“Dasar lola’”
Astaghfirullahal ‘Adzim.. aku tadi barusan ngatai kak Yuki, ya? Mampus..
Tanpa melihat pun aku sudah tau kak Yuki sedang memelototiku. Bara api di matanya pasti sudah berkobar-kobar. Amarahnya menggelora karena teringat dengan julukan dirinya yang sudah melekat sejak dulu.
“Apa kamu bilang, dek? Lola’? Kakak gak salah dengar, kan?”
Aku melirik ke arahnya, menggeleng pelan. Sudah tak mungkin lagi untuk mengelak.
Nyeeet..
“AWW!!!”
Aku merintih kesakitan seraya mengelus cepat lenganku yang dicubit kak Yuki. Untung kami sudah masuk kompleks perumahan. Karena jarak rumah kami yang tidak jauh, aku bisa langsung pulang mengompres bekas cubitannya ini. Rasanya mau nangis.
“Kakak kenapa cubit Aan gak pakai sarung tangan? Kan gak boleh..”
“Kemeja Aan kan panjang. Jadinya bukan kulit kita yang bersentuhan.”
“Uuh.. sakit loh, kak. Cubitan Kakak masih pedas aja ternyata. Dasar tidak ber-perikemanusiaan,” rengekku sedih. Menahan air mata yang entah kenapa ingin keluar.
Aku kok masih cengeng aja jadi anak laki, ya?
“Enak aja pedas, emangnya sambalado. Ber-perikemanusiaan? Plis deh, dek. Kakak bukan pancasila,” timpalnya kesal.
Ia melipat kedua tangan di depan dada. Hal yang selalu dilakukannya kalau sedang menahan amarah. Tapi anehnya ia segera menurunkan lengannya, bertengger kalem di samping tubuhnya.
“Hahaha.. kenapa, kak? Dah kehabisan tenaga mau marah?”
Aku terkikik melihat ekspresi kerasnya yang melembut. Eh, tepatnya melemah. Dengan bahu yang terkulai.
“Enggak, kok. Kakak memang udah lemas sih sekarang. Tapi Kakak diam karena ucapan Aan memang gak salah. Loading kakak masih lama. Masih aja lola’. Harusnya sifat jelek ini dulu yang Kakak hilangkan sebelum berubah jadi wanita yang lebih dewasa, kan.”
Ia menunduk lesu bersamaan dengan helaan napas lelah yang keluar dari mulutnya. Keningku berkerut dalam, mencoba mencari kata-kata yang cocok untuk situasi sekarang.
“Siapa bilang orang dewasa gak boleh lola’? Gak setiap orang dewasa itu cepat tanggap, kak. Jangan terlalu dipikirkan. Kakak cukup jadi diri sendiri aja.”
Pas sekali. Ketika kalimatku itu berakhir, kami sampai di gerbang depan rumah megah milik Mr. Kobayashi, ayah kak Yuki. Gerbang besar itu selalu terlihat kokoh, kuat, dan berkilat.