Ikaga desu-ka, one-san?

Cana Nurul Aini
Chapter #18

Day-2

Hari senin yang sibuk tiba kembali. Sejak kak Yuki disini, waktu berlalu cepat sekali. Dan sejak tahun keempat di FK (Fakultas Kedokteran) UI, aku disibukkan dengan kegiatan rumah sakit seperti pagi ini.

Karena seorang sarjana kedokteran harus dapat menyelesaikan pendidikan profesi atau yang biasa disebut Coass untuk mendapatkan gelar dokter (Dr.).

Aku berjanji pada diriku sendiri akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama kak Yuki setelah menyelesaikan pendidikanku ini. Tentu saja setelah menikah dengannya nanti.

Wah... Aku terlalu percaya diri, ya. Pede amat bakal diterima kak Yuki gitu aja.

“Dokter muda! Tolong bantu disini!” seru seseorang tak jauh dari tempatku berdiri.

Aku tersadar dari lamunan dan segera berjalan cepat menuju perawat senior yang meneriakiku barusan.

Astaghfirullahal ‘Adzim... Pagi-pagi kok udah ada kecelakaan aja, sih. Sayang nyawa dikit, dong.

“Tolong hentikan pendarahan pada luka di pahanya. Dia baru saja menjadi korban kecelakaan,” ujar sang perawat senior cepat sambil membidai betis kiri pasien yang mungkin patah.

Penggunaan bidai ditujukan untuk menyangga bagian yang patah yang kemudian dilakukan pertolongan oleh dokter.

Aku menekan luka korban sampai darahnya tidak keluar lagi. Pasien yang memakai seragam SMA ini terlihat pucat meskipun tetap bersikap tenang. Ia hanya meringis dan tidak merengek kesakitan sama sekali. Bagus. Memang begitulah harusnya seorang laki-laki sejati. Aku jadi sedikit merasa bersalah menganggap ia tak sayang nyawa tadi.

Akhirnya dokter asli datang dan tanggap melakukan pengobatan untuk luka korban. Aku masih berada di dalam ruangan untuk melihat operasi kecil-kecilan yang dilakukan sang dokter.

Rasanya sarapan pagi di perutku berputar-putar melihat luka pasien yang tadi kutekan sedang dijahit karena lukanya cukup lebar dan dalam. Darahnya juga berserakan dimana-mana.

Glek!

Aku memberanikan diri tetap membuka mata dan melayani dokter untuk kelancaran operasi. Kerja kami memang tidak main-main. Nyawa manusia menjadi taruhannya.

♥♥♥

Alhamdulillah... Akhirnya selesai juga. Aku merasa mual tapi tak mungkin memperlihatkannya pada orang lain, apalagi di depan pasien. Dalam kondisi apapun seorang dokter harus terlihat kuat.

“Dokter Farhan ngapain tadi senyam-senyum sendiri di koridor? Dapat sms cinta dari gebetan?” sapa seseorang yang suaranya tidak asing lagi di telingaku. Kami bersamaan keluar dari kamar mandi khusus staff.

Aku menoleh dan tersenyum pada perawat senior yang tadi memanggilku. Beliau memang serius saat bekerja, tapi di luar itu ia sangat baik dan suka menyapa.

“Gak kok, Bu. Tepatnya belum. Hehe,” kujawab gurauannya dengan gurauan juga.

Lihat selengkapnya