If You Were Him

Farahiah Almas Madarina
Chapter #8

DELAPAN

Tidak terasa beberapa bulan lagi Ujian Nasional diselenggarakan. Try out demi try out mulai digalakkan oleh seluruh SMA di Jakarta demi mempersiapkan ujian kelulusan yang setiap tahun mengalami peningkatan bobot kualitas soal. Di beberapa SMA favorit—termasuk SMA Bakti Nusa, guru-guru sudah merancang strategi khusus untuk membantu siswa-siswanya yang mendapatkan nilai rendah pada hasil try out agar lebih siap menghadapi try out selanjutnya. Beruntung pada try out kedua ini, baik Mikan maupun kedua sahabatnya tidak ada yang menjadi bagian dari daftar peserta penerima materi khusus setiap Sabtu-Minggu. Kendati demikan, ketiga sahabat itu tidak lantas membuang-buang waktu dengan tidak belajar. Seperti sekarang ini, di waktu yang seharusnya sudah tidak ada aktivitas di sekolah lagi, mereka bertiga memilih untuk belajar kelompok di salah satu meja taman belakang sekolah yang lumayan kondusif untuk belajar bersama. Kalau di luaran sana teman-teman mereka banyak yang mengikuti bimbingan intensif di lembaga belajar, maka Mikan, Tania dan Saka lebih suka belajar kelompok dengan mengakses materi secara online untuk dibahas bersama. Menurut mereka, itu akan lebih efektif dan menyenangkan.

Di ronde ketiga menyelesaikan soal Matematika, Tania tiba-tiba menyentakkan ballpoint-nya secara mengangetkan. “Gue nggak bisa kayak gini terus,” katanya jengah.

Mikan dan Saka yang sedang fokus menghitung angka akhirnya kehilangan konsentrasi juga mendengar keluhan Tania.

“Aduuh, lo ngapain sih brisik banget?!” protes Saka, kemudian mencoba fokus kembali pada hitungannya.

PLUK!

Ballpoint merah yang tadi sempat dibanting Tania kini tidak tahu kenapa sudah mendarat di dahi Saka dan terjun bebas ke tanah. Saka yang merasakan dahinya perih segera tersulut emosinya.

“Lo bisa nggak sih nggak cari gara-gara mulu sama gue?!”

Tania berdiri, menantang Saka dengan sorot kebencian di matanya. Mikan yang melihat semua itu buru-buru merangkul pundak Tania agar kembali duduk, namun tangannya segera ditepis. Mikan menatapnya ngeri.

“Apa? Lo mau marah?” Saka balik menantang dengan suara ketus.

Di luar dugaan, Tania malah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Perlahan-lahan suara isak tangis terdengar. Tania sesenggukan, pundaknya sampai naik-turun dan gemetar.

Saka melongo. “Tan?” tanyanya hati-hati, suaranya jauh lebih lunak dari sebelumnya.

Tanpa menjawab dan menjelaskan sepatah katapun, Tania segera membereskan barang-barangnya yang berserakan di meja dan memasukkannya asal ke dalam tas. Mikan berusaha menenangkan cewek itu, namun Tania tetap berlari meninggalkan Mikan dan Saka.

“Kok lo diem aja, sih?” Mikan berseru tidak sabar.

Saka yang masih belum sepenuhnya berhasil memproses kejadian barusan hanya mampu berkata, “Hah?”

“Emang ya, cowok dimana-mana selalu nggak peka!”

Mikan bergegas memunguti barang-barangnya dan berlari menyusul Tania yang sudah jauh.

Why girls are so confusing??” Saka mengacak-ngacak rambutnya sendiri.

 

***

 

BRUK!

Tania tidak tahu apa yang terjadi, tapi hal terakhir yang dilihatnya adalah dia menabrak sesuatu yang keras hingga kepalanya pening dan pandangannya kabur. Belum sempat dia melihat lebih jelas lagi benda apa yang ditabraknya, tubuhnya terlanjur limbung diiringi suara jeritan seorang cewek di depannya.

“Siapapun tolongin gue...!!” teriak cewek itu ke sekeliling sekolah yang sudah sepi, kedua tangannya sekuat tenaga mencoba menahan beban Tania agar tidak ambruk.

“Dea!” samar-samar terdengar suara seorang cewek berlari ke arahnya. “Iya, gue di sini!” Dea mengeraskan suaranya.

Dalam radius beberapa meter, sosok yang berlari menghampirinya itu semakin terlihat. Mikan terlihat tergopoh-gopoh menghampiri Dea.

“Ya ampun, Tania kenapa??” tanya Mikan dengan napas ngos-ngosan.

“Gue nggak tahu, dia tiba-tiba nabrak gue dari belakang. Ayo, kita bawa ke UKS!”

Namun sekuat-kuatnya tenaga dua orang cewek itu, tidak akan mampu juga mengangkat beban tubuh Tania yang lumayan berat.

“Bisa-bisa sampe Maghrib nih kita nyampe UKSnya,” keluh Dea yang sudah bercucuran keringat.

“Terus gimana dong??” Mikan tidak kalah panik. Untuk memindahkan Tania ke bangku yang letaknya hanya dua meter dari posisi mereka sekarang saja mereka tidak bisa, apalagi ke UKS yang jaraknya berpuluh-puluh meter?

“Coba deh lo suruh temen lo yang cowok itu ke sini, siapa tahu dia bisa bantuin kita.”

“Oh iya,” Mikan segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon Saka. Terdengar nada sambung cukup lama sebelum akhirnya dia bersuara, “Sak? Halo, Sak!” serunya tidak sabar setelah panggilannya terhubung. “Sak, lo harus ke sini sekarang, buruan! Iya... Tania pingsan, buruan lo ke sini. Ke arah halaman belakang.”

Sambil menunggu Saka datang, Mikan dan Dea memijit-mijit tangan Tania, berharap cewek itu segera sadar dari pingsannya. Kondisi Tania memang belum seratus persen pulih setelah peristiwa ditabrak pengendara motor beberapa waktu yang lalu. Luka di siku tangannya bahkan belum benar-benar kering. Mikan tidak tahu sesakit apa perasaan dan fisik Tania, namun melihat cewek itu sampai pingsan seperti ini, pastilah masalah perasaannya ke Saka menjadi momok yang terus- menerus membebani pikirannya hingga sekarang.

“Awas, biar gue angkat ke UKS,” Saka yang baru saja datang segera meraih lengan Tania dan menggendong cewek itu dengan sekali angkat. Tanpa memerlukan bantuan Mikan dan Dea, Saka berhasil membawa Tania ke UKS. Mikan dan Dea mengikutinya dari belakang. Sesampainya di UKS, mereka bertiga bernapas lega.

“Coba cariin gue minyak kayu putih.”

Mikan segera mengambilkan minyak kayu putih, sementara Dea berinisiatif melepaskan sepatu Tania.

Dengan terampil Saka mengoleskan minyak itu ke hidung, pelipis kemudian memijat-mijat jempol kaki Tania hingga suhunya lebih hangat. Beberapa saat kemudian, Tania mulai sadar dan mengernyit ke sekeliling ruangan.

“Gue kenapa?” tanyanya bingung, sambil meraba kepalanya yang agak pusing. “Sak? Lo di sini?”

Saka mengangguk serba salah. Dia menahan lengan Tania agar tidak memaksakan dirinya untuk bangun. “Maafin kejadian tadi, gue nggak tahu bakal nyakitin lo,” katanya menyesal.

Mikan yang tidak ingin mengganggu momen kedua sahabatnya itu segera mengajak Dea keluar. Untungnya Dea tidak banyak bertanya dan cukup mengerti maksud Mikan. Kini, Saka dan Tania hanya tinggal berdua di dalam ruangan.

“Kenapa lo nolongin gue?” tanya Tania lirih.

Saka menghela napas. “Ya karena gue nggak mungkin biarin lo kenapa- kenapa.”

“Apakah mungkin lo punya perasaan khusus ke gue?” Kening Saka berkerut. “Maksud lo?”

Tania tertawa getir. “Jelas nggak mungkin lo punya perasaan lebih ke gue. Gue emang terlalu bodoh.”

“Lo temen deket gue, sahabat gue. Ya gue pasti akan nolongin lo ketika lo butuh pertolongan.”

Mata Tania mulai berkaca-kaca. “Iya, gue tahu. Makanya gue bilang kalo gue ini bodoh.”

“Gue nggak ngerti maksud lo, Tan.”

Tania mengalihkan pandangannya dari Saka, tidak sanggup lagi menahan rasa perih yang menjalar di hatinya. “Gue sendiri juga nggak ngerti sama perasaan gue. Gue nggak tahu kenapa bisa sayang sama lo, sayang gue ini... lebih dari sebagai seorang sahabat. Gue jatuh cinta sama lo, Sak!” isaknya pelan. “Masa lo masih nggak ngerti?”

Saka terenyak. Ia tidak menyangka Tania akan berkata seperti itu. “Tan...”

Tania bergeming. Hanya suara isakan yang mengisi ruangan kecil itu.

“Maafin gue Tan, gue bener-bener nggak tahu.” Saka menundukkan kepalanya. Perasaan bersalah segera menyergap rongga dadanya.

“Bukan lo yang bodoh Tan, tapi gue. Gue adalah cowok paling nggak peka sedunia,” aku Saka dengan segala rasa bersalahnya. “Tan... lihat mata gue.”

Tania masih bergeming, kedua tangannya malah bergerak menutupi wajahnya yang memerah dan penuh air mata.

Saka meraih tangan Tania erat-erat hingga cewek itu tidak bisa lagi menutupi wajahnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Tania harus siap terlihat kacau.

“Lo nggak perlu nangisin gue, Tan. Air mata lo terlalu berharga buat nangisin cowok brengsek kayak gue.”

Tania semakin terisak, namun Saka terus berusaha menenangkannya.

“Tan, gue seneng banget pas lo bilang kalo lo punya perasaan lebih ke gue,” katanya tenang. Ditatapnya lekat-lekat mata Tania yang masih berair, sambil menyunggingkan senyum tulus yang entah kenapa membuat perasaan Tania jauh lebih baik.

“Gue sangat berterima kasih atas kejujuran dan keberanian sikap lo bilang ini semua ke gue. Jujur, gue kaget. Bukan kaget nggak terima, tapi gue nggak nyangka aja ternyata elo yang selama ini gengsian dan gue kira benci sama gue justru sangat peduli sama gue,” lanjutnya. “Gue kira gue nggak pantes ada di deket lo, makanya gue nggak pernah berani punya perasaan lebih sama lo, Tan.”

Tania tersentuh, perlahan-lahan tangisannya mereda. Meskipun begitu, ada satu hal yang mengganjal di hatinya. “Apa lo udah ada perasaan ke Riska?” tanyanya membuka suara.

Saka kembali tersenyum. “Tan, asal lo tahu, gue nggak ada apa-apa sama Riska. Riska udah gue anggep sebagai adik gue sendiri. Mungkin cerita ini nggak pernah lo denger sebelumnya karena gue pikir emang nggak ngaruh buat diceritain, tapi gue rasa sekarang semuanya perlu dilurusin.”

Saka menatap Tania lekat-lekat. “Riska itu anaknya sahabat nyokap gue. Dia cuma tinggal berdua sama nyokapnya karena bokapnya udah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Nyokapnya Riska nitipin Riska ke gue karena gue satu sekolah sama dia. Berhubung Riska ini nggak bisa naik motor dan keluarganya bukan keluarga yang cukup mampu, jadinya gue nggak tega dan selalu berusaha buat jemput dia tiap berangkat sekolah. Itu murni karena emang gue mau nolongin dia, bukan karena gue naksir sama Riska. Lagian Riska juga udah punya cowok kok, tapi mereka LDR-an beda kota. Itulah sebabnya kenapa bukan cowoknya yang anter-jemput dia,” jelasnya, yang seketika membuat Tania merasakan udara sejuk berembus di rongga-rongga pernapasannya.

“Tan, lo nggak usah mikir macem-macem lagi soal gue sama Riska. Sekarang kan lo tahu kebenarannya dan setelah ini lo pasti juga tahu gimana sebenernya perasaan gue ke lo. Kalo gue nggak tertarik sama lo, nggak mungkin juga gue repot-repot cerita soal Riska. Tapi berhubung lo ternyata punya perasaan yang sama, atau bahkan lebih ke gue, ya gue nggak akan mau nyia-nyiain kesempatan ini. Gue mau ngebales perasaan lo, bahkan dengan perasaan yang jauh lebih besar dari perasaan lo sekarang ke gue.”

Mata Tania kembali berkaca-kaca, namun kali ini disertai senyuman yang merekah lebar. “Gue... seneng banget, Sak,” katanya dengan suara tercekat. Sulit untuk menggambarkan betapa bahagianya perasaan Tania saat ini.

“Mulai sekarang kita nggak usah marah-marahan lagi, ya. Nggak usah jutek- jutekan, apalagi cemburuan. Mulai sekarang gue mau jadi cowok yang spesial buat lo, yang selalu jagain lo dan nggak mau lihat lo sedih lagi. Gue nggak mau jadi Saka yang cuma bisa adu mulut buat dapet perhatian dari lo...”

Tania mengangguk sumringah. “Gue juga, maafin sikap gue selama ini ya.”

Saka mengacak-acak rambut Tania. “No problem, dear. Untuk saat ini lebih baik kita nggak usah pacaran. Gue takut itu malah ngerusak konsentrasi kita semua buat fokus ke Ujian Nasional dan seleksi perguruan tinggi yang udah kita siapin dari jauh-jauh hari. Yang jelas sekarang kita sama-sama tahu buat ngejaga perasaan kita dan berkomitmen untuk terus bareng-bareng mengejar impian.”

Tania tersenyum, pun dengan Saka yang untuk pertama kalinya, merasa dunianya begitu indah.

***

 

“Mikan!”

Sebuah suara yang tidak asing membuat cewek berambut lurus itu menggerakkan kepalanya cepat ke belakang. Cewek yang lain, yang sedang berdiri di sebelahnya juga ikut menolehkan kepalanya ke asal suara.

“Amarylis...,” seruan itu berubah pelan, tepat setelah cewek kedua menengok.

Mikan sumringah, “Kak Raffa!”

Dea dan Raffa sama-sama mematung, tidak tahu harus saling menemui atau menyumpahi diri sendiri kemudian kabur saja.

Dengan langkah yang tidak sesemangat seruan pertamanya, Raffa berjalan ragu-ragu menuju dua cewek di seberangnya. Diam-diam dia merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba merasa aneh. Padahal seharusnya Raffa bisa bersikap biasa saja, tidak perlu merasa gugup seperti saat pertama kali dia berjumpa dengan Dea.

“Hai, Raffa,” balas Dea kikuk dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Raffa menggaruk-garuk kepalanya nervous. “Jepit rambut lo bagus,” katanya berbasa-basi.

“Oh, eh, thanks,” balas Dea refleks menyentuh jepit rambutnya sendiri— yang sebenarnya biasa-biasa saja.

Menyadari kecanggungan diantara keduanya, Mikan segera memutar otak untuk mencairkan suasana. Meskipun dia sendiri tidak tahu persis apa yang sedang dipikirkan mereka berdua, namun sepertinya menyatukan dua orang yang pernah saling mencintai bukanlah hal yang buruk. Siapa tahu pertemuan tak terduga kali ini bisa membuat hubungan mereka kembali dekat.

“Kak Raffa ikut gabung yuk, gue sama Dea mau makan bareng nih di Love Story,” sahut Mikan cepat sebelum Raffa memutuskan untuk undur diri.

Raffa memandang tidak yakin ke arah Dea. “Boleh?”

Lihat selengkapnya