Pagi itu, Aria meringis saat bangun dari tempat tidur. Otot-ototnya terasa seperti dililit kawat berduri. Pukulan dari Riko masih membekas, setiap gerakan mengingatkannya pada latihan kemarin. Tapi ia harus ke sekolah.
Maya sudah menunggu di depan rumah dengan mobil menyala, siap mengantar. "Kamu baik-baik saja?" tanya Maya, mengerutkan alis.
Aria mengangguk, walau rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh. "Cuma pegal, Bu," jawabnya singkat. Ia tahu Ibunya tidak akan puas dengan jawaban itu, tapi mereka tak punya waktu.
Begitu tiba di depan gerbang sekolah, Aria turun perlahan, menahan napas saat kakinya menyentuh tanah. Di parkiran, Fajar duduk di atas motornya, bersama Budi dan Dito, senyumannya lebar seperti biasa. Anak itu tampak santai, seolah masalah tidak pernah menghampirinya.
“Aria!” teriak Fajar, melambaikan tangan.
Degup jantungnya tiba-tiba berlipat ganda. Walaupun Fajar kelihatannya sudah berubah sejak insiden terakhir, naluri Aria tetap waspada. Anak sebandel dia? Mana mungkin berubah total.
Fajar terus memanggil, kali ini dengan cengiran lebar. Dengan ragu, Aria mendekat, menjaga jarak aman. Budi dan Dito langsung bercanda, mereka berbicara cepat dan tertawa keras, mengajak Aria ikut ke kelas.
“Ayo, berangkat bareng!” ujar Fajar, tak menunggu jawaban dan langsung melangkah ke depan.
Aria mengikutinya di belakang, matanya tetap mengawasi gerak-gerik Fajar. Di dalam kelas, segalanya tampak biasa sampai pelajaran bahasa Inggris dimulai. Pak Johan, guru mereka yang terkenal kaku, mulai menjelaskan tentang grammar.
Fajar mulai menggoda Aria. Awalnya hanya bisik-bisik kecil, tapi lama-lama ia mulai melontarkan komentar lucu setiap kali Pak Johan bertanya.
“Aria, kamu pasti tahu jawabannya, kan? Soal passive voice, misalnya. Kan kamu... passive banget,” katanya sambil menahan tawa. Budi dan Dito ikut tertawa, sementara Aria hanya mengerutkan dahi, berusaha fokus pada pelajaran.
Namun, Fajar tidak berhenti. Tangannya mendorong buku Aria hingga jatuh dari meja. Aria menahan diri, mengambil bukunya tanpa berkata apa-apa. Tapi Fajar terus saja. Ia menulis sesuatu di kertas, melipatnya, lalu melemparkannya ke arah Aria. Kertas itu jatuh tepat di depannya.
Aria membuka lipatan itu.
"Kamu lagi ngimpi ya? Belajar terus. Hidup kan nggak cuma buat sekolah. Hehe."
Aria mendengus. Sudah cukup. Ia melirik ke arah Pak Johan, yang sedang membelakangi mereka, menulis di papan tulis. Aria memungut buku catatannya, menunggu saat yang tepat. Saat Fajar menunduk, Aria dengan cepat mencoretkan sesuatu di buku catatan Fajar dengan spidol merah tebal.
Fajar melihat itu, matanya membelalak.
“Aria!” bisiknya, nyaris tertawa, tapi juga kaget. Namun, sebelum ia bisa merespons lebih jauh, Pak Johan berbalik dan langsung melihat mereka.
“Kalian berdua, berdiri di depan kelas sekarang!” Suaranya tegas, wajahnya merah.
Fajar masih mencoba menahan tawa, sementara Aria mengangkat bahunya, pasrah. Mereka berjalan ke depan kelas, berdiri berdampingan.
“Baiklah, kalau kalian berdua sangat suka bercanda, silakan buat pertunjukan stand-up di sini, sekarang juga,” kata Pak Johan, menyilangkan tangan di dadanya.
Aria menatap Fajar, lalu menatap Pak Johan. “Tapi, Pak—”
“Tidak ada tapi. Silakan.”
Fajar, dengan cepat, merespons. “Ya sudah, Pak. Saya mulai.” Dia maju selangkah, menatap teman-temannya yang kini memperhatikannya dengan penuh harap.
“Jadi begini, teman-teman. Saya punya satu joke. Kenapa buku grammar itu nggak pernah sakit?”