Aria melangkah keluar dari gerbang sekolah dengan tas yang menggantung longgar di punggungnya. Matahari siang terasa membakar kulit, membuatnya menyipitkan mata. Di ujung jalan, toko tempat ibunya bekerja menunggunya. Ia ingin segera sampai ke sana, lalu pulang dan menghindari hari yang melelahkan.
Namun, langkahnya terhenti ketika suara familiar memanggil dari belakang. "Aria!"
Ia menoleh, dan tepat di depan matanya, Fajar berlari dengan langkah cepat, sedikit terengah-engah. Rambutnya yang acak-acakan dan senyum liciknya membuat Aria merasa waspada seketika.
"Kamu mau ke toko, kan? Ayo, aku anter," kata Fajar, menepuk bahu Aria tanpa menunggu jawaban.
Aria mengernyitkan dahi, tidak suka dengan caranya yang sok akrab. “Kamu punya SIM?” tanyanya dingin, tangannya sudah siap menolak tawaran Fajar.
“Ah, kamu gitu amat sih?” Fajar tertawa kecil, memperlihatkan deretan giginya. "Aku kan udah gede, nyetir dikit doang nggak bakal ketahuan.”
Aria memutar bola matanya, tapi Fajar terus menjejali alasan, mengoceh soal bagaimana ia "udah pengalaman", "jalan dekat doang", sampai akhirnya Aria kehabisan tenaga untuk berdebat. Ia menyerah dengan mendengus pelan dan mengikuti Fajar menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan.
Sepanjang perjalanan, Aria duduk diam, jari-jarinya menggenggam erat pinggiran jok motor, merasa tidak nyaman. Kecepatan motor Fajar membuat rambutnya terbang liar, dan sekali-kali Fajar melirik ke arah spion, senyum tipis yang entah kenapa membuat Aria semakin merasa waspada. Ada sesuatu yang tidak beres dengan caranya bertindak hari ini.
Begitu sampai di depan toko, Aria turun cepat dari motor dan mengucapkan terima kasih. Fajar turun dengan santai, memasukkan kunci motor ke dalam saku dan berjalan di sebelah Aria menuju pintu masuk.
Namun, belum sempat mereka masuk, dua sosok muncul dari belakang rak parkir. Budi dan Dito, dua teman dekat Fajar, menyeringai lebar saat mereka mendekati pasangan itu.
“Wih, jadi kamu beneran baikan, Jar?” Budi menepuk pundak Fajar, seolah sudah lama menunggu momen ini.
Aria merasakan darahnya berdesir. Sikap mereka membuat perutnya tegang. “Apa yang kau mau?” tanyanya, nadanya dingin.
Dito mendekat, tertawa kecil sambil melirik Aria. “Santai aja. Kita cuma bercanda.”
Fajar tiba-tiba melangkah maju, berdiri di antara Aria dan kedua temannya. Tatapannya berubah tajam, tak ada lagi senyum licik di wajahnya. Aria tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi sesuatu tentang caranya berdiri sekarang membuatnya semakin gelisah.
“Denger ya,” suara Fajar pelan, penuh ancaman. “Aku udah bilang ke kalian, di dunia ini cuma aku yang bisa ngebully Aria. Kalian nggak ada hak buat ganggu dia.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aria. Ia membeku, menatap punggung Fajar yang kokoh di depannya. Apa yang baru saja ia dengar? Fajar… melindunginya?
Budi dan Dito saling berpandangan, tertawa kecil tak percaya. “Kamu serius, Jar? Kamu ngebelain dia sekarang?”
Fajar mendengus, suaranya lebih rendah. “Ini bukan soal ngebelain. Ini soal siapa yang punya hak buat ngusik. Kamu dengar aku gak?”
Budi melangkah maju, matanya menyipit. “Kamu udah berubah, Jar?”
Sebelum Budi bisa berkata lebih banyak, Fajar tiba-tiba melangkah cepat ke depan dan mendorongnya keras. Budi terdorong mundur, hampir terjatuh, wajahnya berubah terkejut dan merah karena malu. Dito, yang berdiri di sebelahnya, terlihat bingung, tidak menyangka Fajar akan bertindak secepat itu.
Aria menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Situasi ini berubah terlalu cepat, dan ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
“Kamu mau masalah?” Fajar menantang dengan suara rendah, tangan terkepal. “Ayo, sini kalo mau coba.”