“Oh, jadi ngomongnya udah pakai aku-aku ya, sekarang?”
Waduh. Keceplosan.
“Hehe. Maaf, kak. Gak sengaja. Jadi kenapa? Kenapa sikap Kakak berubah sejak Aan tanya ngapain aja emang di Jepang?”
Aku ngotot bertanya sebelum kak Yuki mengalihkan pembicaraan lebih lanjut. Kuperhatikan kak Yuki hanya bergeming. Apakah sebegitu beratnya menjawab pertanyaan sederhanaku?
Kak Yuki berdesah pelan. Seakan ingin mengeluarkan beban berat yang menghimpit dadanya. Apa ada masalah?
“Kakak gak tahu harus bilang ini apa enggak sama kamu. Mungkin kamu juga udah lupa orangnya.”
Hening sejenak.
“Chinatsu Oba-san[1] baru saja bercerai dengan suaminya,” sambung Kak Yuki dengan suara rendah.
Aku membelalak. Menoleh cepat ke arah kak Yuki.
“Chinatsu Oba-san?? Yang pernah beberapa kali jenguk kak Yuki kesini bersama sang suami dengan mesranya itu?”
Kak Yuki tertawa renyah lalu berujar geli setelah menoleh padaku, “Kamu jujur banget sih, dek.”
Aku berkedip. Tanpa sadar mulutku langsung mengatakan apa yang terlintas dalam pikiran. Sudah terlambat untuk merasa malu.
Aku kembali menoleh ke depan, bagaimanapun juga kami harus sampai rumah dengan selamat. Jangan sampai karena kekepoanku terjadi hal yang tidak diinginkan.
Kak Yuki menegakkan punggung dan menatap lurus ke depan lalu mulai bercerita, “Ya. Kamu benar. Chinatsu Oba-san itu yang pernah jenguk Kakak bersama sang suami yang menggandengnya dengan mesra. Mereka memang selalu terlihat seperti pasangan sempurna. Tidak tampak sama sekali tanda-tanda berpisah akan terjadi. Sampai saat itu tiba.
Suami Chinatsu Oba-san pulang tengah malam dalam keadaan mabuk. Ia masuk rumah dengan langkah sempoyongan. Oba-san yang sudah lama menunggunya pulang langsung menghampiri suaminya dengan ekspresi terkejut. Tidak pernah sekalipun suaminya itu mabuk, apalagi dalam agama kita mabuk itu dilarang. Kamu tahu kan, Chinatsu Oba-san menjadi muallaf setelah menikah dengan suaminya yang muslim?”