If You Were Him

Farahiah Almas Madarina
Chapter #7

TUJUH

Usai memastikan Tania benar-benar masuk ke rumahnya, Mikan segera pulang bersama Mang Dadang. Tadi sebelum mengantar sahabatnya itu pulang, Mikan sempat membawa Tania ke klinik dekat sekolah. Untungnya hasil pemeriksaan tidak menunjukkan tanda-tanda luka serius, jadi cewek itu hanya diberi obat luar untuk meredakan rasa nyeri.

“Oh iya Non, tadi kata Ibu, Non disuruh kontrol kesehatan ke dokter,” kata Mang Dadang dari balik kemudi.

“Ya udah Mang, kita ke rumah sakit biasa.”

“Baik, Non,” balas Mang Dadang seraya melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Tania.

Sepanjang perjalanan, Mikan hanya memandang ke luar jendela tanpa suara. Kepalanya sibuk memikirkan berbagai macam hal, mulai dari yang penting hingga yang kurang penting. Dia bahkan sempat menebak-nebak materi pelajaran olah raga besok pagi, sampai memikirkan alasan yang logis untuk kabur dari Pak Salman bila ternyata materinya berhubungan dengan bola.

Mikan hendak menyandarkan punggungnya kembali ke kursi, namun tiba- tiba matanya menangkap sosok familiar yang tengah masuk ke sebuah toko buku di pinggir jalan. Cewek itu segera meminta Mang Dadang putar balik ke toko buku yang baru saja dilewatinya.

“Ada apa, Non?” tanya pria berusia paruh baya itu dengan nada khawatir. Dilihatnya dari spion, sang nona seperti kebingungan mencari-cari sesuatu dari kaca mobil yang dibuka.

“Stop di sini, Mang!” kata Mikan meminta Mang Dadang menghentikan mobilnya tepat di seberang toko buku. “Mang Dadang turunin aku di sini, ya. Aku mau ke toko buku sebentar. Mang Dadang pulang aja, habis ini aku janji langsung ke rumah sakit,” kata Mikan seraya bergegas turun dari mobil.

“Tapi, Non?” Mang Dadang berusaha menghentikan Mikan, namun nona mudanya hanya melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan. Mang Dadang tidak bisa berbuat apa-apa—selain pasrah melajukan mobilnya pergi karena suara klakson sudah bersahutan di belakangnya.

Sesampainya di toko buku, Mikan segera celingukan mencari seseorang yang sempat membuat perhatiannya tersita. Siapa lagi kalau bukan Ren, cowok yang paras wajahnya selalu mengingatkannya akan sosok Rizal. Dalam hati Mikan merutuki sikapnya yang sangat kurang kerjaan. Memangnya mau apa kalau sudah bertemu dengan Ren? Mengajak ngobrol? Atau malah sembunyi? Kalau begitu untuk apa repot-repot menyusul Ren?

Mikan jadi pusing sendiri dengan pikirannya. Ah, mau bagaimana lagi, sudah kepalang tanggung. Dia sudah terlanjur masuk ke toko buku dan menyuruh Mang Dadang pulang.

“Cari buku apa, Kak?” Seorang penjaga toko yang melihat Mikan kebingungan segera mendekat dan menawarkan bantuan.

Mikan menggaruk-garuk kepalanya, semakin bingung. Tidak mungkin kan kalau dia bilang sedang mencari orang. “Mau lihat-lihat komik baru, Mas,” jawabnya berdusta.

“Oh, di sebelah sana Kak,” si penjaga tersenyum lalu menunjukkan letak rak yang dimaksud.

“Makasih, Mas,” balas Mikan basa-basi kemudian ngeloyor pergi.

Setelah berkeliling berkali-kali, Mikan tetap tidak bisa menemukan sosok Ren. Setengah kecewa, dia kembali mengedarkan mata ke seluruh penjuru ruangan.

Toko buku ini memang besar, tapi tidak terlalu besar seperti toko buku yang ada di pusat kota. Sejauh mata memandang, Mikan sama sekali tidak menemukan sosok Ren baik di sela-sela rak buku maupun di antara pengunjung. Para pelajar yang datang juga tidak ada yang mengenakan seragam SMA Permata, jadi kemungkinannya salah lihat semakin besar.

Namun berhubung feeling Mikan masih kuat mengatakan bahwa Ren ada di sini, Mikan memutuskan untuk tidak menyerah dan mencoba menunggu lebih lama. Entah untuk apa, namun dia yakin debar jantungnya terjadi bukan tanpa sebab.

Cewek berambut lurus itu berjalan menuju rak komik, mengambil salah satu komik yang sampulnya sudah terbuka dan duduk di kursi sebelah rak. Sambil membaca, cewek itu berharap Ren benar-benar ada di sini.

***

 

Lengkingan suara tinggi Ferdi menjadi penutup latihan musik Ren bersama teman-temannya. Setelah memainkan beberapa lagu, grup band yang berisikan empat personil itu akhirnya sepakat mengakhiri sesi latihan hari ini. Ren mengelap keringatnya dengan handuk yang dilempar Kevin, kemudian merebahkan diri di atas karpet.

Good job, guys!” seru Edo seraya meletakkan bass-nya. “Gue yakin, kalo main kita selalu bagus kayak gini, dapur rekaman bakal nerima musik-musik kita.”

“Yoi, The Head pasti dikenal se-Indonesia,” sahut Kevin optimis. “Wah, kita mesti siapin nama buat fans kita.”

“Bener juga lo, Do!”

Sementara ketiga temannya sibuk berangan-angan, Ren hanya memandangi langit-langit studio. Cowok itu menghela napas pelan. Andai saja dia diberi kesempatan merintis karirnya di dunia musik, dia pasti sudah segembira teman- temannya saat ini. Sayangnya tidak banyak yang bisa Ren lakukan. Dia harus mengubur cita-citanya sebagai pemusik dan mengikuti jejak papanya menjadi seorang pebisnis.

Semua berawal dari pertemuan Ren dengan Edo di suatu konser musik tiga tahun lalu. Edo yang ternyata memang seorang pemusik banyak mengenalkan Ren pada teman-teman satu alirannya, termasuk Ferdi dan Kevin. Sejak saat itu, ketertarikannya pada dunia musik semakin besar hingga mendorong Ren berlatih gitar mati-matian. Melihat kesungguhan serta kapasitas Ren yang semakin meningkat akhirnya membuat Edo tergerak untuk mengajak teman-temannya membentuk sebuah band beraliran alternative rock yang diberi nama “The Head”. Ferdi, sang vokalis memiliki suara khas mirip Gerrard Way yang nge-rock abis. Edo yang memang sudah nge-band sejak SD sangat menguasai bass, sementara Kevin dipercayai menggawangi drum. Satu-satunya yang tidak memiliki latar belakang sekolah musik hanyalah Ren, yang harus bekerja ekstra keras dalam menguasai gitar.

Meskipun Papa Ren sama sekali tidak tahu tentang hobi ngeband-nya dan terus-terusan memaksanya untuk meneruskan bisnis keluarga, Ren tetap berusaha menjalani hobinya dengan penuh semangat—jauh melebihi semangatnya dalam belajar di sekolah. Entah kapan dia benar-benar memiliki kesempatan mewujudkan impiannya bersama The Head, yang terpenting saat ini dia sangat menikmati passion-nya.

“Oh iya, Bro, besok Sabtu ada acara seru di sekolah kita. Pensi anak-anak kelas 10 gitu. Lo dateng ya, bilang aja dari The Head. Pasti bisa masuk,” ajak Ferdi yang kemudian disambut persetujuan teman-temannya lainnya.

Ren melirik Ferdi sekilas, kemudian kembali menatap langit-langit. “Hmm... males gue kalo nonton sendiri,” sahutnya kurang bersemangat.

“Kan ada kita-kita,” Kevin menimpali.

“Sama aja, kalian pasti bawa cewek.”

Kevin terkekeh. “Ya lo tinggal bawa cewek lo.”

“Gue udah putus.”

Ketiga temannya saling berpandangan. “Putus sama Tasya?” tanya Edo polos.

Seketika kening Ren berkerut. Tasya? Sudah lama dia tidak mendengar kabar cewek itu.

Ren menggeleng. “Karina,” jawabnya pendek.

Ketiga temannya hanya bergumam pelan. Maklum, mereka tidak begitu mengikuti kisah asmara Ren.

“Ntar gue pikir-pikir lagi, deh,” kata Ren seraya bangun dari posisi tidurnya.

“Ya udah, pokoknya lo kabarin aja kalo jadi dateng. Ntar gue cariin tempat yang enak buat nonton,” kata Ferdi sembari menepuk pundak Ren. “Yuk, cabut.”

Keempat personil The Head itu segera beranjak meninggalkan studio. Setelah membayar dan berpamitan kepada Mas Galang—pemilik studio, mereka semua berpisah. Ren menuruni tangga dengan santai dan melihat ke sekitarnya.

Tempat yang rutin dikunjunginya minimal tiap bulan sekali ini memang unik. Lantai atas sengaja didesain untuk studio musik, sementara lantai dasar digunakan sebagai toko buku. Karpet berwarna cokelat keemasan sengaja dibentangkan di sepanjang tangga, seolah menjadi penghubung bagi siapa saja yang ingin melihat-lihat ke atas. Biarpun gedung ini mengandung dua konsep yang berbeda, keduanya sama sekali tidak mengganggu. Ren bahkan sering melihat-lihat komik atau majalah setiap kali selesai latihan musik di atas.

“Eh, elo...,” pandangan Ren tertuju pada seorang cewek yang sedang tenggelam dalam bacaan komik Slam Dunk di seberang tangga.

Cewek itu mendongak, kemudian terkejut seolah melihat hantu ketika Ren berdiri tepat di hadapannya.

“Elo... yang kucingnya gue tabrak kemarin, kan?” tanya Ren memastikan, lebih pada karena dia sedikit lupa dengan nama cewek itu.

Cewek itu mengangguk gugup. Saking gugupnya, komik yang sedari tadi dipegangnya erat-erat sampai meluncur bebas ke lantai. “Mikan,” katanya lirih, “Chan.”

“Oh iya, Micchan,” Ren menepuk dahinya. “Kebetulan banget ya kita bisa ketemu di sini. Gimana kabar kucing lo?”

Mikan buru-buru mengambil komik itu dan mendekapnya lebih erat. “Udah lumayan sehat, kok,” katanya canggung. Dalam hati, Mikan sibuk bertanya-tanya dari mana datangnya Ren.

“Bagus, deh,” Ren tersenyum. “Kapan lo mau bawa dia ke dokter? Kok lo belum ngabarin gue lagi, sih? Kan gue udah janji mau nganterin.”

Mikan kembali tergagap. “Eh, itu... Belum tahu.”

“Hmm...,” Ren tampak menimbang-nimbang sesuatu. “Gimana kalo besok Sabtu? Sekalian jalan-jalan.”

Wajah Mikan berubah pucat seketika.

“Lo sakit?” tanya Ren cemas ketika melihat Mikan tiba-tiba seperti kesulitan bernapas. Sebelah tangannya menekan dada, sementara tangannya yang lain berusaha menggapai-gapai tas di sebelahnya. “Lo punya asma??”

Tidak mampu menjawab, Mikan terus-terusan melambaikan tangannya. Ren yang menangkap sinyal itu segera mengulurkan tas Mikan dan membiarkan cewek itu mengobrak-abrik isinya hingga menemukan sebuah benda kecil mirip pipa.

Seperti diburu waktu, Mikan menghirup benda itu tanpa ampun sampai bunyi “ngik” di napasnya mereda. Ren yang menyaksikan kejadian itu hanya menelan ludah tak percaya. Baru kali ini dia berhadapan langsung dengan seorang pengidap asma yang asmanya sedang kambuh. Tadinya, dia hanya pernah lihat di acara-acara televisi.

“Lo nggak apa-apa?” tanya Ren memastikan.

“Gue nggak pa-pa,” jawab Mikan, dengan napas yang lebih teratur.

Fiuh. Ren ikut bernapas lega meskipun masih sangat speechless. Padahal barusan cewek itu sempat megap-megap mirip ikan kekurangan air, tapi dia masih sanggup berkata “nggak pa-pa”. Ren jadi salut.

“Gue kalo kaget emang kadang kambuh kayak gitu, makanya gue selalu bawa inhaler kemana-mana,” jelasnya begitu melihat ekspresi Ren yang seperti ingin bertanya, tapi tidak tahu harus bertanya apa.

Ren mengangguk-angguk, kemudian. “Berarti barusan lo kaget?”

Lihat selengkapnya