Maya duduk di meja dapur, memandangi Aria yang sedang tenggelam dalam dunia kecilnya di ruang tamu. Di hadapan putrinya terbentang selembar kertas penuh coretan pensil. Garis-garisnya tajam, penuh detail. Ia tahu betul, Aria suka menggambar sejak kecil. Setiap kali tangannya bergerak di atas kertas, seolah dunia di sekitarnya tak ada. Tapi kali ini, Maya merasakan sesuatu yang berbeda.
Aria bukan sekadar menggambar. Maya melihat gerakan tangannya lebih cepat, lebih agresif, seperti sesuatu yang mendesak keluar dari dirinya. Maya melangkah pelan mendekati meja, memperhatikan dari belakang. Mata Aria terfokus penuh, jarinya menekan kuat pensil ke kertas. Itu bukan sekadar gambar bunga atau pemandangan seperti biasa. Kali ini, ia menggambar seorang petinju. Tubuh berotot, sarung tinju mengayun, siap menghantam lawan.
Maya tertegun. Sejenak, hatinya berdebar. Ia mengingat perasaan itu. Berlatih di ring, sensasi adrenalin saat sarung tangan membentur samsak, rasa hangat saat tubuhnya bergerak bebas, kuat. Semua itu dulu adalah impian, sebuah harapan yang ia pegang erat sebelum Andi datang ke hidupnya.
Andi selalu mendukungnya. Mereka sering berbagi tawa setelah latihan bersama. Tapi setelah menikah, tinju menjadi hanya bagian dari cerita lama. Perlahan berubah menjadi hobi yang hanya dilakukan di sela-sela waktu, hingga akhirnya hilang sama sekali setelah Aria lahir.
Namun, ketika Maya melihat Aria beberapa hari lalu di ring, tubuh putrinya yang masih canggung namun penuh semangat, ia merasa ada yang terbangun di dalam dirinya. Seperti ada mimpi yang lama terkubur, kini menggeliat ingin bangkit.
Aria berhenti menggambar sejenak, meletakkan pensil, dan menyandarkan tubuhnya. Napasnya pelan, tapi tampak jelas ia kelelahan, bukan karena menggambar, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam.
“Gambarmu bagus,” kata Maya akhirnya, suaranya lembut tapi tegang.
Aria menoleh, matanya penuh kebingungan. “Terima kasih, Bu.”
Maya duduk di kursi seberang meja, menatap gambar itu lagi. Tinju. Bukan sekadar gambar biasa. Ada tenaga di sana, semangat yang sama dengan yang ia lihat di ring. “Kamu suka latihan tinju?” tanyanya, meski ia tahu jawabannya.
Aria mengangkat bahu, menghindari tatapan ibunya. “Aku... ya. Cuma latihan aja, Bu. Bukan hal besar.”