“Mmm... Kak Yuki,” panggilku pelan pada kak Yuki di sampingku yang sedang duduk melihat layar ponselnya dengan wajah berseri-seri.
“Hm?”
Hatiku berdegup kencang dan tanganku berkeringat hebat saat kak Yuki memandang balik wajahku. Balkon rumah pohon di siang hari tidak bisa dibilang panas, malah terasa sangat sejuk karena dikelilingi pohon rindang. Tapi kenapa aku kepanasan?
“Kenapa?”
“Kakak... Pu-punya tipe khusus untuk suami idaman, gak?” ucapku sedikit terbata-bata. Wajah cerah kak Yuki berubah bingung.
“Kenapa tiba-tiba nanya itu?”
“Itu..”
“Ohh... Jadi gitu..” ucap Agus, Pane, dan Mr. Lebay berbarengan sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mengerti dengan kisah cintaku yang bertepuk sebelah tangan.
“Makanya kemarin setelah kalian menasehatiku, sadar bahwa kepulangan kak Yuki itu sebuah anugrah, ia merasa aneh karena aku tiba-tiba ceria lagi. Yah, selama ini aku memang gak banyak ngomong kalau di depan kalian dan yang lainnya, tapi kalau bersama kak Yuki sikapku berbeda 360°.”
“Widiihh!! Kau bisa so sweet juga rupanya, ya,” ucap Pane tertawa sambil menyikutku. Yah, emang dah dari dulu aku kayak gitu, kok.
“Yah. Demi kak Yuki apa yang enggak, sih,” jawabku pongah. Mereka tertawa.
“Okeh, jadi gini. Aku udah punya masukan yang bisa kamu praktekkan,” ujar Agus mulai serius.
“Aku juga,” sahut Mr. Lebay tak mau kalah. Maka hari itu, sebelum adzan Ashar berkumandang, jadilah kami menyusun rencana untuk menyadarkan kak Yuki akan perasaanku.
Plan 1: Tanya ciri-ciri suami idaman kak Yuki.
Ngomongnya sih, gampang. Tapi... untuk bilang alasannya aja aku harus mikir berkali-kali.