Ijabah

Arumdalu
Chapter #1

Praya Arumi Semesta

Tetesan air menyerbu permukaan daun dan bunga yang masih bergelung dingin pagi hari di Jogja, tidak ada satu tanaman pun yang lolos dari guyuran itu. Gembor air berwarna hijau terus berkeliling hingga tidak sengaja menyenggol pagar kayu pekarangan rumah. Pagar kayu itu roboh, padahal senggolannya tidak terlalu kuat.

“Ah pasti bagian bawahnya dimakan rayap,” gumam seorang gadis sambil menaruh gembor hijau itu lalu menghampiri sisi luar pagar.

“Maaaaaa ... ini pagarnya ambruk! Kayaknya dimakan rayap.”

“Ambruk semua?”

“Nggak Ma ... cuma yang sebelah kanan.”

“Oh yaudah, tolong singkirin aja, nanti biar Mama cariin tukang.”

Gadis itu dengan hati-hati mengangkat pagar kayu tersebut agar tidak mengotori seragam sekolah yang dia kenakan. Setelahnya, dia mengambil sapu untuk merapikan sisanya.

“Ma ... berangkat dulu ya,” pamit gadis itu sambil memasuki rumah dan menyalami Ibunya.

“Bekelnya udah dibawa kan?”

“Udah kok Ma, assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam, hati-hati ya sayang”

“Mbaaaak tunggu ... mau bareng”

“Lho kamu pake sepeda kan”

“Sepedaku bocor”

“O yaudah, ayo buruan”

Dua pasang kaki melangkah mengikis jarak mereka dengan sekolah. Sang Adik memotong kebersamaan karna harus berbelok di sebuah pertigaan, sedangkan gadis beragam putih-biru muda dengan logo osis di dada sebelah kiri itu mengambil jalan lurus seorang diri. Tangannya memainkan topi upacara karna merasa bosan ... biasanya dia berangkat bersama sahabatnya. Namun karna kaki sahabatnya itu sedang cedera, maka dia harus menelan rasa bosan sebab tidak ada teman berbincang.

“Praya Arumi Semestaaaaaaaaaa,” teriak seorang siswi di depan gerbang sekolah.

“Apa sih teriak-teriak ....” ucap Aya berlalu melewati siswi itu.

“Eh ... Ay! Aya! Ini ... bantuin jalan,”

“Ish ... udah tau lagi sakit kakinya malah jadi maskot selamat datang di gerbang sekolah,” jawab gadis bernama Praya atau lebih sering dipanggil Aya.

“Ya kan aku menunggu bestie,” Alisnya naik turun bermaksud jahil.

Aya hanya menatap malas Kaila sahabatnya, kemudian dia memapahnya menuju kelas.

“Kenapa nggak pake tongkat sih, emang nggak repot jalannya?” Aya melirik ke bawah, terlihat kaki kaila yang masih sedikit membengkak.

Lihat selengkapnya