Maya berdiri di belakang meja kasir, matanya terfokus pada rak-rak yang rapi. Jam menunjukkan lewat waktu pulang sekolah, tetapi Aria belum muncul. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar, firasat buruk yang tak kunjung pergi.
Pintu toko berderit, menarik perhatian Maya. Seorang pria tinggi berhoodie hitam melangkah masuk, langkahnya berat. Maya berusaha tersenyum, tangannya sibuk merapikan barang-barang di meja kasir. Namun, matanya terus mengikuti pria tersebut yang melangkah lambat di antara rak-rak. Jari-jarinya menyentuh setiap barang dengan lambat, seolah mengingat sesuatu yang hilang. Suasana di dalam toko terasa menekan, dan Maya merasakan dingin di punggungnya, seolah bayangan tak terlihat mengintai di sudut ruangan.
“Bisa saya bantu?” suaranya bergetar.
“Mana toiletnya?” Pria itu berbicara dalam nada rendah, serak, menciptakan kesan ancaman.
Maya menunjuk tanpa menjawab, merasa ada yang tidak beres. Pria itu menghilang ke lorong belakang, dan detak jantung Maya berdenyut semakin cepat.
Suara tawa yang familiar terdengar dari luar. Fajar dan gengnya muncul, bayangan gelap yang membawa masalah. Mereka berhenti di depan toko, melirik dengan senyum meremehkan. Maya merasakan getaran di hatinya—kedatangan mereka bukan pertanda baik.
Pria hoodie itu muncul kembali, menatap Fajar dan kawan-kawannya. Ia berhenti di depan meja kasir, matanya tajam. “Mereka sering nongkrong di sini?” tanyanya, tenang namun penuh ketegangan.
“Kadang-kadang. Anak-anak biasa,” jawab Maya, suaranya bergetar.
Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyum itu menyerupai bayangan gelap. “Anak-anak seperti itu biasanya bawa masalah.”
Belum sempat Maya menjawab, pintu terbuka lagi. Fajar, pemimpin kelompok itu, melangkah masuk dengan aura percaya diri, diikuti teman-temannya yang bersorak. Mereka tampak tidak peduli pada kehadiran pria misterius itu, terlalu sibuk meremehkan segalanya.
“Apa kabar, Bu?” Fajar menyeringai, nada suaranya tajam. “Ada apa dengan toko kecil ini?”
Maya memandangnya, merasa dingin merayap di tengkuk. “Ada yang bisa saya bantu?”
Fajar melirik pria itu, kembali tersenyum. “Mungkin kami butuh barang baru. Tergantung.”
Teman-temannya mulai merusak barang di rak. Suara botol jatuh menggelegar, pecahan menari di lantai. Maya tercekat, tetapi sebelum bisa bergerak, pria itu melangkah maju, menutupi Maya dengan tubuhnya.
“Berhenti,” katanya, suaranya rendah tetapi penuh kekuatan.
Fajar tertawa sinis, tak terkesan. “Dan kalau kami tidak berhenti?”