Brak!
Kututup pintu kamar dengan setengah hati. Membuat kayu jati pilihan itu mengeluarkan suara agak keras.
“Aarrgghh!!”
Aku mengerang tertahan. Bisa-bisanya aku keceplosan soal perasaan Sunny padaku! Gimana ini!! Gimana nanti kalau kak Yuki malah semangat menjodoh-jodohkanku dengannya!!
Baka baka baka!![1]
Seketika aku tersentak. Kalau ingat reaksi kak Yuki tadi sepertinya tidak begitu.
“Kak Yuki, apa Kakak gak takut kalau Aan diambil orang?”
Gadis mungil itu menaikkan sebelah alis, bingung dengan pertanyaanku yang absurd. “Maksudnya?”
“Sunny itu suka sama Aan. Kakak gak bakal cemburu kalau Aan jadian sama dia?”
“Jadian kemana?”
“Jadian itu pacaran loh, kak.”
Kak Yuki terdiam. Menatapku penuh selidik. Aku menelan ludah. Sudah terlambat untuk mengelak. Jantungku berdetak lebih keras dan rasanya kepalaku agak pusing. Gak habis mengapa harus bawa nama Sunny tadi. Harusnya kubilang saja entah siapa, gitu.
“Pfftt!!”
Aku kaget melihat reaksi kak Yuki. Ia tertawa mengejek!
“Ba... Ka. Gak mungkin Sunny suka laki-laki kekanak-kanakan kayak kamu.”
Begitulah. Kak Yuki sangsi kalau Sunny bisa suka padaku. Padahal aku sudah berkata jujur. Yah, bagus juga, sih. Jadi tidak ada yang perlu kucemaskan.
Aku kencang berlari menuju ranjang lalu melompat ke atasnya. Dan..
BAAAMMM!!!
Terdengarlah suara seperti seekor sapi jatuh ke kali. Haha, bercanda. Tubuhku tidak seberat itu sampai harus membuat ranjang mewah ini bersuara seperti itu.
Aku mengguling-gulingkan badan yang cukup lelah di atas kasur empuk milik kamar pribadiku. Aahh... spring bed di rumah kak Yuki memang yang terbaik. Rasanya semua kegelisahanku hilang ditelan rasa kantuk.