Ijabah

Arumdalu
Chapter #4

Rencana Dan Tanda Tanya

Telapak kaki Aya basah ... sayangnya dia lupa menaruh keset di depan kamar mandi. Saat permukaan kulit itu menyentuh keramik lantai, dingin langsung menyerbu indra perasa dan menghantarkannya ke seluruh badan. Dengan terburu, diraihnya handuk untuk sejenak menghangatkan diri. Aya lalu memasuki kamarnya, bersiap untuk berangkat mengaji. Dengan perlahan dia membuka pintu ruang tamu lalu menguncinya kembali, sebelum keluar, dia sempat melirik ke arah jam di dinding ... pukul 03:35 pagi. Aya memeluk tubuhnya yang berbalut jaket, bau wangi tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Beberapa kali Aya menarik nafas cukup dalam agar bisa lebih menikmati bau wangi tersebut.

“Ah wangi bunga kopi, pasti bunga kopi belakang rumah lagi pada mekar,” batinnya.

Bunga putih bergerombol itu memang sedang bermekaran di kebun milik tetangga yang letaknya berada tepat di belakang rumah Aya. Orang-orang dulu bilang, jika bunga kopi bermekaran itu tandanya malam tersebut akan terasa sangat dingin. Langit malam benar-benar pekat, untungnya jalanan Desa ini sudah dipenuhi lampu neon.

“Loh Mbak Aya mau ke mana jam segini?” tanya seorang bapak-bapak, menyorot wajah Aya menggunakan senter.

“Nggak ngelindur kan ini? Jangan-jangan tidur sambil jalan lagi,” ucap bapak-bapak yang satunya lagi.

“Orang melek kok,”

“Enggak ngelindur kok Pak Turmin, ini mau ngaji ke Al Falah,” sahut Aya sambil tersenyum.

“Lha kok pagi-pagi buta gini? Biasanya sore kan,” tanya Pak Turmin.

“Banyak kegiatan Pak di sekolah, jadi nggak bisa ikut kelas sore ... gantinya ikut kelas sebelum subuh,” 

“Ealah ... yaudah yok, Pak Turmin anterin aja sambil keliling lagi,”

“Udah nggak papa Pak ... jalanannya juga terang kok,”

“Iya terang tapi takutnya kan, amit-amit ketemu klitih³ apa gimana,”

Aya akhirnya berangkat bersama dua bapak-bapak yang sedang berkeliling untuk ronda, sambil berbincang kecil diiringi suara jangkrik. 

“Makasih banyak ya Pak .. jadi ngerepotin gini,” ucap Aya.

“Lho ya nggak ngerepotin, orang bapak juga lagi keliling kan. Ini ngaji subuhnya tiap hari?”

“Iya Pak, tiap hari,”

“Yaudah ... tiap berangkat nanti biar dibarengi sama yang lagi ngeronda aja, nanti biar Bapak bilang sama yang lain,”

“Udah Pak, makasih banyak tapi beneran nggak papa Saya berangkat sendiri,”

“Lho ya jangan, rawan Mbak Aya ... apalagi cewek sendirian, tujuan ronda kan buat jaga keamanan Desa sama masyarakatnya. Mbak Aya kan masyarakat sini,”

“Aduh makasih banyak ya Pak ... jadi ngerepotin,”

“Udah mbok ya jangan bilang ngerepotin-ngerepotin terus. Udah sana ... masuk ke pesantren. Keburu digondol nyamuk nanti, hehehe.”

“Makasih banyak ya Pak ... assalamualaikum,”

“Ya ... sama-sama, waalaikumussalam,”

“Duh dulu Bu Lia ngidam apa ya, punya anak rajin-rajin semua, pada pinter-pinter lagi,” suara Pak Turmin mengobrol dengan rekan rondanya itu sempat tertangkap pendengaran Aya.

Aya membuka gerbang yang ternyata tidak digembok, hanya dikunci geser. Dia sempat bingung karna lupa menanyakan di mana ruangan mengaji subuh. Jadi, Aya memutuskan untuk pergi ke masjid pesantren ... untungnya di sana ada Ustadzah Khansa.

“Assalamualaikum Ustazah Khansa,” sapa Aya.

“Waalaikumussalam, eh Aya?”

“Maaf Ustadzah, Saya ingin ikut kelas Al Quran sebelum subuh tapi Saya lupa bertanya kepada Ustadzah Fitri kelasnya di sebelah mana,”

“Oh ... bentar-bentar ... coba Ustadzah panggil Ustadzah Fitri dulu ya ... soalnya kelas para santri dibagi jadi beberapa kelas. Kamu tunggu di sini sebentar nggak papa kan?”

“Tidak apa-apa Ustadzah ... terima kasih banyak,”

Aya memandang sekeliling pesantren, terlihat para santri mulai keluar dari kamar mereka kemudian mengantri berwudhu di masjid. Beberapa pasang mata melihat Aya dengan pandangan heran ... ada juga yang tersenyum menyapa, mungkin Aya kini terlihat seperti entitas asing. Tidak lama kemudian, Ustadzah Fitri menghampiri Aya.

“Assalamualaikum,” sapa Ustadzah Fitri.

“Waalaikumussalam,” jawab Aya, menyalami tangan gurunya itu 

“Maaf ya Aya ... nunggu lama ya?”

“Tidak kok Ustadzah,”

“Ayo Ustadzah antar ke kelas kamu, sudah wudhu belum ya?”

“Sudah Ustadzah, Saya wudhu dari rumah tadi,”

Aya dibawa menuju satu bangunan bertingkat, tampak beberapa santri mengisi ruangan lantai pertama bangunan itu. Aya sempat bingung, harus bagaimanakah dia? Haruskah dia menyapa? Atau cukup diam dan memulai hafalan?

“Aya ... kelas kamu di sini ya, di lantai satu, ambil meja kecil seperti biasa saja ... mejanya sudah ditambahin satu sama pengurus,”

“Baik Ustadzah ... terima kasih,”

Aya mengambil satu meja dan memasuki ruang kelas dengan mengucapkan salam cukup lirih. Dia menaruh meja tersebut di pojok ruangan, dibukanya jaket yang menempel di badan Aya lalu dia masukan ke dalam tas.

“Assalamulaikum,” meski sedikit ragu, Aya memberanikan diri menyapa beberapa santri di dekat mejanya.

“Waalaikumussalam,” sahut tiga santri itu.

“Aya ....” sedikit kikuk, Aya memperkenalkan dirinya dan mengulurkan tangan.

“Nisa,”

“Aufa,”

“Dasya.” Para santri itu menerima uluran tangan Aya dan ikut memperkenalkan diri mereka.

“Murid ngaji sore ya?” tanya Dasya 

“Kok tau?” ucap Aufa.

“Kan kemaren Ustadzah Fitri ngasih pengumuman, ada tambahan santri dari murid luar pesantren,” jawab Dasya.

“Ketiduran paling dia.” Nisa menulis sesuatu di sebuah kertas.

“Malah diem aja, murid kelas sore?” tanya Dasya lagi.

“Iya ....”

“Kenapa pindah gabung ke kelas santri?” 

“Itu ... jadwal sekolah lagi padat jadi sorenya Saya nggak bisa ikut ngaji,” Aya sedikit kikuk karena merasa seperti sedang di interogasi.

“Nggak usah kaku gitu, kita nggak nyabik kok, cuma nyakar dikit aja,” gurau Aufa.

“Berarti ini teh kamu dari rumah ke sini?” tanya Dasya.

“Iya ... deket sih rumahnya, cuma 7-9 menitan,”

“Rajin banget kamu, kalau aku yang jadi kamu kayaknya milih libur dulu aja selama jadwal di sekolahnya padet,” sahut Aufa.

“Kamu emang dasarnya males, jadwal nggak padet aja pasti tetep milih libur,” ujar Nisa.

Lihat selengkapnya