Maya berdiri di ambang pintu kamar Aria, mengetuk pelan. "Aria, bangun. Sudah pagi."
Di balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, Aria mendengar suara ibunya, tapi tubuhnya menolak bergerak. Tulang-tulangnya terasa seperti digerus. Setiap otot di tubuhnya nyeri, seperti diperas habis-habisan. Sparring kemarin membuatnya terkapar, dan pagi ini seolah semuanya menghantam balik. Kenapa baru dua kali latihan langsung sparring? pikirnya sambil menggerutu. Meskipun di balik keluhan itu, ada rasa senang yang sulit ia tolak.
"Aria," panggil Maya lagi, sedikit lebih tegas kali ini.
Aria membuka matanya perlahan, tapi kepalanya tetap tenggelam di bantal. Pikirannya masih melayang-layang, kembali ke momen ketika tinjunya akhirnya mendarat tepat di dada Luki. Rasanya seolah ada beban yang terangkat dari pundaknya. Setiap tinju yang dilayangkan adalah luapan dari segala sesuatu yang tak bisa diungkapkannya—semua kemarahan, kekecewaan, dan rasa frustrasi yang terpendam.
Namun kini, yang tersisa hanyalah nyeri menyengat di setiap sendi dan ototnya. Ia ingin tetap di kasur. Tidak ada dorongan untuk beranjak, meskipun ia tahu, sekolah menunggu.
Maya, dengan langkah lembut namun pasti, mendekat. "Ayo, kamu harus bangun. Kita tidak bisa terlambat lagi."
Aria berguling, memaksakan diri untuk duduk. Kakinya terasa berat saat menjejak lantai dingin, dan ia mengernyitkan wajah ketika mencoba meregangkan punggung. Otot-ototnya seperti mengencang, mengingatkan pada setiap pukulan yang ia terima kemarin. Namun meski tubuhnya terasa remuk, ada sedikit kepuasan yang tak ia pahami. Pukulan demi pukulan, gumamnya dalam hati.
“Aku nggak apa-apa, cuma pegal,” katanya sambil menatap Maya.
Maya memperhatikan dengan cermat. "Itu wajar. Tapi kamu tetap harus sekolah."
Aria mengangguk, meskipun di hatinya ada kekesalan yang kembali muncul. Kenapa tinju ini harus membuat semuanya lebih rumit?
Sambil mengenakan seragam sekolah, Aria menahan desahan. Setiap gerakan terasa seperti siksaan kecil. Lengan yang kemarin dengan berani meninju kini hampir tak bisa diangkat tanpa rasa nyeri. Tapi di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebanggaan yang tak bisa ia tolak—perasaan telah melangkah keluar dari zona nyaman, bertemu sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Di dapur, sarapan sudah tersaji di meja, tapi Aria hanya memandanginya. Nafsu makannya lenyap, digantikan oleh perasaan was-was. Hari ini ia harus kembali bertemu Fajar di sekolah. Setelah insiden kemarin, ia tahu Fajar tidak akan tinggal diam. Pertemuan mereka belum berakhir. Aria bisa merasakan ketegangan di udara.
"Kamu nggak makan?" tanya Maya dari balik punggungnya.
Aria menggeleng, menundukkan kepala, berpura-pura sibuk mengikat tali sepatunya. "Nggak lapar," jawabnya singkat.
Maya memandang Aria beberapa detik lebih lama, tetapi tidak memaksa. Ia tahu putrinya lebih dari yang terlihat. Ada sesuatu di balik ekspresi dingin dan sikap diam Aria pagi ini.
Di luar, angin pagi menerpa wajah Aria. Langkahnya terasa berat dan tubuhnya dipenuhi rasa sakit. Tekanan di dadanya semakin menguat. Ia sadar setiap hari adalah perjuangan, baik di ring tinju maupun di sekolah.
Di gerbang, ia berhenti sejenak, menatap bangunan sekolah yang dingin dan tak ramah. Maya meremas lembut bahunya, seolah-olah memberi kekuatan tanpa kata-kata. "Kamu bisa menghadapinya," kata Maya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Aria menghela napas panjang. Ya, aku bisa menghadapinya. Tetapi, pertarungan yang sebenarnya bukan hanya di atas ring.
***
Aria melangkah masuk ke halaman sekolah dengan langkah berat. Punggungnya masih terasa kaku akibat sparring kemarin. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi udara pagi sudah mulai terasa hangat di kulitnya. Sekolah tampak tenang dari luar, tapi ia tahu ada sesuatu yang menunggunya di dalam. Fajar. Namanya saja sudah membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
Aria melangkah melalui lorong panjang, suara sepatunya menggema. Di ujung, sekelompok anak laki-laki berkumpul, dan di tengah mereka, Fajar berdiri dengan tangan disilang, tatapan tajam menanti kedatangannya.
Aria menarik napas panjang. Ini bukan tentang keberanian atau ketakutan, ini soal bertahan. Dia tidak boleh tahu aku takut.
Fajar melangkah maju, meninggalkan kelompoknya, dan berdiri di depan Aria dengan senyum sinis. Matanya menyipit, mengisyaratkan ancaman yang tak terucap.
“Kamu datang juga, Aria,” katanya, suaranya rendah, seperti ular mendesis. Anak-anak lain mulai tertawa kecil di belakangnya.
Aria berhenti, tubuhnya tegang. "Kenapa tidak?" jawabnya, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan. Fajar tetap diam, tetapi senyum itu tidak hilang. Dia berjalan memutari Aria, seperti singa mengelilingi mangsanya.
“Kemarin kamu berani juga, ya? Tapi, apa kamu bisa mempertahankannya?” Fajar berkata, sambil menepuk bahu Aria dengan cara yang hampir ramah, tapi pukulannya terasa berat. Sentuhan itu membuat tubuh Aria tegang, tangannya mengepal tanpa disadari.
Fajar melangkah lebih dekat, nyaris menyudutkannya ke dinding. Napasnya terasa di telinga Aria. "Kamu pikir kamu bisa lepas dari aku hanya karena kamu bisa meninju?"