“Hoooooo ... A si nan ... A si nan ... A si nan ... A si nan.”
Para santri penghuni kamar firdaus sedang membentuk lingkaran dan menggumamkan kata dengan nada seolah-olah itu adalah sebuah mantra. Tidak lama kemudian, muncul seorang santriwati yang memasuki kamar. Dia membawa termos es batu berwarna biru dengan volume 17 liter dan juga satu kantong thinwall berbentuk seperti mangkok. Termos tersebut sangat berat sehingga dimodifikasi dengan memberikan 4 roda pada bagian bawahnya ... sehingga santri tersebut tidak perlu mengangkat termos itu, tetapi menyeret atau mendorongnya seperti sebuah koper. Saat santri itu muncul, para santri lain yang membentuk lingkaran semakin menjadi.
“Ululululu ... Asinaaaaan, A si nan ... A si nan, A si nan,”
Aya bergabung di lingkaran itu, namun dirinya hanya menunduk menahan tawa karena tingkah teman-teman sekamarnya. Sedangkan Kaila? Dialah dalang dari tingkah aneh yang terjadi malam hari ini.
“Ini pada kenapa dah, pada stres ya gara-gara abis ujian fikih bab hukum waris,” ucap santri yang membawa termos es batu itu.
“Horeeee asinan dataaang,” ucap Kaila, tangannya membentuk huruf T memberi komando kepada teman-temannya untuk berhenti dan diam.
“Iya iyaaa ini asinan buahnya,” ucap santri bernama Laili.
Santri bernama Laili itu baru saja dijenguk oleh orang tuanya dan biasanya ... setiap menjenguk Laili, Ibunya memang selalu membawakan asinan buah yang rasanya sangat segar untuk dimakan bersama-sama.
“Ayo bantu masuk-masukin ke thinwall terus dibagi ke pengurus dulu, sisanya baru kita santap,” ucap Laili.
Termos itu dibuka, isinya tidak terlalu penuh karna jika penuh pasti akan rawan tumpah saat di perjalanan, apalagi perjalanan itu dari Bogor. Mereka semua berbaris memanjang, dua santri menyendoki asinan itu menggunakan sendok sop lalu memasukkannya ke dalam thinwall. Santri lainnya akan menutup rapat thinwall tersebut dan yang lainnya lagi akan menempelkan nama pengurus untuk memudahkan mereka saat membagikan makanan tersebut. Setelah semua nama pengurus sudah tercatat di setiap thinwall mereka membagikannya kepada para pengurus, sisanya akan mereka santap bersama-sama.
“Udah selesai bagiinnya?” tanya Laili.
“Udaah rebees,” jawab Kaila.
“Okey, yok sekarang giliran kita pesta asinan,”
“Yeeey, makasih Laili,”
Mereka membawa mangkok masing-masing dan menyendok asinan itu untuk dituangkan ke dalam mangkok mereka, setelah semuanya sudah mendapat bagiannya. Mereka segera menyeruput kuah berwarna oren kemerahan itu. Kamar yang Aya tempati ini berisi 16 santri yang kebetulan mereka semua berkuliah di UIN Jakarta, hanya saja jurusannya berbeda.
Tidak terasa, Aya dan Kaila sudah memasuki semester tiga perkuliahan. Ya ... mereka sudah berada di perantauan selama satu tahun empat bulan. Aya memandang wajah teman-temannya yang penuh tawa, tawa Kaila lah yang paling sering terdengar. Padahal dia sangat ingat dulu dirinya dan Kaila menangis sesenggukan saat pertama kali berpisah dengan keluarga di ruang penerimaan santri. Namun sekarang dia sangat menikmati menjadi santri di sini, Kaila pun begitu ... mereka biasanya akan pulang setiap liburan tiba.
Ponsel Aya berdering, itu panggilan dari Ibunya.
“Assalamualaikum ... halo Ma?”
“Waalaikumussalam, gimana di sana? Sehat?”
“Alhamdulillah sehat Ma ... ini baru aja selesai ngaji terus lagi nyemil asinan. Mama gimana? Sehat?”
“Alhamdulillah Mama juga sehat, Adekmu sehat, Kakek Nenek semuanya sehat. Adekmu kemaren lomba adzan menang juara satu tingkat provinsi,”
“Juara satu? Waah hebat!”
“Siapa Ay? Mama ya? Halo Maaa?” Kaila tiba-tiba menyerobot telefon dari belakang.
“Maaaa Aya di kampus banyak yang sukaaa, kemaren dia ditembak sama anggota BEM,” celetuk Kaila.
“Ih tapi nggak Aya terima Maaa, itu Kaila juga bulan kemaren ditembak sama anak hukum,”
Terdengar Ibu Aya tertawa kecil.
“Syukurlah kalau pada sehat, eh bentar bentar ... itu ada siaran orang meninggal, Mama tutup dulu ya telefonnya,”
“Innaliahi ... oke Ma,”
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumussalam,”
Aya kembali melahap asinan di depannya itu.
“Bentar lagi UAS, besok kita mau pulkam pake bis apa kereta Ay?” tanya Kaila.
“Kereta aja deh, yang cepet,”
Seperti yang dibicarakan oleh Aya dan Kaila, ujian akhir semester memang tak lama lagi. Namun saat kegiatan evaluasi mata kuliah itu sudah selesai dan masa liburan menghampiri mereka. Aya tidak bisa langsung pulang ke Jogja karna Kaila terkena cacar air di hari pertama liburan. Dokter memberitahu bahwa sahabatnya tidak boleh berinteraksi dengan orang-orang setidaknya dalam kurun waktu dua minggu. Sudah pasti Kaila juga tidak bisa naik kendaraan umum. Aya memutuskan untuk menunggui Kaila di pesantren.
Kamar berukuran 3×4 meter ini adalah tempat Kaila mengisolasi diri, Aya duduk di pojok ruangan tersebut. Dirinya pernah mengalami cacar air ketika masih SD dan dia percaya kalau orang yang sudah pernah mengalami cacar air tidak akan tertular lagi. Oleh sebab itu Aya tidak takut berdekatan dengan Kaila.
“Santri-santri udah pada pulang ya?” tanya Kaila yang sedang berbaring.
“Ada yang udah pulang, banyak yang masih nunggu jemputan, terus kalau yang dari luar pulau Jawa rata-rata pada nggak pulang,” jawab Aya.
“Ini aku beneran nggak boleh ke mana-mana?” keluh Kaila.
“Ya liat aja ke kaca ... itu bentol-bentol kamu malah lagi parah-parahnya, rata banget. Udah nurut aja kata dokter, eh bentar ada yang telefon,”
“Assalamualaikum, ya Ma?”
“Waalaikumussalam, Sayang ... kamu udah liburan belum ya?” tanya Ibunya.
“Udah Ma dari seminggu yang lalu, maaf lupa mau ngabarin. Ini Kailanya lagi cacar air jadi nggak bisa naik angkutan umum. Kita udah pesan tiket kereta sebenernya tapi jadinya kita cancel,”
“Lho ... Kaila sakit?” Ibu Aya langsung mengganti panggilan itu menjadi video call. Aya mengarahkan kamera itu ke arah Kaila.
“Ya Allah ... itu cacarnya rata banget ya. Demam nggak sayang? Udah periksa ke dokter?”
“Udah kok Ma, sama pihak pesantren langsung dianter ke dokter terus disuruh isolasi diri dua minggu,” jawab Kaila.
“Bapak Ibu udah tau?”