If You Were Him

Farahiah Almas Madarina
Chapter #4

EMPAT

“UNO!”

“Hahaha, lo kalah!”

Lagi-lagi Mikan harus pasrah ketika wajahnya yang mulus dilukis dengan gambar petir, love, dan gambar-gambar tidak manusiawi lainnya. Sore ini, dia menghabiskan waktu dengan bermain UNO bersama Tania dan Saka. Hasilnya, Mikan sudah tiga kali kalah berturut-turut dengan wajah memprihatinkan sebagai taruhannya.

“Bentar, bentar,” potong Mikan begitu merasakan ponsel di pangkuannya bergetar. Tania yang sedang asyik menggambar gunung di dahi Mikan mendecak kesal ketika kepala Mikan bergerak turun untuk melihat layar ponselnya. Ternyata Oji yang menelepon. “Ada apa, Ji?” tanyanya dengan posisi kepala yang dipaksa menghadap lurus ke depan.

Lagi ngapain, Chan?” balas suara dari seberang. “Main uno bareng Tania sama Saka.”

Wah, seru dong.” Jeda sebentar, kemudian, “Btw, ntar malem lo ada acara nggak?”

Kepala Mikan segera bergerak lagi, kali ini mundur karena Tania berusaha menguping percakapannya dengan Oji. “Ada sih ntar malem acaranya temen gue. Kenapa, Ji?

Hening beberapa detik. Sempat Mikan mengira teleponnya terputus, namun Oji akhirnya menjawab, “Ya udah, nggak apa-apa. Next time aja. Hehe...,” katanya tidak jelas, membuat kening Mikan berkerut-kerut bingung. Tania yang semakin penasaran segera bertanya “kenapa” padanya tanpa suara. Mikan hanya mengangkat pundaknya acuh tak acuh.

Gue boleh ikutan kalian main uno?” Oji kembali menyahut.

 “Eh... Ehm, boleh.” Mikan segera mengambil cermin di sebelahnya dan melihat pantulan wajahnya yang sekarang mirip makhluk astral. Sedetik kemudian dia buru-buru meralat, “Eh, jangan, Ji. Maksud gue, gue lagi nggak di rumah mainnya. Gue di rumah Tania,” elaknya berbohong. Tania yang mendengar segera melotot dan berteriak “enggak” sekeras mungkin.

Oji terkekeh pelan, “Ya udah, have fun, ya.

 “Thank you,” balas Mikan kemudian menutup teleponnya. “Apa?” tanyanya, ketika melihat ekspresi wajah Tania yang berubah kesal.

“Lo kok nggak jujur aja, sih, kalo kita lagi main uno di rumah lo?” protes cewek berpipi tembam itu setelah Mikan kembali meletakkan ponselnya.

“Dengan kondisi wajah gue yang nista begini? No way!”

 Saka yang sedang meraut pensil alis untuk dijadikan alat mencoret-coret wajah ikut-ikutan menyahut, “Gimana lo mau dapet jodoh kalau lo terus-terusan menutup diri dan nggak ngebiarin orang lain tahu tentang diri lo yang sesungguhnya?”

“Gue lagi nggak nyari jodoh,” tukas Mikan sedikit tersinggung, tetapi tetap dengan gayanya yang cuek.

Saka mendongak dan menatap Mikan heran. “Gue juga nggak lagi ngomong sama lo. Ini, barusan dapet quote di instagram,” timpalnya, menunjukkan layar ponselnya.

Gotcha!” Sekarang giliran Tania yang heboh. “Jadi ternyata diem-diem lo lagi menyembunyikan sesuatu, ya, Chan. Lo nggak mau cerita sama kita-kita?”

Mikan memutar bola matanya bosan. “Enggak ada yang gue sembunyiin dari kalian. Lo udah selesai gambar belom? Gue mau cuci muka, nih, udah nggak betah.”

Tania mendengus pelan. “Udah sih, cuma bagian pojok belum gue gambarin. Lo ada ide nggak, Sak?” tanyanya pada Saka yang masih berusaha meraut pensil alis dengan benar. Sudah dua kali dia mematahkan isinya karena terlalu runcing.

“Aduuuh, udah nggak usah diraut lagi. Itu punya nyokap gueee, mehong banget harganya,” sahut Mikan panik. Meskipun dia tidak mengerti dan tidak pernah punya kosmetik selain bedak bayi, dia tahu merk Anastasia Beverly Hills bukanlah merk murahan.

Saka jadi ikut-ikut panik dan refleks menjatuhkan pensil alis itu karena kaget. Sialnya, ujung pensil yang runcing membentur lantai dan patah untuk yang ketiga kalinya. Sekarang semuanya saling menahan napas.

“Soriiiii, gue nggak tahu. Gue kira itu pensil tulis biasa,” sesal Saka begitu melihat Mikan meratapi pensil alis mamanya yang tinggal sepanjang jari kelingking. “Pantesan teksturnya aneh banget.”

“Sejak kapan pensil tulis bisa buat ngegambar muka?” desis Mikan keki. Dia segera menyelamatkan pensil itu sebelum terkena bencana-bencana tidak terduga lainnya. “Udahan aja, yuk. Udah jam 5 dan gue belum mandi.”

“Iya, gue juga mau siap-siap buat ntar malem,” Saka segera berdiri dan meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.

“Lo jadi ngajak Riska?” tanya Tania acuh tak acuh.

“Ya, iyalah,” jawab cowok itu singkat. “Ini aja gue lagi chat-an sama dia.”

“Ooh,” Tania mengangguk-angguk. Entah kenapa, jauh di dalam lubuk hatinya ada sedikit perasaan tidak rela.

“Cabut ya, guys,” pamit Saka melambaikan tangannya. Tania dan Mikan balas melambaikan tangan.

“Lo yakin nggak mau berangkat ke ulang tahun Dea bareng gue?” tanya Mikan, mengagetkan Tania yang sedang sibuk memperhatikan punggung Saka hingga menghilang di balik pintu.

Tania terkekeh. “Enggak, udah, santai aja. Buruan mandi, gih. Gue udah nggak sabar pengin dandanin lo,” katanya berusaha semangat.

Mikan mengangkat pundaknya acuh tak acuh. “Oke,” katanya pada akhirnya. Sejujurnya dia merasakan sesuatu yang agak berbeda dari Tania, terlebih saat cewek itu sedang bicara dengan Saka. Tapi daripada menebak-nebak sesuatu yang belum pasti, Mikan lebih memilih diam. Mikan sendiri tidak suka privasinya diusik, jadi dia juga tidak berniat mengusik privasi Tania lebih jauh. Mikan yakin, bila waktunya sudah tepat, Tania pasti akan bercerita sendiri padanya. Lagipula, rencana mereka sore ini adalah bermain make over. Maksudnya, Tania sebagai make-up artist sekaligus hair stylist akan mendandani penampilan Mikan dari ujung atas sampai ujung bawah. Awalnya Mikan keberatan karena menurutnya, sisir dan bedak bayi sudah cukup membuatnya kelihatan fresh. Namun karena Tania terus memaksanya, akhirnya mau tidak mau dia setuju juga. PS: semua alat make-up disponsori oleh Mama Mikan yang memang hobi dandan.

***

 

Mikan tidak berkedip memandangi dirinya di depan cermin. Cewek itu belum bisa percaya kalau sosok ber-dress merah muda dengan rambut hitam digelung ala Cinderella yang dia lihat sekarang adalah dirinya sendiri. Mikan berputar ke kanan, ke kiri, lalu ke posisi semula lagi tanpa bisa berkata-kata. Tania tersenyum puas, sambil bertepuk tangan mengagumi hasil karyanya.

Di antara skala 1 sampai 10 kategori wanita tercantik Indonesia, penampilan Mikan saat ini sudah berada di nilai 9,5. Dengan tubuh setinggi 170 senti dan kulit yang putih mulus tak bernoda, Mikan seharusnya sudah pantas disandingkan dengan model-model Asia ternama. Apalagi wajahnya yang Jepang sekali, membuatnya semakin tampak muda dan menarik. Tania tidak mengalami banyak kesulitan saat men-touch up wajah Mikan dengan berbagai macam kosmetik. Tone kulitnya yang terang sudah cukup membuat semua warna eye shadow dan lipstik terpoles dengan sempurna. Tania bahkan tidak perlu mengeluarkan banyak effort karena sahabatnya yang satu itu sudah sangat cantik.

“Gue yakin banget, selepas pesta nanti lo nggak bakal jadi jomblo lagi,” kata Tania sambil nyengir lebar.

Mikan segera berkedip dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini nggak berlebihan, kan?” tanyanya, menunjuk bibir yang berkilau seperti glitter.

Tania melotot gemas dan menahan tangan Mikan. “Jangan dipegang-pegang gitu, nanti karya gue rusak.”

Akhirnya, Mikan yang kedua tangannya tidak diperkenankan untuk menyentuh apapun dari bagian riasan di tubuhnya hanya bisa terduduk pasrah sambil berharap-harap cemas menunggu telepon dari Raffa. Tadi siang Mikan sudah mengirimkan alamat rumahnya lewat SMS, tapi entah mengapa hingga waktu hampir menunjukkan pukul setengah delapan malam, cowok itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.

Baru ketika Mikan mengira Raffa benar-benar tersasar, tiba-tiba mamanya membuka pintu kamar dan berkata, “Teman kamu sudah datang, tuh. Cepat turun.”

Ada rasa lega yang menjalari seluruh tubuh Mikan. Cewek itu segera mengekor mamanya turun ke ruang tamu, diikuti Tania yang heboh memberi tahu tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh Mikan selama pesta nanti.

“Hai, Chan,” sapa Raffa menyunggingkan senyum terbaiknya.

“Hai, Kak,” Mikan membalasnya gugup. Di sebelahnya, Tania sudah mewanti-wantinya untuk bersikap semanis mungkin pada Raffa. “Sekarang?”

“Yuk.” Raffa segera bangkit dari sofa dan berjalan ke arah Mama Mikan, “Saya sama Mikan berangkat dulu, ya, Tante,” pamitnya sopan.

“Hati-hati, ya. Jangan pulang malam-malam,” Mama Mikan tersenyum. Sebetulnya Mama sempat ragu ketika mendengar Mikan akan pergi ke pesta ulang tahun temannya tanpa ditemani Tania. Mama khawatir, bila tiba-tiba udara malam membuat penyakit asma Mikan kambuh. Tapi setelah Tania berusaha meyakinkan bahwa Raffa adalah sosok yang bertanggung jawab, akhirnya Mama mengizinkannya.

“Tania juga pamit sekalian, deh, Tan,” celetuk Tania sambil nyengir.

“Lho, kamu nggak nginep sini aja? Temenin Tante,” bujuk Mama Mikan sambil balas bercipika-cipiki. Mama Mikan memang sudah sangat dekat dengan Tania. Biasanya kalau sedang weekend seperti ini, Tania sering menginap di rumah Mikan. Apalagi semenjak Papa sering ke luar kota, Mama jadi semakin kesepian di rumah.

“Lain waktu ya, Tan. Aku mau belajar Fisika sama Kakak, hihihi...”

Mama Mikan tertawa pelan. “Ya udah, tapi besok jangan lupa datang syukuran, ya. Oh iya, Raffa juga datang ya? Besok siang Tante ada syukuran kecil- kecilan,” katanya, beralih pada Raffa yang hendak berjalan ke arah mobilnya.

“Insya Allah, Tante. Makasih, lho, udah diundang,” kata cowok itu sambil tersenyum. “Yuk, Tante, Tania...” Raffa mengangguk sopan pada Mama Mikan dan Tania, kemudian mempersilakan Mikan masuk ke mobilnya terlebih dahulu. Terdengar bunyi klakson dua kali sebelum mobil Raffa melaju meninggalkan rumah Mikan.

“Lo cantik banget malem ini,” komentar Raffa begitu mobilnya melaju tenang di jalan raya.

Mikan menggaruk kepalanya yang tidak gatal—kebiasaannya setiap salah tingkah atau bingung. “Mm, makasih. Kakak juga,” katanya, setelah tersadar hampir merusak tatanan rambutnya.

“Gue cantik juga, gitu maksud lo?” Raffa tergelak, membuat pipi Mikan memerah. “Pakai kata-kata yang tepat, dong.”

Setengah mati Mikan menahan degup jantungnya yang mulai berdetak di luar kendali. Seumur hidup dia tidak pernah merasa secanggung ini. “Mm, keliatan oke,” katanya berdeham, setelah berhasil menemukan kata yang pas. Sejujurnya, Raffa memang kelihatan super tampan malam ini dengan kemeja hitam lengan panjang yang digulung rapi setinggi siku.

Thanks,” Raffa tersenyum kecil. “Anyway, lo belum cerita ke gue siapa yang ulang tahun. Bakalan nggak lucu, kan, kalo ntar waktu salaman, gue nggak tau siapa nama orang yang gue selametin.”

Mikan tertawa garing. Iya juga. Dia sampai tidak kepikiran untuk memberi tahu Raffa tentang hal itu. “Namanya Dea, temen gue satu sekolah, tapi beda kelas.”

“Dea?”

Lihat selengkapnya