Pemandangan yang sama, bau yang sama, rutinitas yang sama ... kegiatan monoton ini mengambil alih sepertiga waktu dalam sehari. Aya mendudukkan dirinya di bangku coklat itu, kemudian bergegas mengambil sapu lantai yang tergantung di pojok belakang ruang kelas. Hari Selasa adalah jadwal piketnya, hal tersebut menyeret Aya untuk datang lebih awal. Setelah memastikan bahwa debu itu berhasil dia usir, Aya kembali mendudukkan diri dan mengambil ponselnya lalu membuka aplikasi Al Quran. Sore nanti adalah jadwalnya setor hafalan, jadi setiap waktu luang akan dia gunakan untuk murajaah. Aya memejamkan matanya, sebuah kebiasaan saat sedang mencoba untuk fokus. Telinganya samar menangkap suara langkah kaki yang disusul percakapan, sepertinya teman-temannya mulai hadir dan memasuki kelas.
“Assalamualaikum ... Ma Sha Allah ... Assalamualaikum Bu Ustadzah,” sebuah suara terdengar jelas di sebelah telinga Aya.
Di tengah murajaahnya, suara itu sedikit mengagetkan Aya dan membuat matanya yang semula terpejam menjadi terbuka. Tepat di sampingnya, berdiri Kaila yang langsung meraih tangan Aya lalu menempelkan telapak tangan itu ke jidatnya seperti anak yang salim dengan orang tua.
“Waalaikumussaam,” jawab Aya.
“Pagi amat Bu Ustadzah datengnya,”
Aya tak menjawab, dirinya segera menutup kegiatan murajaahnya lalu menyimpan ponsel itu ke dalam saku rok.
“Udah waras itu HP,” ucap Kaila sambil memainkan ponsel miliknya.
“Udah, Alhamdulillah operasinya lancar, itu kakimu udah mendingan? Nggak terlalu bengkak,”
“Nih ya ... kemaren pulang sekolah aku dijebak sama Ibu ... semua pintu dikunci biar aku nggak bisa keluar terus pas pintu dibuka ... eh yang masuk tukang urut. Langsung dah diurut pake kencur, beh rasanya mantep banget. Hampir aja kelepasan nendang yang mijit,”
“Eh eh eh ....” Kaila tiba-tiba menegakkan posisi duduknya.
“Ay! Ay! Aya! Buka WA buruan, kita sekelompok belajar?”
“Hmmm,” gumam Aya sambil membuka aplikasi berbalas pesan tersebut, terlihat ada sebuah grup chat baru yang menambahkan dirinya menjadi anggota.
“Loh loh loh ... ada Adnan juga? Ini kelompok kapan ditentuinnya?”
“Ya kemaren pas kalian pada upacara, kan diskusi sama Bu Rita itu bahas pembagian kelompok, udah dibagi sama Bu Rita sih ... kemaren kita cuma nerima nama-nama anggota sama nomor HP-nya,”
“Berarti kamu udah tau kalau kita sekelompok?”
“Ya tau lah,”
“Kok nggak ngomong?”
“Nih sekarang lagi ngomong,”
“Ini ketua kelompok kita Adnan? Kamu jadi apa Ay?”
“Ya jadi anggota, terus jadi apa lagi?”
“Ya kan bisa wakil ato sekretaris gitu?”
“Orang cuma kelompok belajar doang nggak usah terstruktur banget lah,”
“Ya kali aja, kan kemaren pas di rohis Adnan ketua, kamu sekretaris ... kali aja kurang masa jabatannya. Eh ngomong-ngomong, pasti ada yang seneng banget nih sekelompok sama eeeeheeemm uhuk uhuk,” Kaila pura-pura batuk.
“Apaaaaa? Hah? Ngomongin siapa?” ucap Aya sambil melotot ke arah sahabatnya.
“Itu ... siswi yang inisialnya Praya Arumi Semesta pasti seneng kan sekelompok sama Aaa ....” belum selesai menyelesaikan kalimatnya, mulut Kaila sudah dibungkam dengan tangan Aya.
Kaila menyingkirkan tangan Aya menjauh dari mulutnya, sedangkan Aya tersenyum-senyum tipis sambil mengetik pesan di grup belajarnya. Kaila memutar bola matanya malas dan berdecih lirih.
“Kan beneran seneng ... senyum mulu kaya abis menang lotre,”
Mereka berdua terus sibuk dengan layar ponsel masing-masing, saling melempar pesan hingga bel masuk berbunyi. Ponsel yang tadinya berada di genggaman langsung meluncur masuk ke dalam tas, bersiap memulai pembelajaran hari ini. Guru silih berganti memasuki ruang kelas yang memiliki satu jam dinding di atas papan tulis, jarumnya terus berputar menggelincirkan matahari ke arah barat.
“Aduh ... ini anak-anak lain pada minta belajar kelompoknya sore.” Mata Aya terfokus membaca percakapan dalam grup tersebut.
“Ya emang mau kapan? Kita kan pulang jam setengah empat sore, masa mau malem, kan nggak mungkin,” ucap Kaila sambil membereskan buku-bukunya, bersiap untuk pulang.
“Sore aku ada kelas ngaji lagi,”
“Oh iya ya ... terus gimana dong?”
“Sore jadwalnya setoran hafalan, coba nanti aku tanya sama Ustadzah deh,”
“Yaudah, yok balik,”
“Kamu dijemput kan?”
“Bonceng tiga bisa lah ... kan kakiku udah nggak bengkak lagi, sempit-sempitan nggak masalah,”
“Yaudah yuk,”
Di depan gerbang sekolah, Ibu Kaila sudah menunggu mereka. Orang tua Kaila sudah bersahabat dengan Ayah Aya sedari kecil, mereka lahir dan hidup di kota gudeg itu sampai dewasa. Saat Ayah Aya dulu dipindah tugaskan ke Klaten, akhirnya dia bertemu dengan Ibu Aya ... menikah ... lalu tinggal di kota tersebut. Namun karena beberapa hal ... akhirnya mereka pindah ke tempat asal Ayahnya, orang tua Kaila pun turut akrab dan dekat dengan Ibu Aya setelah Aya sekeluarga pindah ke sini. Karena kedekatan mereka, Kaila menjadi teman yang paling mengenal Aya ... bahkan mengetahui sisi yang tidak diketahui orang lain.
“Eh Aya ... bareng sekalian yuk,” teriak Bu Asih, Ibu Kaila.
Aya menghampiri wanita itu dan meraih tangannya untuk dicium. Sepeda motor itu mengangkut tiga orang melalui jalanan yang cukup ramai, meringkas waktu untuk sampai rumah Aya.
“Makasih yaaaa ... Buk ... Kaila ... mampir dulu yuk,” ucap Aya setelah turun dari motor.
“Ibumu jam segini ada kan?”
“Mama kayanya masih di tempat ngajar jahit, tadi pagi bilang kalau pulangnya agak telat,”
“O yaudah tak langsung aja ya, assalamualaikum!”
“Waalaikumussalam,”
Aya berdiri di depan rumah memandang sahabatnya yang melambaikan tangan, setelah punggung mereka tidak terlihat lagi .... Aya melangkah ke arah pintu berwarna coklat kayu yang masih terkunci.
“Oh Adek belum pulang ngaji,” batinnya.
Setelah meletakkan tas yang membawa beban cukup berat, Aya bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badannya setelah itu berwudhu dan shalat. Jam 16:45 pembelajaran mengaji di Pesantren Al Falah Putri dimulai.