“One-san lagi apa sekarang? Gak mau jalan-jalan ke kampus Aan?” tanya suara riang di ujung sana.
Aku jadi ikutan tersenyum. Kekesalanku hilang entah kemana. Adikku itu kelihatan sangat bahagia sekarang. Yah, baguslah. Aku jadi tidak perlu khawatir jika kutinggal lagi nanti.
“Kakak lagi jalan-jalan kok, nih,” jawabku santai.
“Eh?! Dimana?? Kok gak bilang-bilang Aan? Biar Aan temani!”
Aku refleks tertawa keras mendengar respon tidak sabarannya. Aan malah kesal mendengar tawaku.
“Kakak lagi jalan-jalan di rumah aja loh, dek. Bukan kemana-mana,” jelasku masih dengan suara geli setelah ia selesai menggerutu.
“Oohhh..”
“Bulat.”
“Ck. Kakak gak jelas bilangnya tadi. Malah ketawa lagi,” ujarnya masih sedikit kesal. Kubalas ucapannya dengan nada tidak bersalah, “Yah, kan Kakak gak bohong. Emang betul lagi jalan-jalan di rumah, kok. Bernostalgia, dek.”
“Cieeee!! Bernostalgia! Hahaha!!”
Aku juga ikutan tertawa mendengar kalimatku barusan. Lucu juga. Kayak udah nenek-nenek aja bernostalgia dengan masa lalu. Hahaha..
Eh, tapi mengenang masa lalu gak hanya untuk para orang tua, kan?
“Gak papa kok, kak. Kan bernostalgia gak cuma untuk orang lansia,” sambung Aan geli.
Wow, Aan menjawab persis seperti yang kupikirkan.
“Berarti Kakak lagi jalan-jalan ke tempat-tempat kita biasa main dulu, ya?”
“Iya.”
“Udah ke rumah pohon, belum?”
“Belum. Ni masih mau ke⸺”
“Kalau gitu jangan pergi dulu! Perginya sama Aan nanti!” seru Aan semangat.
Sebelah alisku refleks terangkat. “Kenapa? Mau ikutan bernostalgia juga?”
“Iya, dong! Aan gak mau kalah sama Yuki One-san!” jawabnya cepat tanpa berpikir.
Aku terkekeh. “Memangnya Kakak mau ngapain sampai buat Aan jadi takut kalah? Dasar bocah,” ucapku dengan nada meledek.