jadi single fighter alias jomblo ngenes di antara lautan couple.”
Alis Mikan bertaut. Oji? Mikan saja tidak sampai kepikiran Oji. “Ya kalo gue bisa membelah diri, gue bakal bawa kembaran gue yang satunya .”