Ijabah

Arumdalu
Chapter #12

Pertemuan Singkat

 “Ay ... ini yang dimasukin bawang-bawangan dulu kan?” tanya Kaila.

“Iya ... sampe beraroma atau agak layu ya ... abis itu baru buncisnya,”

Kaila menumis potongan bawang bombai, bawang merah dan bawang putih. Setelah semua menjadi layu, dia memasukkan buncis yang sudah dipotong serong tipis-tipis.

“Abis itu apa Ay?”

“Saos tiramnya jangan banyak-banyak ... satu sachet aja, tumis pake api sedeng aja biar nggak kematengan,” Aya memberi instruksi sambil menggoreng ayam.

“Ay ... ini kekeringan ... gimana?”

“Shalat istisqa lah,”

“AYA!”

“Ya katanya kekeringan ... ya shalat istisqa lah biar turun ujan,”

“Serius Ay! Gosong nanti ini,”

“Tambahin air sepertiga gelas kecil itu.” Aya menunjuk sebuah gelas.

“Jangan lupa tambah garam sama lada dikit, terus icipin ... kalau udah pas, buncisnya dipinggirin. Masukin kocokkan telur, orak arik di wajan. Kalau udah memadat telurnya, aduk semuanya sampai telurnya nyampur sama buncis,” lanjut Aya.

“Oiya, itu telur kocoknya udah ditambah garem dikit sama lada kan?” tanya Aya.

“Udah kok,” jawab Kaila.

Kaila mengikuti instruksi Aya sampai masakan orak arik buncis itu matang. Tekstur buncisnya masih sedikit renyah, namun tidak tercium aroma mentah. Mereka sedang memasak untuk kegiatan sukarelawan mengajar di sebuah pemukiman pemulung yang tidak terlalu jauh dari kampus, jika ditempuh menggunakan sepeda motor kurang lebih akan memakan waktu 17-20 menit. Aya dan Kaila tergabung bersama anak-anak dari berbagai fakultas membentuk sebuah komunitas bernama Binar Aksara.

“Ay ... udah mateng ini, coba icipin dong,”

“Udah enak kok ini, masih krenyes-krenyes juga,” ucap Aya sambil mengunyah masakan itu.

“Yes ... akhirnya bisa masak juga, enaknya buka resto apa ya,” halu Kaila.

“Coba telefon anak-anak lain, udah pada sampai mana, ini ayam gorengnya dikit lagi selesai,”

Pekerjaan untuk kegiatan mingguan ini memang dibagi acak, Aya dan Kaila mendapatkan tugas memasak sayur serta lauk. Anggota lainnya ada yang mendapatkan bagian memasak nasi, membeli tempat makan, membuat jus dan tugas lainnya. Untungnya pengurus pesantren mengizinkan mereka untuk menggunakan fasilitas dapur umum.

“Udah deket kok mereka,”

“Yaudah, kamu cuci wajan bekas masak buncisnya sama peralatan lain, aku ke depan dulu buat nemuin mereka pas udah sampe nanti,”

Tidak lama rombongan mahasiswa berjumlah tujuh orang itu sampai di pesantren. Setelah mendapat izin masuk, mereka segera menata masakan ke dalam kotak makan ... nasi, sayur, ayam dan bakmi goreng berpadu sesuai dengan porsinya. Tidak lupa potongan buah yang sudah dimasukkan ke dalam thinwall 250 ml. Setelah semuanya selesai, Aya dan Kaila berpamitan kepada pihak pesantren. Makanan dan minuman itu dimasukkan ke sebuah mobil milik salah satu dari mereka. Rombongan yang menaiki satu mobil dan empat sepeda motor itu melaju ke tempat yang dituju.

“Zam! Tolong bantuin angkat ini dong,” teriak Kaila menunjuk tumpukan buku bacaan.

“Oke bentar,” sahut pemuda bernama Nizam itu.

Ya ... Nizam seseorang yang pernah bertemu dengan Aya dulu, anak Bu Dewi teman akrab Ibu Aya. Nizam juga diterima di kampus ini, dia satu kelas dengan Kaila. Meski awalnya canggung, namun Aya dan Nizam akhirnya bisa akrab setelah melakukan berbagai kegiatan di komunitas. Bahkan berkat mulut embernya Kaila, Nizam tau jika saat ini Aya sedang terikat dengan seseorang. Tumpukan buku itu diletakkan di sebuah gubuk atau gazebo kayu, buku-buku itu adalah hasil donasi yang mereka kumpulkan dari mahasiswa-mahasiswa kampusnya. Binar Aksara sebenarnya beranggotakan 52 mahasiswa, namun mereka semua dibagi untuk melaksanakan kegiatan di beberapa titik kumuh ... 4 titik di Tangerang serta Tangerang Selatan, lalu 2 titik di Jakarta. Terkadang ada juga mahasiswa dari luar komunitas yang membantu mereka mengajar.

Dua anak laki-laki berumur delapan tahun bersorak saat melihat rombongan Aya datang. Mereka berteriak memanggil teman-teman yang lain untuk berkumpul. Kebanyakan anak-anak di sini memang tidak sekolah, hanya beberapa anak yang mengenyam pendidikan formal. Alasan utama adalah ekonomi, selain itu banyak juga dari mereka yang tidak memiliki dokumen pribadi seperti akta kelahiran dan juga kartu keluarga. Para anggota Binar Aksara sering mendiskusikan bagaimana cara membantu mereka untuk memiliki dokumen-dokumen tersebut, namun untuk saat ini mereka baru bisa memberi bantuan dengan mengadakan kelas rutin tiap minggunya.

“Eh ada berapa maba yang ngasih sinyal mau gabung sama kita?” ujar Aya sambil menata box nasi di pojok gazebo.

“Gua udah ada 3 adek tingkat yang jadi kandidat sih,” ujar Danu. Mahasiswa pendidikan Bahasa Arab, satu angkatan dengan Aya.

“Aku ada 2 kandidat Kak, keliatannya pada niat sama semangat buat join,” sahut Oki, mahasiswa semester dua.

“Tetangga aku yang kemaren jadi maba juga tertarik sama Binar Aksara Kak,” ucap Fitri, mahasiswi semester dua.

“Yaudah ... berarti nanti kita bahas sama ketua, buat segera di follow up anak-anak itu,” ucap Nizam.

“Iya harus cepet follow up, kan mahasiswa yang bakal KKN di kelompok kita ada empat orang ... aku, Aya, Kamu sama Danu. Udah pada daftar kan? Kita butuh pengganti sebelum berangkat. Dan juga setelah KKN kayaknya kita nggak bisa seaktif ini lagi,” ujar Kaila.

“Huft,” Aya menghela nafas.

“Berat ya?” tanya Nizam.

“Iya ... pengen sama anak-anak ini terus,” ujar Aya sambil memilin bajunya.

Mereka dengan tulus mengajari 17 anak yang sudah berkumpul di gazebo itu. Awal pembelajaran dilakukan serentak seperti pembelajaran di kelas pada umumnya, kemudian anak-anak tersebut akan dibagi untuk belajar secara privat bersama 9 mahasiswa yang menjadi relawan di tempat itu. Aya menatap anak-anak yang dia ajar, hangat menjalari perasaannya. Kini anak-anak itu sudah lancar membaca, Aya masih ingat ketika pertama kali datang ke tempat ini mereka belum bisa mengeja kata ... hanya mengenal beberapa abjad saja. Mata Aya terpejam, dia berharap anak-anak itu bisa mengenyam pendidikan formal agar kelak terlepas dari keadaan terstruktural ini. Meski kegiatan kampus Aya makin menggila, tetapi dia tetap aktif dalam kegiatan komunitas tersebut. Baginya, kegiatan ini malah menjadi pelebur rasa penat yang dia dapat dari kampus. Senyum tulus anak-anak yang dia temui setiap hari minggu itu seperti menyuplai energi positif ke dirinya.

“Bye Kak Aya, Kak Kaila, Kak Danu.” Fitri melambaikan tangannya ke arah mobil Danu yang kacanya masih terbuka.

“Byeee Fitri,” jawab Aya.

Lihat selengkapnya