Ijabah

Arumdalu
Chapter #8

Air Mata Surga

Sekolah kini cukup sunyi, anak-anak kelas sepuluh dan sebelas diliburkan karena kelas dua belas sedang menjalani Ujian Sekolah. Para siswa sangat serius dan berhati-hati dalam mengerjakan soal, ketika bel berbunyi tanda bahwa waktu mengerjakan soal sudah habis ... para siswa satu persatu keluar dari ruang ujian dan beristirahat. Satu jam setelahnya mereka masuk ke kelas masing-masing untuk membahas kisi-kisi ujian sekolah mata pelajaran hari berikutnya.

“Ay ... yok pulang,” ajak Kaila, saat kelas mereka sudah berakhir.

“O ya bentar aku mau ke TU dulu,” jawab Aya.

“Mau ngapain?”

“Mau cetak kartu SNMPTN,”

“O yaudah, aku tunggu di parkiran ya,”

Aya mencetak kartu SNMPTN di ruang tata usaha. Pihak sekolah sudah melakukan verifikasi PDSS dan membantu Aya untuk mendaftar, kini Aya tinggal menunggu proses seleksi dan pengumuman apakah dirinya lolos atau tidak. Bulan lalu sebelum ujian praktik berlangsung Aya juga pergi ke kampus impiannya itu ditemani oleh Ibunya untuk mengikuti seleksi beasiswa tahfidz, Alhamdulillah semua berjalan lancar. Mulai dari pemenuhan persyaratan administrasi hingga tes seleksi semua Aya lewati tanpa kendala.

Setelah selesai mencetak kartu tersebut, Aya menghampiri Kaila dan langsung pulang ke rumah. Kelompok belajar mereka masih tetap berjalan, namun tidak setiap hari seperti sebelumnya. Mereka tidak ingin kelelahan dan malah mengganggu proses pelaksanaan rangkaian ujian.

Petang hari ketika Aya baru saja pulang mengaji, Aya sejenak mempelajari materi yang akan diujikan besok lalu beranjak tidur mengistirahatkan badannya. Sekitar pukul setengah dua, Aya terbangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah mencuci muka dan berwudhu, dirinya bergegas ke ruangan shalat atau mihrab rumah itu. Namun ketika sampai daun pintu ruangan mihrab, Aya melihat Ibunya yang masih mengenakan mukena. Biasanya Aya akan langsung masuk dan mengerjakan shalat di space yang tersisa, tapi kali ini dia terpatung ... Ibunya menangis. Samar dia mendengar Ibunya memanjatkan do’a.

“Tuntun hamba agar bisa membuat keputusan baik untuk anak-anak hamba ya Allah, lapangkan hati hamba atas apa yang mungkin tidak hamba kehendaki. Tolong limpahkan rasa ikhlas agar hamba tidak berat hati melepas anak hamba yang ingin menuntut ilmu karena-Mu ya Allah. Jangan keraskan ego hamba. Jagalah anak-anak tetap berada di jalan yang Engkau ridhai. Jagalah anak-anak hamba dari hal-hal yang Engkau benci. Limpahkanlah mereka rasa tulus untuk mencintai-Mu ya Allah sehingga mereka tidak akan melanggar aturan-Mu. Tolong ijabah segala doa-doa yang hamba panjatkan untuk anak hamba,”

Ibunya masih terus memanjatkan do’a yang cukup panjang, Aya berjalan pelan dengan mata yang juga berkaca-kaca. Dia masuk ke kamar dan membenamkan tubuhnya dibalik selimut berpura-pura tidur. Tidak lama, ada suara ketukan pintu dan panggilan halus.

“Ayaaa ... udah jam dua ... mau shalat tahajud atau nggak?”

“Ya Maaa bentaaar, Aya lagi bangun,” ucap Aya dengan suara yang dibuat-buat seakan dia baru saja bangun tidur.

Aya keluar dari kamar dengan mata yang sedikit menutup, dia tidak ingin Ibunya melihat matanya yang merah karena baru saja menangis. Ibu Aya mengusak rambut anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

“Awas nabrak nanti, melek dulu itu matanya,”

Aya melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu, setelanya dia melaksanakan shalat sunnah dengan hati yang sedikit bergetar. Dia shalat di tempat Ibunya tadi menangis, isakan halus itu terus teringat di kepala Aya. Pikirannya cukup bimbang, dia tidak ingin meninggalkan Ibu dan Adiknya ... namun kampus itu benar-benar menjadi impian Aya.

Aya melepas mukena lalu berjalan keluar dari ruangan tersebut, dia masuk ke kamar Ibunya.

“Ma ... mau tidur sama Mama.” Aya mendusel Mamanya.

“Tumben ... yaudah sini.” Aya, Ibunya dan Hasan tidur bersama di kasur berukuran 180×200 cm itu. 

Pagi harinya Aya berangkat sekolah sambil membaca ulang materi ujiannya nanti, hari ini adalah hari terakhir dia melaksanakan ujian sekolah. Sejauh ini tidak ada kesulitan yang Aya alami, dia optimis bisa mendapatkan nilai yang memuaskan. Eh ... sebenarnya ada satu masalah, yaitu ketika ujian praktik rol depan satu bulan yang lalu. Kepala Aya seolah menancap pada matras, bukannya me-roll ke depan ... Aya malah seperti sedang melakukan head standing. Padahal saat latihan dia berhasil melakukannya dengan lancar, untungnya untuk praktik olahraga lainnya Aya bisa melakukannya dengan sangat baik. 

“Aaaargh akhirnya ujian sekolah selesaiiii, sampe rumah aku mau tidur seharian.” Kaila merenggangkan badannya.

“Jangan lega dulu ... sebulan lagi kita UN,” sahut Aya.

“Haaah, mending ujian dihapus aja deh,”

“Udaaah jangan ngeluh mulu, emang kenapa sih kalau ada ujian ini ujian itu ... orang kamu juga pinter,”

“Males aja aku kalau ada situasi yang bikin deg-degan kaya gini, udah nanti abis UN juga masih ada SBMPTN,”

Sepanjang jalan pulang Kaila terus mengeluh, dirinya memang tidak mendaftar jalur SNMPTN seperti Aya, karna saat kelas sebelas dia sempat satu kali mengalami penurunan nilai yang membuatnya tidak memenuhi syarat. Mereka pulang dengan berjalan kaki bersama, motor Kaila sedang diservis. Tiba-tiba ponsel Aya berbunyi, ada panggilan telefon dari Neneknya. Aya segera mengangkat panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, halo Nek?” ucap Aya.

“Waalaikumussalam, Aya nanti pulang ngaji jam berapa?” Suara Neneknya terdengar dari ponsel yang Aya genggam.

“Hari ini Aya nggak ngaji Nek, libur 3 hari ... tempatnya lagi direnovasi,”

“Ooooh, pas banget kalau gitu. Kamu abis sampai rumah langsung ke rumah Nenek aja, nginep sini ya ... Mamamu lagi pergi antara tiga atau empat hari,”

“Lho ... Mama pergi ke mana? Kok Aya nggak tau,”

“Nenek kamu yang di Klaten lagi sakit, jadi Mama kamu ke sana buat gantian jaga sama saudara-saudara yang lain,”

Langkah Aya langsung terhenti seperti sedang membeku, kenapa Ibunya tidak memberitahunya soal ini?

“Ke Klaten? Kok Mama nggak bilang sama Aya,”

“Mama kamu nggak mau kamu kepikiran, apalagi ini hari terakhir kamu ujian sekolah kan ... udah tenang sayang, Mama kamu perginya sama Kakek kok. Nggak sendirian,”

“Adek juga ikut Nek?”

“Nggaaak, Hasan juga nginep di rumah Nenek. Mama kamu cuma berdua sama Kakek, tadi berangkat naik kereta ke Stasiun Solo Jebres. Nanti dari Solo Jebres mungkin naik taxi online,”

“Aya agak tenang kalau Mama nggak ke sana sendirian. Makasih ya Nek, nanti Aya ke situ,”

“Tolong bawa teh rosela sekalian ya, tadi Nenek lupa mau bawa,”

“O iya Nek nanti Aya bawain, Aya tutup dulu telefonnya ya, Aya masih di jalan. Assalamualaikum,”

“Waalaikumussalam,”

Aya meneruskan langkahnya yang sempat terhenti, Kaila sedari tadi hanya diam menunggu sahabatnya selesai mengangkat telefon.

“Kenapa Ay?” tanya Kaila.

“Mama pergi ke Klaten beberapa hari, Nenek Klaten lagi sakit soalnya. Tapi ditemenin Kakek sih,”

“Sodaramu di Klaten masih pada rese ya?”

“Ya gitulah, masih sama kaya dulu,”

“Udah ... jangan terlalu dipikirin, kan Mama ditemenin Kakek. Nggak ada yang berani ngoceh macem-macem, kalau sampe nekat ngoceh biar dijejelin biji karambol,”

Aya tersenyum tipis mendengar celotehan Kaila, sahabatnya itu benar-benar mengenal dirinya, sedikit banyak persoalan di keluarganya pun Kaila tahu. Aya memang tidak akrab dengan saudara-saudara di Klaten, dahulu sebenarnya perlakuan saudara-saudara Mama tidak terlalu parah. Namun saat Mama menikah dan hidup bahagia, banyak saudara yang terus-terusan melontarkan omongan tidak enak. Aya juga tidak akrab dengan Neneknya di Klaten, bahkan sepertinya Aya tidak pernah secara langsung menatap wajah Neneknya itu, karena Aya selalu dipandang dengan pandangan yang tidak mengenakkan. Setiap lebaran, dia selalu berberat hati ketika diajak mudik ... apalagi setelah Ayahnya meninggal. Namun Ibunya tetap rutin mengunjungi tempatnya dilahirkan karena bagaimana pun juga, keluarganya ada di sana.

“Eh Ay! Aku mau ikut nginep di rumah Nenekmu dong, nanti kita nobar kaya waktu itu,” ucap Kaila.

“Boleeeh, langsung aja nanti ke rumah Nenek,” respon Aya.

Aya menyiapkan buku-buku dan Al Quran untuk dibawa ke rumah Neneknya, untuk baju ... Aya tidak perlu membawanya karna di rumah Neneknya dia juga memiliki almari yang berisi pakaiannya. Tidak lupa setoples besar teh rosela dia masukan ke dalam goodie bag. Dipastikannya rumah dalam keadaan bersih dan tidak ada piring kotor ataupun sesuatu yang menimbulkan bau, semua jendela dan pintu harus terkunci rapat. Aya memasukkan kunci rumah ke dalam tasnya lalu melangkah pergi. Sebelum ke rumah Neneknya, Aya mampir sebentar ke pemakaman ... dia ingin berziarah ke makam Ayah.

“Mawarnya satu aja Pak, sama air mawarnya juga satu.” Sebelum memasuki pemakaman, Aya terlebih dulu membeli taburan di dekat situ.

“Ini mbak, semuanya 15.000 ya,”

“Ini Pak uangnya makasih banyak Pak,” 

“Sama-sama Mbak,”

Aya mencabuti rumput yang belum terlalu banyak jumlahnya, rumput-rumput itu tumbuh tidak merata di atas makam orang yang Aya sayangi.

Lihat selengkapnya