If You Were Him

Farahiah Almas Madarina
Chapter #9

SEMBILAN

Efek bermalam Minggu bersama Ren ternyata belum juga hilang. Buktinya, meski sudah beberapa hari berlalu, pagi ini Mikan masih senyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Semenjak pergi berdua ke acara pensi kemarin, Ren jadi sering menghubungi Mikan. Entah untuk berbasa-basi menanyakan kabar Roger, kabar Mikan, kabar keluarganya, atau malah kabar tetangganya. Pokoknya segala alasan rela dilakukan Ren demi bisa tetap berkomunikasi dengan Mikan. Cewek itu sampai geli sendiri saat Ren mulai kehabisan alasan dan tiba-tiba menanyakan hal- hal klise seperti “lagi ngapain” atau “udah makan belum”.

Tania dan Saka yang sama-sama memperhatikan gelagat Mikan sejak tadi sampai saling bertukar pandangan bingung. Saka kemudian mengangkat bahunya seolah memberikan kode gue-juga-nggak-tahu dan menyuruh Tania untuk mencari tahu. Dengan tingkat ke-kepo-an yang tidak bisa lagi dibendung, Tania segera mengangguk dan menyelinap perlahan dari belakang pundak Mikan. Tahu-tahu kepalanya sudah menyembul dan membaca segala percakapan picisan yang muncul di layar ponsel sahabatnya. Tania terkikik pelan.

Menyadari akan hadirnya suara lain, senyum Mikan segera terhenti. Cewek itu menggerakkan kepalanya perlahan dan mendapati wajah Tania masih asyik cekikikan memperhatikan layar ponsel Mikan—tanpa menyadari bahwa dirinya sudah tertangkap basah mengintip. Saka yang ngeh seketika menepuk dahinya sendiri sambil melemparkan permintaan maaf ke arah Mikan ketika cewek itu berganti meliriknya tajam.

Tania mengerutkan dahinya saat layar yang menampilkan percakapan di ponsel itu terhenti dan tak kunjung bergerak ke bawah. Dia mengangkat kepalanya dan tergagap mengetahui Mikan sedang memelototinya dengan tatapan yang seolah ingin menelannya hidup-hidup.

“A-ampun, Chan, ampun!” Tania segera bergerak mundur meminta maaf. “Suer deh, gue nggak bermaksud gitu,” katanya ketakutan.

“Nggak bermaksud gitu, gimana?” Suara Mikan terdengar kesal, namun dia segera menghela napas dan memasukkan ponselnya ke dalam saku.

“Ya gitu, baca-baca chat lo sama Ren,” jawab cewek itu polos, kemudian segera menekap mulutnya karena keceplosan. “Ini semua idenya Saka!” Dia buru- buru menujuk Saka yang langsung pura-pura bersiul ke arah lain.

Mikan memutar bola matanya tidak sabar. “Iya, iya, udah gue maafin,” katanya, meskipun kedua sahabatnya itu malah sibuk menyalahkan satu sama lain. “Gue kenal kalian bukan sehari dua hari, ya. So, ada yang mau berjiwa satria buat menjelaskan maksud pengintaian barusan?”

Lagi-lagi Tania dan Saka bertukar pandang. Tidak lama kemudian, akhirnya Tania yang mengangguk dan menjelaskan, “Kita tuh penasaran, nggak biasanya lo senyum-senyum kayak gitu waktu main HP. Sampai-sampai dari tadi gue manggil elo pun, lo-nya nggak sadar.”

Mikan berdeham. “Ya bisa aja kan, gue lagi baca cerita lucu.”

“Mana ada cerita lucu interaktif,” seloroh Tania cepat, membuat Mikan segera mendelik. “Dan setelah gue selidiki, ternyata bener kan, lo lagi PDKT.”

Saka menekap mulutnya dramatis. Mikan yang tidak punya pembelaan lagi akhirnya hanya bisa mendengus pasrah saat Tania kembali mengeluarkan bukti- bukti penyelidikannya dengan penuh semangat.

*** 

“Baiklah, cukup sekian materi pelajaran hari ini. Jangan lupa persiapkan diri kalian untuk menghadapi try out minggu depan karena waktu efektif belajar semakin berkurang.”

Beberapa siswa terdengar mengeluh, namun Pak Iwan tidak ambil pusing dan segera meninggalkan kelas. Suasana menjadi riuh rendah.

“Ji, ntar malem gue ke rumah lo, ya!” Ren menepuk pundak Oji yang berdiri membelakanginya.

“Gue sibuk,” sahut Oji singkat sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

“Oh iya, lo ada jadwal bimbel ya.”

“Bukan urusan lo,” balasnya dingin kemudian segera pergi meninggalkan Ren.

Ren melongo. Dia menatap Wildan—teman satu bangku Oji—untuk meminta penjelasan, namun cowok itu hanya mengangkat pundaknya tidak tahu.

“PMS, kali,” jawabnya asal, membuat Ren semakin melongo.

“Gue nggak ngerti kalau cowok bisa PMS juga,” Ren menggaruk-garuk kepalanya.

“Kejar sono.”

Ren terdiam sebentar, namun akhirnya menuruti juga kata-kata Wildan. “Ji, Oji!” panggil Ren setengah menyusul Oji.

Oji tidak menjawab, dia terus berjalan cepat menyusuri koridor. “Ji, lo jangan kayak anak kecil gini, dong.”

“Ji!”

“Pengecut, lo!”

 BUKK!

 Ren terhuyung menabrak dinding. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya yang menghantam kusen pintu kelas. Beberapa siswa lain yang melihat pemandangan itu langsung memekik tertahan.

“Itu yang namanya pengecut!” Oji menggeram meraih kerah seragam Ren. Tangannya yang masih terkepal sudah siap melayangkan pukulan lagi untuk yang kedua kalinya.

“Pukulan lo nggak kerasa,” Ren terkekeh.

BRUKK!

Ren kembali terhempas. Kali ini disertai batuk-batuk karena dadanya terasa begitu sesak dan nyeri. Pukulan Oji nyaris saja membuat Ren kehilangan kesadaran. Siswa-siswa lain sudah mulai berdatangan mengerubungi mereka berdua. Sebagian untuk menolong Ren berdiri, sebagian lagi untuk mencegah Oji berbuat semakin nekat.

“Biarin, gue nggak kenapa-kenapa,” Ren berusaha menepis segala pertolongan teman-temannya. “Gue mau tahu seberapa kuat seorang pengecut mukulin sahabatnya sendiri,” katanya terengah-engah.

“Bangsat, elo yang pengecut!” Oji merangsek maju melepaskan cengkeraman kuat di tangannya dan kembali menghajar Ren tanpa ampun, tepat di kepalanya. Ren meringis kesakitan, namun tetap berusaha menampilkan seringai tajamnya sebelum akhirnya benar-benar pingsan.

“OJI DARMAWAN! KAMU SAYA PERINTAHKAN BERHENTI DAN KE RUANGAN SAYA SEKARANG!!” teriak Pak Idris—Kepala Sekolah SMA Permata—yang berlari terburu-buru menuju koridor tempat kejadian penganiayaan Ren berlangsung. “Yang lainnya, segera bawa Rendi ke UKS dan telepon ambulan, cepat!!”

Oji bergeming. Dia tidak peduli sama sekali dengan kondisi Ren yang sudah babak belur tak sadarkan diri. Keringatnya mengucur deras, napasnya naik-turun memperhatikan tubuh gempal Pak Idris yang berlari ke arahnya dengan wajah merah menahan marah.

“DASAR KRIMINAL!”

Suara itu terdengar begitu jelas dan lantang di gendang telinga Oji. Oji menggertakkan giginya, namun tidak bisa berbuat apa-apa karena tangan Pak Idris yang lebih kekar sudah lebih dulu mengunci lengannya. “IKUT SAYA!”

Diiringi tatapan sinis dan kasak-kusuk seluruh siswa di sepanjang koridor, Oji membiarkan harga dirinya terseret-seret. Cacian dan makian yang terang- terangan dilontarkan kepadanya sama sekali tidak dia hiraukan. Yang ada di kepalanya saat ini hanyalah balas dendam, balas dendam dan balas dendam. Pukulan barusan belum cukup mewakili seluruh rasa sakit hatinya pada Ren. Baginya, persahabatan mereka sudah berakhir. Dia tidak butuh sahabat seperti Ren dan dia tidak akan pernah memaafkan Ren sekalipun dirinya harus dipenjara atau menanggung seluruh akibat perbuatannya.

Lihat selengkapnya