Maya membuka pintu kamar Aria. Kegelapan menyelimuti ruangan, hanya cahaya ponsel yang berkelip di sela-sela buku yang berantakan. Udara di kamar itu pengap, sedikit aroma cat bercampur dengan debu membuat Maya mengernyit. Di sudut ranjang, Aria terbaring miring, wajahnya tersembunyi di balik lengan.
“Aria...” panggil Maya lembut, namun hatinya bergetar. “Ayo belajar, sayang.”
Gadis itu bergeming. “Nggak mau,” jawab Aria pelan, tapi dingin.
Maya menggigit bibir, mencoba menahan desakan amarah dan sedih sekaligus. “Kenapa kamu jadi seperti ini? Pendidikan itu penting.”
Aria mendesah panjang dan berbalik, menatap ibunya dengan mata lelah dan penuh kebencian. “Karena kamu cuma mau aku jadi dokter. Seolah-olah itu satu-satunya jalan yang ada.”
Kata-kata itu menghantam Maya tepat di dada. Ia terdiam, merasakan kepedihan yang tak terlukiskan. “Ibu cuma ingin kamu punya masa depan yang baik, Aria...”
“Masa depan yang kamu pilih, bukan aku!” bentak Aria, matanya berkilat. Tangannya terkepal di samping tubuh. “Hidup ini bukan milik Ibu!”
Maya menundukkan kepala sejenak, berusaha menenangkan diri. “Apa yang kamu mau, Aria? Katakan. Ibu hanya ingin kamu bahagia.”
Aria mengalihkan pandangan ke tembok, tubuhnya tenggelam lagi ke bantal. Maya menatapnya, merasakan jarak yang semakin lebar di antara mereka. Ia menghela napas dalam dan keluar dari kamar, menutup pintu perlahan. Tangis yang menggantung di sudut matanya segera diusap saat ia melangkah menuju dapur.
Di sana, ia mencuci piring dengan gerakan mekanis. Air keran mengalir deras, seakan bisa mengalirkan segala beban di dadanya. Ia menatap foto keluarga yang terpajang di kulkas—Andi, suaminya, memeluk Aria kecil dengan wajah bahagia. Kini, foto itu seperti sisa kenangan dari kehidupan lain yang terasa asing.
Maya mengaduk saus di panci, mencoba mengembalikan ketenangan. “Sayang, makan malam sudah siap,” panggilnya lembut.
Langkah Aria terdengar di belakang, disertai desisan dingin. “Aku nggak lapar.”
Maya menoleh dan berusaha tersenyum. “Kita makan bareng, ya? Seperti dulu.”
“Seperti dulu, waktu Ayah masih ada?” Aria menyeringai sinis. “Ibu tahu kan, semua itu sudah hilang?”