Teruntuk Kawanku di Masa Depan,
Apa yang terlintas di benakmu saat mendengar kata 'Batavia'?
Sebuah kota yang pernah mendapat julukan Ratu dari Timur karena kecantikannya? Sebuah kota pelabuhan yang panas namun rindang? Sebuah kota perdagangan yang padat? Atau... sebuah kota paling moderen di seluruh Hindia Belanda?
Ay, semua itu tidak salah. Semua orang mengakuinya, baik mereka yang sudah lama tinggal maupun para wisatawan mancanegara—oh, jangan lupakan juga para pendatang/ trekkers yang baru tiba di pelabuhan atau lapangan udara.
Kota Batavia adalah kota dimana aku tinggal. Kotaku ini memang indah dan rapi (aku tinggal di sekitar Koningsplein) dimana bangunan-bangunan pemerintahan yang kokoh dan indah berjajar di sepanjang jalan-jalan utama. Demikian pula taman-taman yang rindang, rumah-rumah bergaya Indis di sepanjang kompleks, kanal-kanal yang tidak pernah surut, pertokoan serba ada, serta gereja Katedral yang kami kunjungi setiap Hari Minggu.
Pada awalnya, semua terasa menyenangkan. Akan tetapi, ketika aku semakin mengenal kota ini lebih lama... ada beberapa pemikiran ‘aneh’ yang tidak mampu kuabaikan. yang terus bergelayutan di benakku. Kira-kira seperti ini:
Seperti apa wajah Tuan Coen jika dia tidak tersenyum angkuh?
Kalian tahu Waterlooplein?
Itu, loh, sebuah lapangan luas yang biasa digunakan para tentara untuk berlatih. Disana terdapat dua buah patung yang menurutku sangat menarik: pertama adalah patung Jan Pieterzoon Coen, alias founding father-nya Batavia, yang berdiri di depan De Witte Huis (aku lebih suka memanggilnya Gedung Putih, hitung-hitung terdengar seperti Amerika) dan yang kedua, adalah sebuah monumen patung singa kurus—atau anjing pudel?—yang konon katanya, dibuat orang-orang Belanda untuk mengejek kekalahan seorang kaisar Prancis dalam pertempuran Waterloo di Belgia (entah siapa namanya, aku lupa itu!).
Seperti yang kukatakan; setiap kali aku melihatnya, patung Tuan Coen ini selalu menunjukkan wajah pongah yang sangat, sangat menyebalkan! Baiklah. Dia mungkin terlihat keren dengan setelan indahnya dan juga topi besar yang gagah, namun aku membayangkan bagaimana seandainya patung itu tersenyum lebar, merentangkan kedua tangannya, dan melompat-lompat di atas batunya untuk menghibur semua orang. Sudah tentu masyarakat Hindia Belanda akan sangat senang jika itu terjadi, meski itu hanya terjadi di kepalaku saja. Ahahahaha!
Bagaimana kabar Tuan Daendels di dinding Olifanten Huis?
Salah satu figur yang paling disegani se-Hindia Belanda ini benar-benar membuatku merasa iba. Ia terjebak di sebuah lukisan cat minyak yang sangat berharga (aku mendengarnya dari teman-teman di sekolah) dan sama sekali belum menggerakkan tubuhnya barang sejentik jari pun! Tak terkira mungkin rasa pegal dan jenuh yang dirasakan tokoh-toko dalam lukisan, dan kudengar pula beliau tidak lagi mencukur janggutnya sejak lima tahun terakhir. Wah, apakah Tuan Daendels ingin menjadi Santa Klaus? Hei—jika itu benar, tolong doakan aku agar kebagian mendapat hadiahnya! Ahahahaha! Tidak, tidak. Jangan menyerudukku ya, tuan gajah yang baik!