Aya keluar dari sebuah ruangan lantai tujuh gedung kampusnya itu. Langkahnya melemas saking leganya, dia baru saja selesai melaksanakan sidang skripsi tertutup. Jika dirinya tidak sedang datang bulan, dipastikan Aya akan langsung sujud syukur setelah keluar dari ruang sidang. Kaila sudah menunggunya di sebuah koridor.
“Ay ... gimana?” tanya Kaila.
“Alhamdulillah lancar, walau sempet gemeter dikit di akhir sidang,”
“Buset tanganmu dingin banget.” Kaila menggenggam tangan sahabatnya itu, merasakan dingin di bagian telapak tangan.
“Udah dibilang aku gemeter di akhir sidang ... Alhamdulillah sekarang lega banget,”
“Revisinya banyak nggak?”
“Alhamdulillah nggak terlalu lah, tapi ya lumayan juga sih,”
Aya segera merampungkan revisiannya dan segera mengumpulkannya bersama berkas-berkas lain. Semua tahapan-tahapan pasca sidang skripsi segera Aya kerjakan agar dia bisa mendaftar yudisium serta wisudanya. Aya mendapatkan jadwal wisuda pada tanggal 30 Agustus.
Saat tanggal wisuda tiba, Ibu, Adek, Kakek, Nenek Aya datang ke kampus ... bahkan orang tua Kaila juga datang. Namun hanya Ibu dan Nenek Aya yang bisa mengikuti acara tersebut, karna setiap wisudawan/wisudawati hanya diberi kuota dua orang untuk diundang. Ibu Aya dipenuhi haru dan rasa syukur ketika mendengar nama anaknya dipanggil.
“Selamat ya sayang.” Ibu Kaila memeluk Aya.
“Kita jadi foto di studio kan?” tanya Ibu Aya.
“Jadi dong Maaa,” ucap Aya penuh semangat.
“Tapi ini gimana cara bawanya?” Kakek Aya menunjuk banyaknya bouquet yang diterima oleh Aya. Dari teman di pesantrennya, di komunitas maupun teman sekelas.
“Ya berarti kita drop dulu ini ke pesantren baru deh berangkat ke studio foto,” ucap Kaila.
Mereka memesan dua taxi online, setelah meletakkan semua bouquet ini di pesantren ... seperti rencana awal, mereka pergi ke studio foto untuk mengabadikan momen bahagia ini.
“Jadi Aya mau langsung urus buat pulang dan pamit dari pesantren atau gimana?” tanya Ibu Kaila.