Ijabah

Arumdalu
Chapter #5

Ini Teman-Teman Mama

Menuju tengah hari cuaca begitu terik, awan-awan putih bersih menggelung kawasan Jogja. Aya sedang membuka-buka kembali catatan lesnya di sekolah, mengulang sendiri apa yang dia pelajari tadi.

“Lho ... udah pulang sayang?” ucap Ibu Aya yang berjalan dari arah belakang, bajunya basah karena mencuci.

“Iya Maa,”

Ibu Aya pergi ke depan rumah dan mengangkat rangka jemuran, memposisikan benda itu di samping kanan rumah. Aya menghampiri Ibunya itu.

“Mama abis nyuci? Cuciannya di mana?” tanya Aya.

“Masih di kamar mandi Nak.” Perempuan itu mencoba merenggangkan kaki jemuran yang tidak mau membuka. 

Aya masuk ke dalam untuk mengambil cucian baju, dia mengangkat seember baju milik Ibu dan adeknya. Untuk bajunya sendiri biasanya akan Aya cuci bersamaan saat dia mandi, jadi baju kotornya tidak pernah menumpuk.

“Udah kamu istirahat aja atau belajar,” ujar sang Ibu melihat anaknya membawa seember baju.

“Nggak papa Ma, sini Aya bantu,”

“Nanti abis dzuhur jadi kan nemenin Mama?” tanya Ibu Aya sambil meletakan baju basah itu ke jemuran.

“Iyaaa ... jadi Ma, emang ke mana?”

“Ke daerah Kota, sama besok kamu ke rumah Nenek ya ... sama Nenek ditayain terus itu gara-gara kamu jarang nginep di sana,”

“Iya Ma, kalau hari libur Aya sempetin ke sana,”

“Astaghfirullah ... Mama lupa mau masukin rosela ke toples-toples kecil. Aya ... Mama minta tolong lanjutin jemurannya ya, Mama mau masukin rosela ... nanti mau dibawa pas pergi,”

“O oke Ma,”

Ibu Aya beranjak dari tempatnya berdiri, Aya terus memeras dan menjemur baju-baju basah itu. Setelah tidak ada baju yang tersisa di dalam ember, Aya membawa ember itu masuk dan meletakkannya di samping kamar mandi. Dia berjalan ke arah dapur, terlihat Ibunya sedang duduk sambil memasukkan rosela yang berada di atas meja makan. Tanpa sepatah kata, Aya bergabung dengan Ibunya ... memasukkan bunga berwarna merah gelap yang sudah dikeringkan dan dicampur komposisi lain agar baunya lebih beragam. Rosela-rosela ini Ibunya petik sendiri di halaman rumah, pohonnya memang biasa berbunga lebat.

“Mau dijual ke temen-temen Mama ya?” tanya Aya.

“Nggak ... yang ini mau Mama bagiin gratis, biasanya mereka pada beli tapi hari ini Mama mau bagi-bagi aja,”

“Sisain buat Aya ya Ma.” Aya tersenyum ke arah Ibunya.

“Iya itu masih banyak, yang lagi dijemur juga banyak itu,”

“Aya ....” panggil Ibunya.

“Ya Ma?”

“Kemaren Mama minta nulis biodata itu, udah kamu tulis belum?” 

“Bee lum ... Ma.” Aya terhenti dari kegiatannya.

“Yaudah nggak papa, tapi Mama minta tolong besok pas liburan semester satu, tolong ditulis ya,”

“Emang mau buat apa si Ma?” tanya Aya penasaran.

“Besooook, kalau udah ditulis ... Mama kasih tau, oke?”

Aya mengangguk menelan penuh rasa penasarannya, dia tidak pernah membantah setiap Ibunya berbicara. Jadi, jika Ibunya belum ingin memberi tahu hal itu kepadanya ... dia hanya bisa menunggu.

“Ini udah cuku buat dibawa, dah ... Mama mau siap-siap dulu. Kamu juga siap-siap sana, siapin baju yang mau dipake ... mandinya abis Mama ya sayang,”

“Aya kan udah mandi tadi pagi,”

“Udaaahhh ... mandi lagi aja, biar tambah wangi,” ujar Ibu Aya sambil tertawa kecil.

“Maaaa baru lima jam yang lalu lho Aya mandinya,”

Meski menggerutu, lagi-lagi Aya tetap menuruti kata Ibunya. Setelah mengerjakan shalat dzuhur, Aya membersihkan badannya dan berganti pakaian. Gamis dengan panjang 135 cm itu dia balutkan ke tubuhnya serta kerudung segi empat yang dia juntaikan hingga menutupi dada. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengoleskan day cream serta sunscreen, sedikit bedak dan liptint yang warnanya senada dengan bibir Aya poleskan ke wajah agar terlihat segar.

“Yaaah ... abis ya?” ucap Aya mengangkat tawas semprotnya.

“Oh masih dikit,” katanya lagi.

Aya memasukan tawas itu ke dalam baju dan menyemprotkan ke ketiaknya, setelah itu mengambil botol berisi cairan biru. Cairan itu adalah pewangi baju favoritnya yang dia campurkan sedikit air, Aya menggunakannya sebagai pelicin setrika dan pengganti parfum.

Anak serta Ibu itu memakai baju dengan warna senada, berjalan menuju halte bis dengan menenteng beberapa bawaan. Dua puluh menit perjalanan dengan dua kali berganti angkutan umum, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan, sebuah rumah makan bernuansa tradisional. Aya dan Ibunya menyusuri jalanan apung seperti jembatan dari kayu menuju sebuah gazebo yang berada di atas kolam ikan rumah makan tersebut.

“Assalamualaikum,” ucap Ibunya setelah menemukan gazebo tempat teman-temannya berkumpul.

“Waalaikumussalam ... eh Ibu Amalia Chairunnisa udah dateng, yang ditunggu-tunggu nih.” Seorang Ibu-ibu berdiri menyambut Ibu Aya.

“Aduh udah pada sampe dari tadi ya ... maaf ya, tadi bisnya nggak jalan-jalan nunggu penumpang,” ucap Ibu Aya, merasa bersalah.

“Nggak papa Bu Lia ... baru pada sampe juga kok, eh ini anaknya ya ... duh cantiknya, lebih cantik dari yang di foto,” ucap Bu Sintya memegang tangan Aya.

“Iya Bu ... Ini nih anakku yang suka kalian tanyain itu, puas-puasin liat biar nggak penasaran lagi ya,” gurau Ibu Aya.

“Aya ... ini teman-teman Ibu,” ucap Ibunya kepada Aya.

Aya menyalami satu-satu teman-teman Ibunya. Bu Lia mengeluarkan 8 jar teh rosela yang sudah dia siapkan dari rumah, kemudian membagikannya.

“Ini ada teh rosela, ambil satu-satu ya bu-ibu,”

“Aduh repot-repot segala Bu Lia,”

Mereka satu persatu mengambil jar-jar berisi bunga kering tersebut, kata terima kasih saling bersahutan. Tidak lama pelayan datang untuk menanyakan pesanan, beberapa menu mereka pilih untuk menemani pertemuan ini. Obrolan santai mengalir bersamaan dengan tawa-tawa kecil, Aya tidak terlalu paham dengan apa yang mereka bicarakan. 

“Eh anaknya Bu Lia, siapa tadi namanya? Aya ya?” Bu Dewi memulai percakapan.

”Iya Tante,” jawab Aya sopan.

“Tante denger ... Aya mau kuliah di UIN Jakarta ya? Sama lho ... anak tante juga ngincer di sana.” Bu Dewi mengeluarkan ponsel dan menunjukkan wallpaper layar yang menampakkan foto anak cowok.

“Anak kamu kelas tiga SMA juga ya, siapa itu namanya?” sahut Bu Sintya.

“Nizam ... kelas tiga SMA sekarang ... seumuran kayaknya sama Aya, kamu 17 tahun kan?”

“Iya Tan ... 17 kurang sedikit,” jawab Aya.

“Nah iya seumuran kan, Nizam juga 17 tahun. Tadi aku ajakin, tapi pas tau yang di sini cewek semua dia nggak mau ikut,”

“Lho bukannya mondok ya Bu?” Tanya Ibu Aya.

“Iya Bu masih mondok, Cuma kemaren kan pulang tuh buat bikin KTP, eh di rumah jadi agak lama gara-gara harus ngurus kesalahan KK. Bikin KTP itu kan nama sesuai KK, nah ini nama di KK sama akta kelahiran beda ... kayaknya ada kesalahan pas dulu ubah status pendidikan Ayahnya di KK tapi kita nggak ngeh. Ijazah SD sama SMP ngikut nama di Akte kan, makanya kemaren diurus sama Ayahnya biar nama di KK sama kaya di akte dan ijazah,” jelas Bu Dewi.

“Oooh gitu, Oiya Bu ... anaknya nanti di UIN berarti mau dilepas ngekos atau gimana?” tanya Ibu Aya.

“Itu masih belum tau, kan kita juga punya sodara di Ciledug. Agak jauh sih dari kampusnya ... tapi kalau anaknya mau, biar tinggal di situ aja,”

“Kalo kaya gitu sih enak, nanti kalau ada apa-apa bisa lari ke sodara buat minta tolong. Lagi pula nih, anak sekarang itu di deket rumahnya banyak pilihan kampus teteeeeep aja milih yang jauh. Si Risa juga pengenya ke Jawa Timur, padahal kalau mau di sini ... nanti kan berangkat bisa bareng sama Kakaknya,” gerutu Bu Eka.

“Namanya anak keinginannya pasti macem-macem, pasti ada alasannya juga. Ada yang emang pingin jauh dari rumah buat pengalaman, ada yang kepengen di situ karna akreditasi sama pamor kampusnya, atau emang jurusan incarannya ada di situ,” sahut Ibu-ibu paling pojok.

“Bener Bu, yang penting kita kasih syarat anaknya harus tanggung jawab. Si Kakak emang masih kuliah juga Bu Eka?” timpa Ibu-ibu lainnya.

“Iya si Kakak baru semester 4, sempet gapyear kehalang biaya ... tapi alhamdulillah sekarang Allah mudahkan, kalau si Risa ini mau pengajuan bidikmisi katanya,”

“Semoga aja ya Bu ... dipermudah,”

“Aamiin,”

“Aya rencananya mau masuk jalur apa?” tanya Bu Dewi.

“Rencananya mau SNMPTN tapi tetep mempersiapkan buat SBM kalau saja ternyata bukan rejekinya masuk lewat SM,”

“Semoga lancar ya Nak,”

Lihat selengkapnya