“Kenapa?”
Akhirnya aku bersuara setelah bersusah payah mengatur napas. Kan gak keren kalau aku mengeluarkan suara seperti orang tercekik. Kik.. kik..
“Kenapa?”
Kak Yuki mengulang pertanyaanku. Dahinya berkerut menandakan ia sedang bingung.
“Kok malah tanya kenapa? Kan Kakak udah janji.”
Aku hanya diam menantikan kalimat selanjutnya.
“Kamu masih ingat kata-kata terakhir yang Kakak ucapkan sebelum Kakak pergi, kan?”
Aku masih diam. Mana mungkin aku lupa.
“’Aku tidak tahu pasti kapan. Tapi yang pasti, aku akan datang menemuimu lagi, dek Aan’.”
Mataku membulat sempurna. Tak menyangka ia juga masih ingat. Perasaanku campur aduk. Terharu karena ia masih ingat janjinya sekaligus kesal karena ia kembali terlalu lama.
“Jadi disinilah Kakak sekarang. Pulang ke tanah kelahiran dan datang menemuimu lagi, dek.” Sambungnya dengan tatapan sendu dan senyum tipis di bibir.
Aku jadi sedih melihatnya yang merasa bersalah. Pasti kak Yuki punya alasan tersendiri mengapa pergi 10 tahun lamanya dan seperti menghilang ditelan samudra.
Aku mengambil napas panjang, berusaha menenangkan emosiku yang mulai bergejolak. Bagaimanapun juga aku ini manusia. Manusia yang punya rasa amarah bahkan pada orang tersayang. Betapapun baiknya aku, aku tetaplah pemuda biasa yang bisa merasa kecewa.
“Yah, dari kalimat Kakak aja udah gak jelas, sih. ‘Tidak tahu PASTI kapan, tapi yang PASTI aku akan datang lagi.’ Kata yang sama ditempatkan dalam dua kalimat yang berbeda. Bermain kata benar-benar kelebihan kak Yuki, ya.”
“Kamu ngejek atau apa sih, dek.”
“Perkataan seseorang itu emang benar-benar cerminan dirinya, ya.” Sambungku iseng, sengaja tak merespon ucapannya.
Kak Yuki menatapku dengan tatapan menyelidik, alisnya sudah bertaut dan dagunya berkerut. Aih, jeleknya..
“Langsung bilang aja kalau kakakmu ini gak jelas loh, dek. Gak usah bertele-tele pakai bahasa halus segala. Untung Kakak tanggap, kan.”
Ia melipat kedua tangan di depan dada, mengangkat dagunya sedikit seraya menggembungkan salah satu pipinya yang putih kemerah-merahan. Kurasa dia kepanasan.
“Bagus, dong. Memang harus begitu,” jawabku tersenyum kecil. Suka melihat ekspresi sok ngambek versi kak Yuki.
“Dasar jahat.”
“Baru ingat?” balasku cepat sambil menjulurkan lidah sedikit. Kak Yuki mengangkat tangannya tinggi-tinggi, siap menyentil dahiku. Tapi responku lebih cepat. Tepat sebelum ia beraksi, aku sudah lari menjauh lebih dulu.
“Oi! Jangan lari!”