“Ayo Ayah, Bunda, kak Aisyah dan kak Fatimah, dimakan semuanya, ya! Jangan sungkan-sungkan! Nanti Yuki marah loh, kalau sok segan,” seru kak Yuki kesenangan.
“Loh? Aan gak disebut nih?” tanyaku sedih. Menatap wajah mungil kak Yuki dengan ekspresi sakit hati.
“Aan mah gak disuruh pun udah mau sikat habis semua makanan, kan. Adek kan gak ada malunya,” balas kak Yuki santai tanpa menatapku balik.
Pupilku bergetar. Perkataannya tepat sasaran. “Jahat banget, sih.”
“Memang.”
Semua anggota keluargaku tertawa melihat pertengkaran kecil kami.
“Kalian berdua masih aja akrab, ya,” ujar Bunda lembut sambil tersenyum kecil. Ia hanya mengambil nasi, rendang, teri nasi dan terong sambal, lalu ikan gurami sambal hijau.
Hanya? Yah, itu masih sedikit untukku. Sebagai mahasiswa kedokteran, aku harus makan banyak. Perut kenyang, mikir jadi gampang.
“Iya. Senang lihatnya. Ternyata berpisah 10 tahun tanpa komunikasi gak merenggangkan hubungan kalian, ya.” Ayah balas menimpali ucapan Bunda.
Aku dan kak Yuki saling melempar pandangan, lalu mendengus geli berbarengan.
“Hubungan kami bukan sesuatu yang bisa dipatahkan hanya dengan tidak bicara selama 10 tahun, Ayah.” Aku menjawab lancar.
“Kami bukan orang sembarangan yang –”