Pertandingan futsal sore ini selesai dengan lancar dan sesuai harapan. Tim Ren dan Oji yang membawa nama kelas mereka berhasil menang melawan anak kelas 11 setelah beberapa kali mengalami kebobolan gawang. Pada menit-menit akhir pertandingan, Ren yang memanas meluncurkan tendangan penutup dengan sangat indah. Riuh rendah suara pendukung mereka menggema, menjadi backsound yang melegakan di final Permata Cup tahun ini. Ren mengelap keringatnya puas, usaha memang tidak pernah menghianati hasil.
“Nice goal, Bro!” Oji dan teman-teman yang lain segera bergabung dengan Ren. Mereka semua ber-high five.
“Gue nggak nyangka ini bakal jadi pertandingan terakhir kita di SMA,” celetuk Wildan, salah seorang striker di tim Ren. “Tapi gue bangga, kita bisa menutup tahun ini dengan merebut juara 1.”
Ren tersenyum lebar. Ya, pertandingan terakhirnya ini sekaligus mengobati rasa perpisahannya pada Indonesia yang sebentar lagi akan tiba. Mau tidak mau, dia teringat akan selebaran-selebaran universitas pilihan papanya. Papanya memberi Ren waktu satu bulan untuk memilih universitas mana yang akan dia tuju. Kesemuanya adalah universitas swasta, yang tentu saja tidak memerlukan pure competition karena papanya yang pebisnis terkenal sudah memiliki banyak link dan cara untuk memasukkan Ren dengan mudah ke sana.
“Minum?” Oji menyodorkan botol air miliknya yang langsung diterima Ren dengan senang hati. “Lo keliatan bahagia banget,” katanya, kemudian duduk di salah satu kursi penonton.
Ren menenggak air itu hingga hampir habis. “True,” sahut Ren, setelah air segar membasahi seluruh tenggorokannya yang kering. Cowok itu ikut duduk di sebelah Oji sambil meregangkan otot-ototnya. Wajar kalau Oji heran melihat luapan kegembiraan Ren selama pertandingan futsal tadi berlangsung. Ren belum sempat menceritakan perihal rencana papanya pada Oji. “Soalnya setelah kelulusan, gue bakal lanjut kuliah di luar negeri.”
Oji yang sedang membuka ikatan tali sepatunya berhenti sesaat. “Dadakan banget?”
“Gue sendiri aja juga kaget.”
Oji melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal biasa. “Lo nggak coba bilang kepenginan lo buat lanjut di kampus seni? Lo kan suka main musik.”
Ren terkekeh pelan sambil menerawang, memperhatikan anak-anak lain yang juga sedang mengobrol di seberang lapangan. Ren memang suka bermusik. Bakatnya yang hebat dalam bermain gitar sudah diakui banyak orang, tetapi dia sendiri tidak pernah berniat untuk menyeriusinya. Bahkan, ayahnya sendiri pun seperti tidak peduli kalau Ren bisa bermain gitar. “Seandainya bisa segampang itu,” katanya, kemudian, “Percuma, Ji. Mau gue jelasin kayak gimanapun, takdir gue tetep aja nerusin bisnis bokap. Gue nggak bisa ngelanggar takdir itu.”
Suasana menjadi hening. Oji dan Ren sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Meskipun selama ini mereka terbilang cukup sering bertengkar, tetapi sepertinya membahas sebuah perpisahan bukanlah topik yang menyenangkan. Sejujurnya Oji sedikit menyayangkan soal kabar Ren untuk kuliah di luar negeri. Bagaimanapun juga, mereka sudah bersahabat sejak SMP dan selalu menghabiskan waktu bersama. Tanpa kehadiran Ren, rumah Oji pasti akan terasa jauh lebih sepi.
“Mana cewek lo? Tumben nggak keliatan?” tanya Oji, mengalihkan pembicaraan.
Ren hanya mengedikkan bahunya. Semenjak kejadian di acara ulang tahun sepupunya, rasa kesal Ren pada Karina meningkat berkali-kali lipat. Ren bahkan tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi terhadap cewek itu. Untuk saat ini, dia tidak ingin tahu soal kabar Karina. Sesekali dia ingin memiliki rasa “bodo amat” terhadap apapun yang dilakukan cewek itu. Tidak peduli bagaimana reaksi yang akan diterimanya, sejak pagi tadi Ren sudah mematikan ponselnya.
“Hm, Bro,” Oji menepuk pundak Ren. “Gue rasa gue berubah pikiran. Gue mau bantuin lo buat putus dari Karina,” katanya. Setelah dipikir-pikir, Oji tidak tega juga melihat sahabatnya terus-terusan tertekan seperti itu. Paling tidak, dia ingin berbuat sesuatu yang dapat melegakan hati Ren sebelum sahabat satu-satunya itu benar-benar pergi ke luar negeri.
Ren mendongak. “Lo serius?”
Merasa dipandang penuh harap seperti itu, Oji buru-buru menarik tangannya dari pundak Ren. “Tapi gue tetep nggak mau pake cara konyol lo itu,” katanya memberi syarat.
“Trus gimana?”
Oji terdiam sebentar, kemudian menjawab, “Ntar gue pikirin lagi cara lainnya. Yang penting sekarang kalian jangan sampe ketemu dulu. Bikin dia uring- uringan,” jelasnya mewanti-wanti.
“Gampang itu mah, bisa diatur,” Ren mengangguk-angguk setuju. “Thanks ya, Ji. Kalo ntar gue berhasil putus dari Karina, gue bakal anggep itu jadi kado perpisahan terindah dari lo,” katanya sambil nyengir.
Tidak lama kemudian, Wildan terlihat melambaikan tangannya dari kejauhan. Oji dan Ren balas melambai ke arahnya, kemudian segera beranjak dari kursi. Sore itu, akhirnya seluruh anggota tim futsal kelas 12 berkumpul untuk merayakan kemenangan kecil mereka.
***
“CHAN, AWAS!”
Sebuah SUV putih berkecepatan tinggi nyaris saja menyerempet lengan Mikan dari sisi kanan. Mobil itu cepat-cepat berhenti, setelah berhasil banting stir ke space kosong di pinggir jalan. Seorang cowok dengan setelan kaos futsal lengkap segera keluar dari pintu kemudi.
Tania berlari tergopoh-gopoh menghampiri Mikan. “Ya ampun, Chan, lo nggak apa-apa, kan?” repetnya khawatir.
“Hei, kalian baik-baik aja?” Cowok itu ikut mengecek keadaan Mikan dan Tania dengan raut wajah panik.
Tidak ada jawaban dari Mikan. Cewek itu kelihat sangat syok. Tania yang cemas mengguncang-guncangkan tubuh Mikan dengan sekuat tenaga.
“Roger... Roger. ” tunjuk Mikan dengan tangan bergetar.
“Apa? Temen lo ada yang kena? Mana?” Cowok itu segera berlari ke seberang untuk mencari orang yang dimaksud Mikan.
“Roger!” Tania ikut berteriak histeris, membuat cowok itu semakin kebingungan mencari sosok Roger. “Di bawah!” pekiknya menunjuk seekor kucing ras yang tergeletak lemas tidak jauh dari kaki cowok itu.
Mikan menangis tanpa suara. Roger, kucing kesayangannya mengeong keras berkali-kali tanda kesakitan.
“Astaga, ayo cepet kita bawa ke dokter hewan!” seru cowok itu sembari mengangkat Roger. Mikan dan Tania segera mengikutinya masuk ke mobil.
“Sori, gue bener-bener nggak sengaja...,” sesal cowok itu sambil berulang kali menengok ke arah Mikan yang duduk di sebelahnya sambil berusaha menenangkan Roger. Tadi sore, Mikan membawa Roger—kucing peliharaannya— ke rumah Tania untuk diajak jalan-jalan ke taman kota yang letaknya hanya beberapa meter rumah Tania. Awalnya mereka berencana kembali ke rumah sebelum Maghrib, tapi karena tidak sengaja bertemu dengan salah satu teman sekelas, akhirnya mereka terlalu lama mengobrol dan pulang ketika langit sudah gelap.
“Iya, bukan sepenuhnya salah lo kok. Gue aja yang kurang ati-ati nyeberang jalan,” sahut Mikan lirih tanpa mengalihkan perhatiannya dari Roger. Sebenarnya Roger bukan jatuh karena ditabrak mobil cowok itu. Roger melompat dari gendongan Mikan tidak lama ketika mobil cowok itu nyaris menyerempetnya. Roger yang kaget akhirnya menubruk sepeda motor yang saat itu sedang melintas. Sang pengendara motor juga pergi begitu saja.
Cowok itu mengembuskan napas dengan gugup dan menjalankan mobilnya. Kejadian barusan benar-benar di luar dugaannya. Dia tidak pernah seceroboh ini dalam mengendarai mobil. Mungkin karena sejak awal ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, cowok itu jadi sedikit kehilangan konsentrasi.
Tidak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah klinik hewan yang cukup sepi. Mereka bertiga segera turun dan mencari dokter yang berjaga.
“Kucingnya kenapa?” tanya seorang dokter berkacamata yang baru saja keluar dari ruang opname. Dokter itu segera menyuruh Mikan meletakkan Roger di atas meja periksa.
“Keserempet, Dok,” jawab Mikan sambil terus mengelus-elus kepala Roger.
Roger belum berhenti mengeong.
Dengan cekatan, sang dokter segera memeriksa seluruh bagian tubuh Roger. Ketika memegang kaki kanannya, Roger menggeliat kesakitan. “Ini kakinya luka,” jelasnya sambil menunjukkan bagian kulit kaki kanan Roger yang sedikit sobek. “Tapi enggak apa-apa, masih bisa diatasi. Kucing kamu akan pincang untuk sementara waktu karena luka dan memar di tulang kakinya harus diperban.”
“Masih bisa sembuh kan, Dok?” tanya Mikan harap-harap cemas. Meskipun begitu, dia bersyukur Roger tidak mengalami patah kaki maupun luka-luka serius lainnya.
“Masih, tenang saja. Asalkan selama masa penyembuhan betul-betul diawasi.”
Sang dokter segera menulis beberapa resep dan mengambil obat-obatan yang diperlukan. “Untuk sebulan ini paling tidak satu kali dalam seminggu kamu bawa kucing kamu kontrol ke sini, supaya saya bisa memastikan kalau tulang kakinya baik-baik saja.”
“Gue bakal bertanggung jawab sampai kucing lo sembuh,” sahut cowok itu sungguh-sungguh.
Mikan menoleh dan terperangah ketika menyadari bahwa ternyata cowok yang sudah empat puluh lima menit bersamanya itu adalah teman Oji—Ren. Sejak tadi dia bahkan tidak sempat memperhatikan wajah Ren karena terlalu fokus pada Roger. Sekarang Mikan tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia bingung harus berpura-pura tidak kenal—karena delapan puluh persennya dia yakin kalau Ren pasti tidak mengingatnya—atau berusaha menyapa dengan mengingatkan Ren pada beberapa scene pertemuan mereka tempo lalu.
Tetapi sepertinya Mikan lebih memilih opsi pertama untuk berpura-pura tidak kenal, karena menyapa sekarang pun sudah sangat terlambat.
Setelah urusan pembayaran dan obat-obatan beres, Ren bersikeras ingin mengantarkan Mikan dan Tania pulang. Awalnya Mikan menolak, tetapi karena Ren terus-terusan memaksa, akhirnya mereka menurut. Ren merasa harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini, dan mengantarkan dua cewek itu pulang ke rumah mereka adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban Ren.
“Sekali lagi, gue bener-bener minta maaf buat kejadian ini,” kata Ren tidak enak hati, ketika mereka bertiga sudah berada di dalam mobil.
“Gue juga berterima kasih karena lo udah mau bertanggung jawab buat bawa Roger ke sini, walaupun bukan mobil lo yang nyerempet Roger. Soal pengobatan lanjutan, nggak usah lo pikirin. Itu udah di luar tanggung jawab lo karena gue yang seharusnya ngerawat dia,” jawab Mikan, masih mengelus-elus Roger yang sekarang mulai tenang. Sepertinya obat yang disuntikkan oleh dokter berhasil mengurangi rasa sakit di kaki Roger.
“Nggak, gue bakal tetep tanggung jawab sampai kucing lo bener-bener sembuh,” lagi-lagi Ren bersikeras. Tania yang duduk di belakang ikut-ikutan menyahut, memaksa Mikan untuk menerima saja tawaran Ren.