Pundaknya terasa berat oleh muatan yang berada di dalam tasnya. Kini Aya kembali ke rutinitas biasa karna hari libur telah terlewati. Bunyi klakson terdengar tepat di belakangnya, Aya heran ... perasaan dirinya sudah berada di tepi jalan. Kenapa klakson itu terus berbunyi? Aya menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
Tiiiiiiiiiin
“Bareng nggak Ay? Hehehe.” Kaila menyengir memperlihatkan deretan giginya.
“Dasar! Pantes kok diklakson mulu, perasaan udah nepi banget.” Aya menghampiri Kaila.
“Aku nyamperin ke rumahmu tadi, ternyata udah berangkat. Yok naik,”
“Tumben, emang nggak nganter Ibu ke pasar?”
“Ibu lagi nggak enak badan, jadi nggak ke pasar dulu,”
Aya naik ke motor Kaila dengan sedikit menaikkan roknya, sudah pasti dia memakai celana dobel yang panjang. Sudah lama dia tidak berangkat sekolah bersama sahabatnya itu, semenjak Kaila ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor ... sahabatnya itu harus mengantar Ibunya ke pasar terlebih dahulu. Namun tak apa, bukan masalah besar untuk Aya menyusuri jalan menuju sekolah sendirian. Lagi pula, saat pulang sekolah dan belajar kelompok dia sangat terbantu dengan Kaila yang memboncengkannya setiap hari.
Tin tin.
Kaila kembali membunyikan klakson ketika dia melewati Adnan yang sedang menggoes sepedanya. Sekolah berjalan seperti biasa, di semester ini kelas dua belas melakukan pemadatan materi-materi ujian sekolah dan juga ujian nasional. Hari berlanjut terus berganti dengan kegiatan yang monoton dan teratur hingga satu dua bulan terlewati.
Namun ada yang berbeda di hari-hari Aya pada satu bulan terakhir ini, semenjak libur sekolah ... setiap sabtu atau minggu rumah Aya akan kedatangan tamu.
“Aya ... tolong buatin minum lalu antar ke depan ya,” pinta Ibu Aya.
Aya hanya mengangguk dan langsung mengerjakan permintaan Ibunya. Dia berjalan dengan satu nampan berisi tiga gelas teh berwarna merah. Sejenak Aya menatap dua tamu yang duduk di sofa ruangan itu. Seorang wanita paruh baya dan pemuda yang mungkin usianya tidak berbeda jauh darinya.
“Silakan Tan, minumannya,” ucap Aya sopan dengan seulas senyum.
“Aduh makasih Aya, jadi repot-repot,” ucap Bu Sintya.
“Nggak repot dong, ayo silakan diminum mumpung masih anget, atau mau yang dingin?” tawar Ibu Aya.
“Udah ini aja, anget-anget lebih enak di cuaca kaya gini,”
“Sini Nak ... duduk.” Ibu Aya memberi isyarat kepada anaknya untuk duduk di sampingnya.
“Aya bentar lagi ujian ya? Apa udah mulai ujian?” tanya Bu Sintya.
“Masih belum Tante ... satu setengah bulan lagi baru ujian sekolah, terus ujian praktik habis itu baru Ujian Nasional,”
“Anak jaman sekarang banyak banget ya ujiannya ... belum lagi ulangan-ulangan bersama. Beda dari zaman kita dulu,” ujar Bu Sintya sambil sedikit tertawa.
“Aya jadi ke UIN Jakarta ya? Oh iya ini kenalin Hanan anak Tante, dia kuliah di sana sana juga ... baru semester dua, “
Aya menganggukkan kepala untuk menyapa pemuda di samping Bu Sintya.
“Oh udah semester dua, ini lagi libur atau gimana?” Ibu Aya memandang pemuda dengan setelan kaos serta celana berwarna hitam.
“Ini pulang buat ngurus SKCK. Katanya mau nyoba kuliah sambil kerja,”
“Paruh waktu?” tanya Ibu Aya.
“Iya paruh waktu, kan mau ngelamar di bimbel gitu jadi walaupun paruh waktu wajib ngelampirin SKCK soalnya ini jadinya kaya profesi guru kan ... cuma bukan di sekolah,”
“Aslinya aku suruh buat fokus aja kuliah, tapi anaknya ngeyel pengen sambil kerja. Kalau bapaknya malah ngedukung banget katanya biar belajar ngerasain dunia kerja itu gimana, capeknya nyari duit itu gimana, belajar lebih tanggung jawab,”
“Kalau bapak-bapak hatinya kan emang beda sama kita Bu ... kalau kita ngeliat anak pusing ngerjain soal aja udah ngerasa kasian. Apalagi kuliah sambil kerja. Berarti Mas Hanan di sana ngekos ya?”
“Tadinya pas semester pertama itu tinggal di asrama Bu Lia, tapi sekarang aku kos in aja. Soalnya ada temen kamarnya yang problematik ... namanya juga anak dari mana-mana terus tiba-tiba digabungin jadi satu tempat pasti ada aja yang kaya gitu,”
“Tapi sekarang malah jadi berbaur sama masyarakat sana, sampai ikut irmas⁸ di masjid deket kos, terus kalau ada acara di komplek juga ikut berpartisipasi, udah kaya warga lokal sana,” imbuh Bu Sintya.
Mereka terus mengobrol hingga akhirnya Aya memiliki alasan untuk beranjak dari ruang tamu. Dirinya pamit karena ada Kaila yang memanggilnya dari luar. Aya berjalan pelan meninggalkan ruang tamu, namun dalam hatinya dia bersorak dan ingin berlari menghampiri sahabatnya itu.
“Aduh makasih banget ... alhamdulilaaaah kamu ke sini,” ucap Aya berbisik.
“Emang kenapa?” tanya Kaila heran.
“Ada tamu," jawab Aya singkat.
"Lagi?" tanya Kaila, dirinya sudah mengetahui tentang Ibu Aya yang berusaha menjodohkan anaknya.
"Iyaaa, nggak tau ini orang ke berapa. Agak canggung aku cuma duduk diem doang kaya patung,"
“Ya salah sendiri cuma diem doang, kan bisa kayang, koprol apa lempar lembing gitu. Eh yok main ke rumah Nenekmu, aku mau ke sana pesen tape ketan buat acara arisan Ibu,"
"Tapi itu kan ada tamu,"
"Udah gampaaang, aku yang pamit ke Mama ya, bilang mau minjem Aya buat dimintain tolong. Kan bener, aku minta tolong kamu temenin jalan,"
“Ayok dah, bentar ... aku juga mau ambil HP sama laptop dulu. Kemaren lusa Nenek bilang pengen nonton film bareng di rumah. Tapi rumah Nenek kan nggak pasang wifi jadi nggak bisa nonton langsung lewat tv,”
“Wiiih gaul juga ya Nenekmu minta nobar⁹, Nenekku maunya cuma tiduraaan terus, mana di tanah lagi padahal di rumah ada kasur empuk ... enak,”
“Hush ... jangan buat becandaan ah.” Aya menampar pelan mulut sahabatnya.
“Hehehe ... terus nontonnya di laptop gitu?” tanya Kaila.
“Enggak ... nanti muternya di laptop tapi disambungin ke tv pake anycast,” jelas Aya.
“Ooooh oke-oke, join dah aku. Adekmu diajak sekalian nggak?”
"Udah di rumah nenek duluan dia,"
Kaila masuk ke rumah sahabatnya dan menghampiri Ibu Aya untuk meminta izin membawa Aya sebentar. Wajahnya sangat meyakinkan bahwa dia membutuhkan pertolongan sehingga Aya diperbolehkan untuk ikut dengannya.
Aya menghabiskan waktu bersama Neneknya dan juga sahabatnya dengan menonton film dari sebuah platform. Di luar rumah, kakeknya heboh bermain karambol bersama tetangganya. Cukup lucu melihat kumpulan laki-laki usia senja dengan muka cemong karena polesan bedak di wajahnya sebagai hukuman untuk yang kalah.
Meski dengan rasa lelah entah pada fisik maupun pikiran, Aya terus berusaha melewati harinya dengan semaksimal mungkin agar hari-hari tersebut terlewati tidak menjadi sebuah kesia-siaan. Pastinya tetap diselingi sebuah hiburan meskipun sederhana.
Sedangkan Ibu Aya juga masih dengan aktivitasnya, namun semakin hari dirinya seperti semakin semangat untuk mengenalkan Aya kepada putra dari teman-temannya. Terkadang sang Ibu akan menanyakan kepada Aya apakah sudah ada yang menarik perhatiannya atau belum. Aya hanya menggeleng lemah dan mengatakan bahwa dirinya belum merasakan ketertarikan itu. Entah karena memang belum ada yang menarik hatinya, atau karena Aya menutup pintu sebab sudah memiliki pilihan di luar kandidat.
“Sayang, besok mau ikut Mama nggak?” tanya Ibunya sambil merapihkan payet kebaya.
“Kemana Ma?”
“Itu Bu Dewi ngundang kita ke rumahnya, ada acara tujuh bulanan mantunya,”