Maya berdiri di balik meja kasir, matanya mengikuti arus pelanggan yang datang dan pergi. Tangan kanannya sibuk memindai barang-barang—sayuran, roti, dan beberapa botol saus—sementara pikirannya jauh dari keramaian toko.
“Dua puluh tiga ribu sembilan ratus rupiah,” katanya datar. Seorang pria tua menyerahkan uang recehan yang berderak di atas meja. Maya memasukkan koin itu ke dalam laci kasir dan memberikan kembalian tanpa sepatah kata. Pikirannya kembali pada Aria—putrinya yang baru menginjak usia enam belas tahun, tapi entah mengapa sudah terasa seperti orang asing di rumah.
Dari sudut matanya, ia melihat sekelompok remaja masuk ke toko. Mereka berbicara keras, melempar tawa yang kasar. Salah satu dari mereka mengambil sekantong keripik dan melemparkannya ke temannya yang lain.
“Jangan berisik di sini,” tegurnya, suaranya tak lebih dari bisikan. Para remaja itu hanya menoleh sekilas, lalu kembali bercanda seolah tidak mendengarnya. Suara derak plastik memenuhi ruangan ketika mereka mulai membuka bungkus camilan tanpa berniat membayar.
Maya menghela napas, tangannya mengepal di samping tubuhnya. Matanya melirik ke arah pintu belakang, tempat Pak Hasan—pemilik toko—seharusnya berada. Tapi ruangan itu gelap. Ia sendirian.
Ia berjalan keluar dari balik meja kasir, langkahnya kecil dan teratur. “Kalau mau makan, bayar dulu,” katanya tegas, berdiri hanya beberapa langkah dari mereka.
Seorang pemuda dengan rambut acak-acakan menoleh. “Kita cuma lihat-lihat, Bu. Santai aja.” Bibirnya menyeringai. Tangan kurusnya meremas bungkus keripik yang terbuka setengah.
“Lihat-lihat nggak sambil makan,” kata Maya. Nadanya tetap datar, tapi matanya mengawasi tiap gerakan mereka. Ia tahu anak-anak seperti ini. Mereka mungkin tidak lebih tua dari Aria, tapi ketegangan yang menguar dari tubuh mereka terasa jauh lebih dewasa.
“Eh, sombong amat,” gerutu pemuda lain yang berdiri di dekat rak permen. Tawa pendek terdengar di antara mereka. Maya bisa merasakan bulu kuduknya berdiri. Tangannya bergerak tanpa sadar, menyentuh saku di celemeknya, mencari sesuatu—apa saja yang bisa digunakan untuk melindungi dirinya jika perlu.
Lalu pintu toko terbuka. Seseorang masuk—Aria. Maya terdiam, perutnya serasa dipelintir. Aria berdiri di ambang pintu, ranselnya menggantung longgar di bahunya, wajahnya kosong. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti di kerumunan pemuda-pemuda itu.