Aku merebahkan tubuhku yang terasa sangat berat di sofa empuk ruang keluarga. Keluargaku menyebar di ruangan luas ini.
Ayah menghidupkan televisi berukuran besar, Bunda duduk bersama kak Yuki di sofa berlengan, sedangkan Kakak kembarku sudah sibuk mengutak-ngatik ponsel di sofa yang lainnya.
Setelah kami para lelaki sholat berjamaah di mesjid dan para wanita sholat di rumah, kami berkumpul lagi di rumah kak Yuki untuk melanjutkan temu haru dengannya.
Aku menatap kak Yuki. Ternyata rasa rinduku belum juga terobati. Jadinya aku fokus mendengarkan percakapannya dengan Bunda.
“Jadi gimana kabar Papa dan mamamu, Yuki?” tanya Bunda sambil menatap kak Yuki penuh sayang.
“Alhamdulillah Papa dan Mama sehat-sehat aja, Bun,” jawab kak Yuki sumringah. “Tapi belum bisa berkunjung kesini karena masih ada kerjaan disana. Maaf ya, Bun,” lanjutnya menyesal seraya menunduk.
Bunda mengelus-ngelus lembut kepala kak Yuki yang dilapisi jilbab abu-abu.
“Gak apa-apa,” sahut Bunda cepat. “Bukan Yuki yang salah, kok. Pasti nanti kalau ada waktu kesini lagi. Bunda dan Ayah kirim salam sama mereka berdua, ya. Udah lama gak jumpa. Kangen juga,” sambung Bunda sedih.
Kemudian mereka berdua lanjut mengobrol soal kehidupan kak Yuki selama 10 tahun belakangan. Juga alasan mengapa ia tidak pernah menghubungi keluarga kami. Tentu saja hanya dirinya. Karena kedua orang tuanya tetap menjaga komunikasi dengan kami.
Aku yang masih sibuk menyimak hanya mengangguk-angguk sendiri. Baru tahu alasan kak Yuki di balik semua ini. Masuk akal, sih.
“Terkadang Kakak merasa Bunda lebih sayang sama Yuki daripada sama anak perempuannya sendiri,” ujar kak Aisyah tiba-tiba. Kak Fatimah mengangguk sekali tanda setuju.
Aku langsung bangkit duduk dan menoleh ke arah mereka berdua. Ayah, Bunda, dan kak Yuki juga melakukan hal yang sama.
“Cerita Yuki selalu didengarkan dengan khidmat dan penuh pengertian,” ucap kak Aisyah lagi. “Lah kami? Tiap hari diomelin terus,” sambung kak Fatimah. Mereka sangat kompak untuk urusan beginian.
Tanpa diduga kak Yuki tertawa. Semua pasang mata yang ada di ruangan itu langsung menoleh padanya. “Hahahaha!! Plis deh, Kakak-kakakku yang cantik jelita, kalian hanya cemburu,” ucapnya kemudian.
“Kakak berdua pasti pengen dielus-elus juga kayak Yuki tadi, kan?” lanjut kak Yuki sambil tersenyum lebar, lalu berkata lagi, “Tapi gak berani bilang. Tepatnya malu.”