Setelah bekerja seharian di toko, Maya melangkah masuk ke gedung tinju. Lampu-lampu terang menggantung di atas, memantulkan cahaya di atas ring yang berdiri kokoh di tengah. Sorak-sorai penonton menggema, menembus dinding beton yang dingin. Udara di dalam ruangan itu terasa padat, campuran keringat dan semangat menggulung di sekelilingnya. Setiap langkahnya menuju ring terasa berat, seolah ada sesuatu yang menariknya ke bawah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi energi yang membara.
Ia mencari tempat duduk. Di barisan depan, ada kursi kosong. Jaraknya dari ring hanya beberapa meter. Detak jantungnya berpacu lebih cepat, seirama dengan pukulan-pukulan yang menghantam gendang tinju. Petinju wanita di sudut ring memukul gendang itu dengan intensitas yang konstan—bam, bam, bam—setiap hentakan seakan meresap ke dalam tulang Maya.
Pertandingan dimulai. Dua wanita naik ke atas ring. Sarung tinju mereka berwarna cerah, wajah-wajah mereka keras seperti baja. Maya menahan napas saat bel berbunyi. Pukulan pertama melayang, menghantam lawan dengan kekuatan yang terlihat jelas dari getaran tali ring. Maya merasa gemetar, meski duduk jauh dari ring.
Di sekelilingnya, sorakan membahana. "Ayo! Ayo!" teriak seorang pria paruh baya di belakangnya. Maya tidak menoleh. Matanya terpaku pada setiap gerakan di ring—setiap pukulan, setiap elakan. Tangannya menggenggam kursi di depannya, merasakan ketegangan di setiap serangan yang dilancarkan.
Seorang petinju dengan rambut terikat rapat mulai menyerang. Pukulannya cepat, brutal. Setiap kali sarung tinjunya menghantam tubuh lawannya, Maya bisa merasakan getaran di dadanya. Satu pukulan, lalu satu lagi. Lawannya terdorong ke belakang, tapi masih berdiri. Maya merasa seperti bagian dari pertarungan itu, setiap pukulan terasa dekat.
Di dalam dirinya, sesuatu mulai menyala. Maya membayangkan Aria di sana, di atas ring. Kakinya menjejak lantai keras, tangannya bersarung, wajahnya serius. Ia ingin Aria merasakan ini—rasa kebersamaan, rasa keberanian yang membara.
Salah satu petinju terjatuh, tubuhnya menghantam kanvas dengan suara keras. Penonton menjerit, tetapi Maya tetap diam. Matanya tetap fokus, menunggu momen berikutnya. Wanita itu bangkit. Tubuhnya bergetar, tetapi sarung tinjunya terangkat tinggi. Ia melangkah maju, napasnya berat, seolah menantang dunia. Maya merasakan semangatnya bangkit. Hangat menyebar dalam dirinya. Detak jantungnya mendorongnya maju, setiap luka menyimpan kekuatan baru.
Pertandingan berakhir. Satu petinju mengangkat tangannya. Sorak-sorai menggema. Penonton meloncat, tetapi Maya duduk di sudut, matanya terpaku pada ring. Senyum kecil muncul di bibirnya. Ia melihat lebih dari sekadar kemenangan. Setiap pukulan dan setiap jatuh berbicara tentang perjuangan. Kemenangan sejati terletak di dalam usaha.