“Kamu kenapa? Wajahmu merah banget, lho. Kecapekan lari kesini tadi?”
Bukan loh, kak!! Dia itu malu sama Aan!!
“Eh? E-enggak kok, kak,” jawab Sunny terbata-bata. Ia melirikku lagi. Kubalas lirikannya dengan tatapan maut, mewakiliku berkata: Tolong pergi. Aku mau berduaan aja sama kak Yuki.
Untungnya gadis itu peka. Ia mengangguk cepat lalu pamit pada kami, “Kak Yuki, kak Aan, Sunny pergi dulu, ya. Ada yang lupa dikerjain tadi.”
Senyumku mengembang. Menatap adik perempuan kesayangan kak Yuki itu penuh rasa terima kasih. Tapi sepertinya ungkapan rasa terima kasihku berlebihan, karena reaksinya tidak seperti yang kupikirkan.
Sunny malah gemetaran dengan wajah lebih memerah dari sebelumnya. Aku jadi menghela napas tanpa sadar.
“Ooh... Oke. Tapi kamu beneran gak papa, kan? Badanmu sampai gemetar, nih,” balas kak Yuki agak khawatir sambil memegang pundak Sunny.
Bukan loh, kak!! Dia itu namanya salting!!
“Be-beneran gak papa kok, kak. Kalau gitu Sunny balik dulu. Dadah,” ujarnya berlalu pergi setelah melambai sebentar.
Huufft... Untung gak jadi perkara panjang. Aku kembali menoleh pada kak Yuki yang masih terdiam di tempat. Ia kelihatan sedikit bingung.
“Kenapa, kak?”
Kak Yuki balik menatapku. “Lagi mikir aja. Kok kalian berdua kayaknya agak aneh gitu kalau di dekat Kakak sekarang,” ujarnya polos dengan dahi berkerut.
Tawaku hampir muncrat. Aku sengaja menutup mulutku dengan sebelah tangan agar suaraku terdengar lebih tenang.
“Hmm, itu perasaan Kakak aja, kali. Udah, ah. Jalan, yuk,” sahutku dengan bibir yang bergetar menahan senyum. Kak Yuki menurut, menyamakan langkah dan berjalan berdampingan denganku.
Rasanya ingin aku teriak, ‘Ya Allah, kak!! Namanya orang lagi jatuh cinta! Ya, wajar agak aneh! Kakak taunya apa, sih?’