Berkali-kali Mikan melirik jam tangannya dengan gelisah. Sebentar lagi bel masuk kelas berbunyi, sementara Tania belum juga menunjukkan batang hidungnya. Padahal subuh tadi Mang Dadang sudah mengantarkan cewek itu pulang ke rumahnya, jadi seharusnya—dengan sisa waktu yang cukup banyak— Tania bisa datang ke sekolah tepat waktu.
Sebenarnya Mikan tidak akan segelisah ini kalau saja jam pertama bukanlah mata pelajaran Biologi. Bu Mariska—guru Biologi paling disiplin seantero Bakti Nusa—tidak pernah segan-segan menolak muridnya yang terlambat untuk mengikuti pelajaran, sekalipun pada saat ujian. Apalagi hari ini adalah jadwal mereka mengumpulkan tugas. Kalau sampai ada siswa yang terlambat, bisa dipastikan siswa tersebut tidak akan mendapatkan nilai.
Sambil berusaha keras menghubungi Tania lewat telepon, Mikan bisa melihat Saka dengan jelas dari sudut matanya sedang asyik mengobrol dengan Riska. Huh, dasar nggak peka! Mikan membuang mukanya kesal. Baru ketika dia nyaris menyerah karena teleponnya tidak kunjung diangkat, tiba-tiba sosok yang sejak tadi dicarinya muncul dari balik keramaian. Tania terlihat terseok-seok, ditemani seorang satpam yang membantunya berjalan dan membawakan tas.
“Hah? Tania!” pekik Mikan syok. Dia buru-buru memasukkan ponselnya ke saku dan bergegas menghampiri Tania yang berjalan tertatih-tatih. “Lo kenapa?!”
Tania hanya meringis kesakitan. Cewek itu mengarahkan telunjuknya ke siku kanannya yang terluka.
“Astaga...,” Mikan ikut meringis prihatin. Penampilan Tania pagi ini terlihat super duper kacau dengan lengan seragam kotor dan bagian bawah rok yang sobek. Siku kanan dan kakinya terluka, tampak memar dengan bekas darah yang mengering.
Hampir mengira Tania terlibat tawuran, sang satpam yang sejak tadi membantu Tania segera angkat suara, “Tadi saya lihat Mbaknya datang diantar oleh warga. Katanya jatuh ditabrak sama pengendara motor di jalan dekat sekolah. Eh, lha kok pas mau dibawa ke rumah sakit, Mbaknya nolak. Malah minta dianter ke sekolah,” jelasnya, menceritakan kronologi kejadian.
“Ya ampuuun... kok bisa, sih...,” Mikan menggeleng-gelengkan kepalanya sedih. “Makasih banget ya, Pak, udah nganterin temen saya.”
Mikan segera memapah Tania ke bangku depan kelasnya diiringi tatapan kaget Saka yang seketika menghentikan obrolannya dengan Riska.
“Eh buset, lo abis tawuran, Tan?” celetuk Saka kemudian tertawa keras. Yang diledek hanya mendengus sebal, semakin sebal ketika melihat Riska ikutan ngikik.
“Lagian, elo bukannya balik atau ke rumah sakit sekalian, malah nekat masuk sekolah. Lo kan bisa ngabarin gue lewat HP, jadi gue tinggal ngomong ke Bu Mariska,” Mikan ngedumel gemas.
“Gue nggak pa-pa, kok. Nih liat, buktinya gue masih sanggup dateng ke sekolah, kan?”
“Dengan kondisi lo yang kayak gini?” Tania nyengir.
Kalau saja bisa jujur, Tania bela-belain datang ke sekolah dengan kondisi babak belur begini bukan semata-mata ingin mengumpulkan tugas Biologi, melainkan demi memberikan buku catatan Matematika yang dipesan Saka semalam. Perkara di pelajaran selanjutnya dia merasa tidak kuat mengikuti KBM, dia bisa minta izin untuk istirahat di UKS. Entah kesambet apa, hari ini Tania memang berniat memberikan buku catatannya. Dan kebetulan sekali, pagi ini Saka sudah menunggunya di depan kelas.
“Nih, buku catetan yang lo pesen,” kata Tania pada Saka, sambil menyerahkan buku tulis bersampul biru dari dalam tasnya. “Lo ngapain sih nyari buku catetan semester baheula? Kan ribet nyarinya... Huh, untung masih ada.”
Wajah Saka berubah sumringah. “Thanks,” balasnya cepat, kemudian beralih menatap Riska dengan mata berbinar cerah. “Ini buku yang kamu cari, bisa kamu fotokopi semuanya.”
“WHAT?” Tania melotot mendengar buku catatannya akan diberikan pada Riska. Apalagi mendengar Saka memanggil Riska dengan kata “kamu”, darahnya semakin terasa mendidih.
“No! Catetan gue nggak bisa difotokopi sembarangan!” Tania segera merebut bukunya dari tangan Saka, membuat Riska yang hendak menerimanya langsung terkejut dan menciut.
“Lo apaan sih, Tan? Kan tadi malem lo sendiri yang bilang kalo bukunya boleh dikopi?!” protes Saka tidak mengerti.
“Itu kan tadi malem, sekarang gue berubah pikiran!”
“Kenapa?” Saka semakin bingung.
“Mulai hari ini, detik ini, buku gue ada hak ciptanya!” seru Tania ketus, sambil menarik Mikan untuk segera membantunya masuk ke kelas. Sekonyong- konyong mereka pergi meninggalkan Saka dan Riska yang kebingungan.
***
“Gue nggak bisa diginiin, Chan... Nggak bisa...,” Tania mengelap ingusnya dengan tisu, melemparkannya ke lantai, mengambil tisu lagi dan mengulang hal yang sama hingga persediaan tisu di UKS hampir habis.
Di pagi yang mendung ini, Mikan sedang duduk menemani Tania yang tersedu-sedu di UKS. Kebetulan petugas yang biasa berjaga di UKS tidak ada, jadi Mikan mendapat izin dari Bu Mariska untuk menemani Tania yang tiba-tiba mengeluh kesakitan setelah kejadian merebut buku catatan tadi pagi. Entah bagian tubuh mana yang paling membuatnya sakit, tapi sejak masuk ke UKS, cewek itu tidak berhenti berseru, “Sakitnya tuh, di siniii...,” sambil menekan-nekan dadanya mirip orang sakit jantung.
Sebenarnya Mikan sudah tahu letak permasalahannya. Tanpa perlu Tania menjelaskan, Mikan mengerti bahwa perasaan sedih yang dirasakan Tania pagi ini bersumber dari kecemburuannya pada Riska. Bila kondisinya bukan seperti ini, mungkin Mikan masih memilih diam dan tidak ikut campur soal itu. Namun berhubung Tania sendiri sudah menunjukkannya, maka mau tidak mau Mikan harus bertanya langsung pada cewek itu.