Maya duduk di tepi tempat tidur, menatap langit malam yang gelap. Angin lembut membelai wajahnya, membawa aroma melati yang membangkitkan kenangan malam-malam hangat di masa lalu. Sekarang, hanya ada kehampaan. Tangannya mengepal di pangkuan, berusaha meredam getaran halus yang datang dari hatinya. Sudah setahun sejak Andi pergi, tapi luka itu tetap menganga, seolah waktu berhenti di hari terakhir mereka bersama.
Di sudut kamar, Aria duduk terpaku di depan laptopnya. Cahaya biru dari layar memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan lelah di bawah matanya. Jari-jarinya hanya mengetuk papan ketik sesekali, tanpa tujuan. Maya memandangi putrinya, hatinya berat melihat Aria terjebak dalam duka. Mereka berdua seperti penari di atas tali rapuh, berusaha menjaga keseimbangan di antara bayang-bayang kenangan yang terus menghantui.
Kenangan Andi kembali berputar. Saat itu, ia berdiri di ambang pintu dengan kaus lusuh favoritnya, rambutnya sedikit berantakan seperti biasa. “Aku pulang sebelum malam,” janjinya dengan senyum yang membuat dunia terasa aman. Sekarang, kata-kata itu hanya bayangan samar, hilang di antara udara malam seperti asap yang ditiup angin.
Ponsel Maya bergetar pelan di meja. Lina, sahabatnya, mengirim pesan: “Bagaimana kabar Aria?”
Maya mengetik balasan singkat: “Baik.” Sebuah kebohongan kecil yang tak menyakitkan. Ia tidak ingin membebani Lina dengan kisah patah hatinya. Semua beban itu disimpannya sendiri, tersembunyi di balik dinding-dinding sunyi hatinya.
Saat Maya bangkit untuk membuat teh, langkah kakinya terasa berat, seolah setiap langkah menarik kenangan baru ke permukaan. Di belakangnya, suara Aria terdengar datar, hampir tanpa emosi.
“Bu, aku lapar.”
Maya menoleh. “Mau makan apa, sayang?” tanyanya, berusaha terdengar hangat, meski hatinya seperti terbakar.
“Terserah.”
Jawaban itu sederhana, tapi membawa luka yang dalam. Maya menatap putrinya, merasa kehilangan cara untuk menjangkaunya.
Di dapur, Maya mengambil telur dan mi instan. Makanan sederhana, sama seperti hidup mereka sekarang—praktis, tapi hambar. Saat memasak, pikirannya kembali ke Andi. Betapa ia selalu tertawa ketika mengaduk adonan telur. “Telur ini kayak aku: terlihat biasa, tapi penuh kejutan,” candanya. Sekarang, tak ada lagi tawa itu, hanya kesunyian yang menggema di sudut-sudut rumah.