IKATAN PEJUANG

NUR C
Chapter #10

10. Dari Keributan Menuju Kesadaran

Aria melangkah menuju gerbang sekolah, langkahnya cepat namun ringan. Matahari pagi terasa hangat, tapi ada sesuatu di udara yang membuat tengkuknya merinding. Di depan gerbang, Fajar sudah menunggu. Senyumnya sinis, tubuhnya santai, tapi mata itu... selalu siap mencari masalah.

Aria berusaha melewatinya, menundukkan kepala, berharap Fajar tak menyadarinya.

“Eh, petinju cilik!” suara Fajar memecah kesunyian, langkahnya segera menghalangi Aria. “Mau ke sekolah atau latihan tinju?”

Aria berhenti sejenak, matanya lurus ke depan, tak ingin menanggapi. Napasnya mulai terasa berat, tapi ia tetap diam. Tangannya menggenggam tali tas lebih erat. Ia berusaha melangkah lagi, namun Fajar cepat. Ia memblokade jalan, senyum licik terukir di wajahnya.

“Kamu takut? Tinju cuma buat di ring ya, nggak buat di sini?” Fajar menyeringai, melangkah lebih dekat.

Satu dorongan kuat menghantam bahu Aria. Tubuhnya terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan, tapi ia berhasil tetap berdiri. Matanya menatap tajam ke Fajar, rahangnya mengeras. Jantungnya berdetak kencang, seluruh tubuhnya tegang, siap bertindak.

Fajar tertawa. Suaranya tajam, memotong udara seperti pisau. “Apa? Mau mukul pake tangan kecilmu itu?”

Kemarahan menyala di dalam dada Aria. ia tak ingin ini, tapi tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya. Tas di bahunya melayang, menghantam Fajar tepat di pundaknya. Dentuman suara itu membuat Fajar tersentak mundur, wajahnya berubah, terkejut.

“Gila kamu!” Fajar melotot, kedua tangannya terangkat seolah siap menyerang balik. Ia maju, dengan satu dorongan yang kuat, Aria terhuyung ke belakang. Dunia di sekelilingnya bergetar, rasa sakit menyusup lututnya yang jatuh ke tanah berkerikil. Di antara teriakan teman-teman, hanya suara detakan jantungnya yang menggema di telinganya.

“Cukup!” Suara keras itu membuat semua terdiam.

Aria mendongak. Di depan mereka, Pak Danu, guru olahraga, berdiri dengan tangan bersilang, wajahnya memerah karena marah. Mata tajamnya berpindah dari Fajar ke Aria.

“Kantor. Sekarang.” Ucapannya singkat, seperti cambuk yang tak bisa dielakkan.

Fajar menunduk, mulutnya terkunci rapat, tidak ada lagi senyum sinis. Aria berdiri, membersihkan lututnya dari kerikil. Tak ada kata keluar dari mulutnya. Mereka berjalan menuju gedung sekolah, langkah mereka berat, diam. 

***

Pak Danu menatap mereka tajam dari balik mejanya. Ruangan itu terasa tegang, tanpa kata-kata. Aria dan Fajar berdiri di sana, kepala menunduk. Tak ada yang berani membuka suara, hanya deru napas mereka yang terdengar.

“Ambil sapu,” perintah Pak Danu, suara datarnya seperti hantaman palu.

Aria meraih sapu dari pojok ruangan, menghela napas dalam. Fajar bergerak lamban di belakangnya, dengan tangan diselipkan di saku. Pak Danu mengawasi setiap gerakan mereka. "Bersihkan lapangan. Saya tak ingin melihat satu daun pun tersisa."

Tanpa sepatah kata, mereka berjalan menuju lapangan. Dedaunan kering berserakan di mana-mana, angin sesekali menggerakkannya seperti sengaja mengejek mereka. Aria mulai menyapu dengan gerakan cepat, sementara Fajar bergerak lambat, sapunya menyentuh tanah dengan asal-asalan.

Aria berdiri di tengah lapangan, sapu di tangan. Peluh menetes dari dagunya, membasahi seragam yang lengket di tubuhnya. Ia menunduk, menyapu dedaunan kering yang terbang, sementara sinar matahari menghantam punggungnya. Fajar di sisi lain masih malas-malasan, seperti menunggu waktu berlalu.

Setelah beberapa saat, Aria mendongak, menatap Fajar dari seberang lapangan. "Kenapa sih kamu selalu cari masalah? Aku yang kena juga, tahu!" suaranya rendah, tapi penuh gerutu.

Lihat selengkapnya