Dengan sapu tangannya Nessa membasuh map biru basah berisikan beberapa dokumen dan naskah ujiannya, yang ia pakai menutupi kepala saat menyelamatkan diri dari hujan lebat barusan. Kalau saja bukan karena janji dengan pak Jani, –dosen pembimbingnya- ia pasti lebih memilih menghabiskan waktu di kamar dan membayar hutang 1 season anime yang belum ia tonton. Menikmati hujan lebat seharian sambil bermalas-malasan. Lagipula, kampus masih sepi. Banyak mahasiswa masih menikmati libur tahun baru mereka. Hanya beberapa pegawai administrasi, dosen dan mahasiswa yang berkeperluan mendadak seperti Nessa yang akan datang ke kampus.
Nessa memilih pendopo di dekat kafetaria kampus untuk berteduh, supaya ia bisa melihat jika mobil pak Jani memasuki gerbang. Tapi sesuatu memang terjadi secara tidak kebetulan. Berada di pendopo itu, sebagai mahasiswa akhir yang sebentar lagi meninggalkan kampus, membuatnya bernostalgia tentang saat-saat pertama menginjakkan kaki disana.
Segala sesuatu yang berbau ‘baru’ memang selalu menakutkan bagi Cicilia Nessa Ginanjar. Termasuk hari itu. Hari pertamanya menjadi mahasiswa baru. Tapi bukan berarti ia tidak bersemangat kala itu. Bisa dibilang, itulah masa yang paling dinantikannya. Masa dimana ia dapat pulang ke rumah, setelah 3 tahun tinggal di sebuah asrama di luar kota. Jauh dari ibu dan dua adik laki-lakinya. Nessa tak pernah menginginkan pergi. Tapi dulu, ia tak punya pilihan lain. Mengingat ibunya yang merupakan orangtua tunggal, juga kondisi keuangan keluarganya. Jadi, mengikuti tawaran pamannya untuk tinggal pada asrama milik seorang kerabat di luar kota, menjadi keputusan terberatnya.
Tapi itu semua sudah berlalu. Dibayar lunas saat ia akhirnya duduk di dalam aula berkapasitas 2000 orang tiga tahun yang lalu. Mengenakan jaket almamater berwarna biru navy yang masih kebesaran di tubuh mungilnya. Karton berukuran A6 yang menggantung di depan dadanya sengaja ia balikkan, agar tak sembarang orang boleh melihat namanya. Nessa memang sangat tertutup waktu itu.
“Selamat datang di Fakultas Teknik Universitas Tunas Bangsa” suara itu mengagetkan seisi aula. Meminta atensi. Para gadis mulai berbisik satu dengan yang lain, membicarakan sosok yang kini menjadi pusat perhatian itu. Rambutnya kecokelatan, tersisir rapi seperti menggunakan produk penata rambut. Ia bisa dibilang sedikit kurus, namun tinggi. Kemeja putih bergaris abu-abu serta sepatu loafers hitam pekat yang dikenakannya menjadi isyarat bahwa ia bukan mahasiswa baru.
“Nama saya Ivan Anggara, salah satu tenaga pengajar di Fakultas ini. Tapi tidak usah panggil saya Pak, umur saya tidak terlalu jauh dengan kalian,” lanjutnya diselingi tawa kecil. Ia turun dari podium dan berjalan menuju bibir panggung. Tangan kirinya dimasukkan dalam saku celana, matanya menjelajahi seisi aula. Para gadis mulai semringah.
“Tahun ini saya dipercayakan menjadi ketua panitia penerimaan mahasiswa baru. Beberapa diantara kalian mungkin datang kesini dengan setengah hati, tapi saya ingin kalian tetap menikmati setiap proses yang ada. Berada disini, hari ini, bukanlah suatu kesalahan. Untuk selanjutnya, saya percayakan para senior untuk membimbing kalian selama masa pengenalan kampus. Kita jumpa di kelas.” Kalimatnya sontak disambut tepuk tangan dan sorakan para gadis. Membuat kaum Adam sedikit risih.
Keriuhan tersebut tak berlangsung lama. Panggung yang tadinya ditempati pria menawan itu kini sudah dijajah sesosok pria bermuka garang. Memakai jas almamater dengan beberapa jahitan lencana di lengan kirinya. “Semuanya harap berdiri. Kalian akan dibagi menjadi 10 kelompok besar. Silahkan membalikkan tanda pengenal kalian dan lihat warna yang ada di belakang. Dalam 10 detik kedepan, pindahlah ke bangku dengan warna yang sama” ucapnya tanpa basa-basi. “Dimulai sekarang.”
Seketika, aula itu dipenuhi kepanikan para mahasiswa baru. Jerit-jerit ngeri para gadis membuat senior-senior lain tertawa terbahak-bahak. Mereka seperti ayam-ayam yang disirami air, lari tak tentu arah. Berdesak-desakan mencari kursi milik mereka masing-masing. “9..8..7..4” sang senior terus menghitung. Kawanan mahasiswa baru semakin panik saat mendengar angka 4 disebutkan. Hitungan yang salah. Tapi apa hukum pertama senioritas? Ya. Senior tidak pernah salah. Lagipula, bukan senior namanya kalau tak suka mengerjai mahasiswa baru. Bagi mereka, ini balas dendam termanis.
Nessa yang waktu itu berada di tempat duduk bagian tengah menjinjit-jinjitkan kakinya. Sesekali ia melompat, namun sulit baginya menemukan sebuah kursi berwarna merah. Percuma, pikirnya. Terlebih lagi tubuhnya yang tidak begitu tinggi itu sudah terhimpit oleh mahasiswa-mahasiswa lain. Ia sudah pasrah menerima hukuman. Tiba-tiba, seorang wanita dari belakang menarik tangannya. Menyelinap melewati kerumunan, menuju ke arah depan. Gerak wanita itu bisa dibilang gesit. Nessa sedikit sulit menyesuaikan. Tapi kini matanya sudah melihat 3 kursi kosong berwarna merah yang berada di baris kedua dari depan. Ia mendorong tubuhnya secepat mungkin. Menduduki kursinya tepat saat hitungan terakhir dikumandangkan.
“Tadi ada pria jangkung yang bilang kalau kursi merah di bagian depan. Aku sempat lihat warna tanda pengenalmu dari belakang, jadi langsung saja aku tarik,” ucap gadis yang berhasil membawa Nessa menemukan kursinya. Ia terlihat manis dengan poni bergaya see through nya. Berwajah oriental dengan lesung di pipi kanan. Volume suaranya sedikit kencang. Raut wajahnya ceria, penuh antusias. “Valery,” lanjutnya sambil mengulurkan tangan, minta dijabat.
“Nessa,” menyambut tangan itu sambil masih mengatur nafas.
“Vanessa?”
“Cuma Nessa”. Kali ini sambil mengatur rambut pendeknya yang ia kuncir dua hanya pada bagian atas. Nessa menengok ke belakang. Suasana aula masih kacau. Banyak yang belum bisa menemukan kursinya. Orang-orang itu kini disuruh berjalan jongkok oleh para senior.
Tiba-tiba di tengah perploncoan itu, seorang gadis berjalan acuh tak acuh dari belakang. Melewati dengan santai para mahasiswa lain yang sedang menahan sakit di betis mereka. Gadis itu menuju ke depan, dan kini menduduki kursi kosong di samping Nessa. Baru saja ia mencapai kursinya, seorang senior perempuan sudah datang menyusul dan menepuk pundaknya dari belakang. Memasang muka bak seorang diktator yang siap untuk menindas.
“Hei tuan putri, kamu nggak dengar ya? Yang terlambat duduk, harus jalan jongkok!” teriaknya. Membuat para mahasiswa di sekitar menundukkan kepala. Tapi teriakannya itu sama sekali tidak digubris oleh mangsanya.
“Jalan jongkok sekarang!!!” lanjutnya, semakin nyaring.
“Kakak, ini tuh Fakultas Teknik, bukan akademi Kepolisian. Aku masuk kesini mau jadi Sarjana Teknik, bukan Polwan,” jawab gadis itu sambil memangku tangan. Wajahnya datar. Matanya tajam menatap si senior. Seperti menantang. Tak ada ketakutan sama sekali disana.
Sang senior tak bisa berkata-kata. Jarang sekali ditemukan mahasiswa baru dengan keberanian seperti itu. Ia marah. Seperti ada bara api menyala di atas kepalanya. Kalau saja tak ada dosen di ruangan itu yang mengawasi, mungkin sudah ia hajar bocah tengik di hadapannya itu. Ketegangan di antara mereka berdua diinterupsi senior yang masih berdiri di podium.
“Semuanya duduk sekarang. Dalam 2 hari ke depan tempat duduk kalian akan persis seperti ini. Bersama 14 teman kalian yang lain. Kecuali kegiatan keagamaan, kegiatan lainnya harus dilakukan secara berkelompok,” katanya.
Si gadis pemberontak itu mengoper secarik kertas daftar hadir pada Nessa. Dengan segera Nesa mengambil pena dari dalam tasnya. Tapi penanya tak mengeluarkan tinta sama sekali.