Hari-hari di rumah Maya berulang seperti jarum jam tua—lambat dan membosankan, tapi pasti. Setiap pagi, sebelum fajar, ia bangun dengan tubuh yang berat. Ia terpaksa menjalani rutinitas, bukan karena keinginan. Di depan cermin, wajahnya memantulkan kelelahan yang membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Garis-garis halus di sekitar matanya seperti peta dari malam-malam tanpa tidur. Senyumnya hanya sekilas, lebih seperti isyarat otomatis daripada ungkapan kebahagiaan.
Di dapur, ia merebus air untuk teh dan duduk diam, menatap panci yang mendidih. Di luar, dunia masih gelap. Hanya bunyi ketukan ujung jarinya di meja yang memecah keheningan.
Aria masih terlelap, terbungkus selimut. Maya menyiapkan sarapan: telur ceplok dan roti panggang. Suara gemerincing panci dan penggorengan terdengar seperti musik pengiring hari-harinya yang selalu sama. Saat semuanya siap, Maya menyusup ke kamar Aria. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengusap lengan putrinya dengan lembut.
"Sayang, waktunya bangun," bisiknya.
Aria mengerang pelan, memeluk selimut lebih erat. "Aku nggak mau sekolah." Suaranya serak, seperti membawa beban yang tak terlihat.
Maya menghela napas, mencoba mengabaikan rasa lelah yang menggantung di pundaknya. "Kamu harus pergi. Sekolah itu penting, sayang."
Aria membuka mata setengah, mengerutkan kening, dan mengalihkan pandangan ke dinding. Ia duduk dengan malas di tepi ranjang, jari-jarinya menggenggam ujung selimut seperti tali penyelamat.
Maya tahu ini bukan sekadar malas. Aria terperangkap dalam sesuatu yang lebih dalam—rasa berat yang tidak bisa ia ungkapkan. Maya mendekat, merapatkan jaket lusuhnya dan menyentuh bahu Aria. "Kamu bisa, Sayang. Aku tahu kamu kuat."
Aria mendesah berat, tapi akhirnya bangun dan mulai bersiap untuk sekolah. Mereka berjalan ke sekolah dalam sunyi, hanya suara langkah kaki menemani. Di depan gerbang sekolah, Aria berhenti sejenak, menatap aspal yang basah oleh embun pagi.
"Aku baik-baik aja, kok," gumamnya, meski matanya berkabut oleh keraguan.
Maya menggenggam tangan Aria sejenak, memberikannya kekuatan. "Ingat, kamu nggak sendirian, sayang."
Ketika Aria melangkah masuk, Maya berbalik dan berjalan menuju toko kelontong tempatnya bekerja. Di sana, segalanya terasa seperti mesin otomatis—menyusun barang, melayani pelanggan. Maya menyadari, entah kapan terakhir kali ia tersenyum tulus. Setiap senyuman yang ia berikan terasa seperti topeng.
Saat seorang ibu datang bersama anak kecil yang berlari-lari, kenangan masa lalu menyeruak. Ia teringat saat Aria masih balita—waktu itu tawa anaknya memenuhi rumah. Dulu semuanya terasa lebih ringan, lebih mudah.
Setiap sore, Maya menunggu Aria pulang. Namun, ketika Aria tiba, wajahnya selalu terlihat murung, seperti hari-harinya di sekolah hanya menambah beban. Di meja makan, Maya mencoba membuka percakapan, tapi kata-kata terasa berat.