“Hai hai hai, dek Aan!! Ikaga desu-ka, Otouto-san?”[1]
Ucapnya ceria seperti dulu. Kak Yuki mengangkat kedua tangannya dengan dua jari yang dibentuk peace. Ia tersenyum lembut padaku. Senyum yang dahulu selalu menghibur saat aku bersedih. Senyum yang kurindukan setengah mati.
“Kenapa malah bengong? Gak mau kasih salam, nih?”
Aku pasti ngomong dari tadi kalau aku bisa ngomong, kak Yuki. Dasar gak peka. Selalu aja gak peka..
Aku bangkit dan mulai berjalan pelan ke arahnya. Ia hanya menanti dengan senyum yang sama. Aku berjalan tertatih-tatih saking lemasnya kaki ini sekarang. Benar-benar tak percaya dia bersamaku saat ini.
Tepat setelah jarak kami dua meter, aku langsung menarik lengan kak Yuki dan membawa tubuh mungil itu kedalam dekapanku. Ia tersentak, tak menduga akan mendapat pelukan dariku.
Hanya ini yang bisa kulakukan sekarang untuk menggambarkan betapa rindunya aku pada sosok ini. Aku sadar tubuhnya menjadi kaku didalam pelukanku, namun ia sama sekali tidak berusaha menghentikanku.
Bagaimana pun juga kami berdua telah dewasa. Dan kami adalah muslim. Aku tahu ini salah. Tapi untuk kali ini, tolong izinkan aku memberitahu rasa ngilu yang menggerogoti hati selama ini.
“Huhuhu... One-san... selama ini kemana saja.. Aan rindu..”
Aku berkata dengan suara parau. Air mata mengalir membasahi pipi. Tak kusangka aku akan menangis seperti ini lagi. Persis seperti diriku 15 tahun yang lalu. Aku jadi sedikit malu.
Aku merasa tubuh kak Yuki bergetar. Sepertinya dia akan –
“Buahahaha!!”
Tertawa.